Sistem Proporsional Tertutup dan Potensi Tertundanya Pemilu 2024

0

Oleh : Untung Aslianur

SEJAK gelaran Pemilu pertama di era Reformasi pada tahun 2009 silam, kita sudah mulai menggunakan sistem proporsional terbuka guna memilih anggota DPR dan DPRD dalam kontestasi politik lima tahunan itu meninggalkan sistem proporsional tertutup yang digunakan selama rezim Orde Baru berkuasa.

DENGAN sistem proporsional terbuka, kita dapat memilih figur caleg pilihan kita untuk menjadi anggota DPRD atau DPR RI secara personal. Siapa yang berhasil mendapatkan suara paling banyak, dan total perolehan suara partai di daerah pemilihan (dapil) itu memenuhi bilangan pembagi pemilihan (BPP), maka caleg yang bersangkutan otomatis berhak merebut kursi parlemen.

Sedangkan, pada sistem proporsional tertutup, jika dalam suatu dapil partai mendapatkan 1 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1 yang akan menjadi anggota legislatif. Kalau mendapat 3 kursi, maka caleg dengan nomor urut 1, 2, dan 3 yang berhak mendapatkan kursi.

Kehebohan rencana Pemilu akan digelar menggunakan sistem proporsional tertutup ini karena ada pihak yang memohon uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempermasalahkan Pasal 168 ayat (2), yang menyatakan bahwa: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

BACA : Hanya 3 Pemilu Penuhi Standar, Pakar Tata Negara ULM Sebut Parpol Sudah Tak Demokratis

Celakanya, MK dikabarkan bakal mengabulkan gugatan tersebut. Padahal sistem yang digunakan dalam Pemilu merupakan kewenangan pembuat UU, dan MK cuma sebatas meninjau apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.

MK tidak punya legalitas untuk memaksakan suatu sistem dalam Pemilu karena memang tidak ada di dalam UUD 1945. Sama halnya di saat MK menolak judicial review ambang batas pencalonan presiden, di mana MK menyebut hal itu sebagai open legal policy.

Biar bagaimanapun, sistem proporsional terbuka yang berbasis suara terbanyak, tetap masih lebih baik daripada proporsional tertutup yang hanya bergantung pada nomor urut caleg tanpa mengetahui kualitas personalnya.

BACA JUGA : Perang Narasi Dan Mimpi Pemilu Cerdas Berintegritas Dikupas Forum Ambin Demokrasi

Partai politik telah diberi kewenangan mutlak dalam menentukan caleg yang akan diusung. Bahkan tidak ada UU yang mengatur tentang tata cara penjaringannya oleh partai, termasuk nomor urutnya.

Ketika partai politik menunjuk seseorang menjadi calegnya, artinya caleg tersebut telah teruji kemampuan dan loyalitasnya kepada partai. Sehingga nomor urut manapun yang terpilih, tidak akan jadi masalah.

Sistem proporsional terbuka merupakan amanat reformasi, meninggalkan sistem proporsional tertutup yang diterapkan oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto. Jika MK mengembalikan ke sistem proporsional tertutup, artinya gerbong reformasi telah mundur kembali ke zaman pra demokrasi.

BACA JUGA : Problem Demokrasi di Indonesia, Kuasa Uang Selalu Menangkan Kontestasi Pemilu

Saat ini, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan, dan secara umum yang diketahui adalah sistem terbuka. Kalau di tengah tahapan mendadak berubah ke sistem tertutup, di mana cara penerapannya sangat jauh berbeda, sudah pasti akan mengacaukan seluruh proses yang telah berjalan. Banyak pasal-pasal yang saling berkaitan, terpaksa harus diubah dan dibahas dari awal lagi.

Bahkan partai politik terpaksa harus mengubah kembali nomor urut caleg, agar disesuaikan dengan kepentingannya. Jika sebelumnya caleg tidak peduli ditempatkan pada nomor urut berapa, dengan sistem tertutup maka nomor urut menjadi sangat sakral! Karena selama ini, bahkan partai-partai besar pun hanya bisa meraih maksimal 2-3 kursi dalam satu dapil.

BACA JUGA : Pakar Hukum Tata Negara ULM Beber UU Pemilu Sarat Kepentingan Politik

Dengan begitu, maka caleg dengan nomor urut 4 sampai dengan 7 hanya sebatas menjadi penggembira. Sehingga bisa saja para caleg yang mendapat nomor urut bawah akan mundur, meskipun ada yang bertahan, paling sekedar difungsikan untuk memenuhi kuota.

Artinya, jika tetap memaksakan perubahan sistem dari proporsional terbuka menjadi tertutup, hal itu berpotensi mengganggu tahapan proses pemilu 2024 yang sudah berjalan.

BACA JUGA : Pakar Hukum Tata Negara ULM: Money Politic Bermula Dari Pemilihan Ketua Partai

Atau mungkin, di balik wacana tersebut, memang disusupi agenda untuk membuka kembali wacana penundaan Pemilu 2024? Sebab sudah menjadi rahasia umum kalau sebelumnya sempat berhembus rencana penundaan Pemilu hingga perpanjangan masa jabatan Presiden, dengan berbagai alasan.

Rencana itu memang dibatalkan karena ditentang keras oleh berbagai pihak, termasuk partai-partai di lingkar istana. Siapa yang tahu jika agenda tersebut kembali diselundupkan lewat putusan MK?(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Kalsel dan Kalteng

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.