Katulahan
Oleh : Setia Budhi
DI LAMAN web, terpasang gambar tokoh yang termashyur, tokoh partai Politik. Ia masih muda dan berkacamata. Sementara di jalan Kayutangi, sebuah baliho besar, juga bergambar sang tokoh, yang ini ia merasa masih muda dengan topi kemegahannya.
DUA tokoh ini menjadi inspirasi, sebab klaim sebagai the dream team, membawa Banua lebih baik dan terdepan. Dua gambar itu ternyata tak semegah seperti yang saya bayangkan dalam pertemuan, biasa saja, narasi datar. Tetapi mengapa ia seperti menggetarkan, seperti wujud penerus perjuangan masa lampau, tanpa rasa janggal pada masa kini.
Walau sejarah tak pernah memayungi dirinya, bahwa gaung yang ia tampilkan sebatas retorika. Klaim yang menggunung, di laman web ia tampil bak pahlawan tetapi untuk siapa, dan baliho dengan topi kebesaran itu sesungguhnya direbut dari tangan siapa. Orang Banua terkesiap, mashgul, tetapi anehnya tetap menyerahkan kepalanya untuk dipenggal.
BACA : Urang Banjar Kamirawaan; Diskusi Kontroversi Tersaji di Ambin Batang Banjarmasin
Di Taman Bekantan, tahun 2022, untuk memperingati hari sungai se dunia, memandang lurus ke depan, di tepian siring, masih ada jejak Belanda, Benteng Sei Tatas. Sejarah Orang Banua yang heroik, seolah sirna, Bekantan itu muntah darah, sebab apa perut laparnya terisi racun pestisida yang datang dari hulu tambang batu bara dan perkebunan sawit.
Para tokoh yang tak punya jejak sejarah telah mengepung kota, seperti mengutip zaman politik kota Athena dan Sparta selama bertahun tahun, rakyat terancam kelaparan, walaupun begitu mendekati tahun 2024 sejumlah orang kota menyerahkan diri sebagai sandera dan sebagian lagi meminta tangan dan kakinya di jerat, supaya jatah roti dan kopi tetap melimpah.
BACA JUGA : Kasus Longsor Berulang, Walhi Ungkap 456 Ribu Meter Jalan Nasional di Kalsel Dikepung Izin Tambang
Tiba-tiba narasi orang-orang yang tidak peduli dengan Banua itu tak sekadar bisa diterjemahkan menjadi ”penjilat”, yang konotasinya sangat menggeramkan. Narasi kata yang menggambarkan orang kota yang menyerahkan urusan lokalitasnya di koloni orang lain, Apakah bukan sebagai Kaum Hedon, sebutan singkat dari hedonisme, yaitu pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
Hedon adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, hēdonē yang berarti kesenangan. Tetapi ditambah lagi dengan istilah lain yang lebih seram sebagai memberhalakan materi sehingga jati diri tergadaikan.
BACA JUGA : Teater Kekuasaan dan Persekutuan Kaum Oligarki
Jika Karl Marx membuat kata ”borjuis” jadi kata kotor , mungkin tersebab traumatik ketika ia lapar lalu kemudian dilempari pemilik toko sebiji roti berjamur. Sebenarnya kata itu masih tepat untuk menggambarkan orang-orang Banua yang menikmati penyerahan kedaulatan dan jati dirinya kepada orang lain.
Itu semacam kedurhakaan pada para pejuang masa lampau yang merebut dan mempertahankan tanah bertuah ini dengan keringat dan darahnya. Demang Lehman masih bisa tersenyum menuju tiang gantungan, demi tanah bertuah yang ia wariskan .
Ini zaman perebutan wilayah dan kekuasaan, dan dalam perebutan itu orang-orang kota di Banua telah tumpas, bahkan dengan hanya sedikit kopi dan roti. Sumber daya alam telah musnah, tambang dikeruk dari hulu hingga ke hilir dan sungai sungai telah berpestisida dari racun yang milir pada perkebunan sawit.
BACA JUGA : Pertanyaan Publik; Ke Mana Program CSR untuk Masyarakat Sungai Barito?
Perampasan sumberdaya alam dengan serifikat perijinan yang tak pernah berdialog dengan pemilik tanah bertuah, itu terjadi di depan mata, sudah terlihat bertahun tahun.
Berkata sang Raja ketika ia mendesak parlemen agar menyetujui kenaikan pajak. “Saya akan memberikan perhitungan siapapun yang menghalangi proyek ini.” Dua tokoh dalam cerita ini sudah tahu penghinaan itu, tetapi akhirnya ia melihat bahwa itu adalah bukan menghina rakyat tetapi sebagai peluang dan kesempatan.
BACA JUGA : Elegi Tanah Banjar; Bak Ayam Mati di Lumbung Padi
Tulah apa yang didapat dari penghinaan, itulah yang kemudian bernama banjir, angin puting beliung, jalan dan kembatan terpental rusak. Rumah hancur berantakan, sementara etika dan moral telah lama membumbung tinggi ke angkasa, menghilang. Bertahun gagal penen, dan sayangnya beras itu impor dari luar dengan kandungan racun sebab ia diolah tidak seperti bubuhan di Meratus yang menanam padi tanpa pupuk.
Lalu, segelintir orang-orang insaf, berunding di pojok kota, beradu argument, salah satu di antara orang itu rekan jurnalis, ia membawa obor terang, dengan mengatakan bahwa jika orang orang Banua tidak peduli dengan kerusakan alam dan ekosistem serta rusaknya moral manusia di tanah bertuah ini, maka itulah yang sebut sebagai Katulahan.(jejakrekam)
Penulis adalah Aktivis Pemberdayaan Masyarakat
Antropolog FISIP Universitas Lambung Mangkurat