Urang Banjar Kamirawaan; Diskusi Kontroversi Tersaji di Ambin Batang Banjarmasin

0

DIKSI kamirawaan, kapuhunan, kapidaraan hingga katulahan dalam bahasa Banjar mengemuka dalam diskusi kontroversi gelaran Ambin Batang Banjarmasin di Depot Nansarunai Banjarmasin, Sabtu (1/4/2023).

TERLEBIH sebutan Urang Banjar Kamirawaan dikaitkan dengan masih adakah kedaulatan dan marwah bagi pribumi Tanah Banjar ini dikupas dari berbagai perspektif.  

Hadir sebagai pembicara dosen sejarah UIN Antasari dan sejarawan Banjar, Hairiyadi mengupas soal menakar sejarah dan kedaulatan sosial budaya Urang Banjar di Tanah Banua.

Kemudian, Ketua Umum Laskar Antasari yang juga keturunan Pangeran Antasari Hj Gusti Nur Aina turut membeberkan masalah warisan Kesultanan Banjar dan relevansi terhadap hilangnya Marwah sebagai Urang Banjar.

Sebagai pamungkas, antropolog yang juga Ketua Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Setia Budhi yang juga mendalami budaya Banjar-Dayak ini mengupas adagium Kamirawaan Urang Banjar, titik balik menemukenali jati diri dan logic perlagaan di Tanah Banua, dari tinjauan ideologi dan politik.

BACA : Di Negeri Jiran, Generasi Muda Banjar Malaysia Bangga dengan Identitas Diri Urang Banjar

Sejarawan Banjar, Hairiyadi mengakui secara kultur budaya Urang Banjar masih punya marwah, karena masih hidup dan lestari beberapa khazanah budaya seperti tarian, lagu hingga bahasa yang menyebar di Kalsel, hingga merambah ke Kalteng dan Kaltim.

“Faktanya, saat ini bahasa Banjar masih digunakan sebagai lingua franca atau bahasa keseharian di Kota Palangka Raya (Kalteng), Samarinda (Kaltim) bukan hanya di Kalsel,” kata Hairiyadi.

BACA JUGA : Ahmad Ulya Hidayat; Kisah Sukses Urang Banjar Bekerja di Freeport Indonesia

Dia juga menekankan bahwa Urang Banjar sebagai pribumi Kalsel berasal dari leluhurnya Orang Dayak. Hipotesis Hairiyadi juga diakuri oleh pencipta lagu Banjar; Khairiadi Asa bahwa lagu-lagu yang bersumber dari kultur atau budaya Banjar masih eksis, bahkan terbukti bahasa Banjar juga dituturkan bukan hanya orang Banjar, tapi juga etnis lainnya di Kalsel, Kalteng dan Kaltim, serta sebagian wilayah di Indonesia.

“Jadi, secara budaya, Urang Banjar masih eksis dan punya marwah. Kalau pun ada, mungkin hanya kapidaraan (sakit demam) yang harus diobati dengan kapur dan kunyit dengan tanda khusus di badan,” celutuk Khairiadi Asa.

BACA JUGA : Tradisi Unik dalam Ritual Urang Banjar Naik Haji dari Waktu ke Waktu

Sementara itu, Gusti Nur Aina mengakui pasca perjuangan Pangeran Antasari mengangkat senjata melawan kolonial Belanda, pada era kemerdekaan Urang Banjar masih punya marwah dengan hadirnya tokoh-tokoh di nasional.

“Banyak Urang Banjar menjadi menteri atau pejabat teras republik ini, tapi semakin ke sini, makin hilang marwah dan kedaulatan itu. Faktanya, sekarang tak ada lagi Urang Banjar yang menjadi menteri di kabinet Joko Widodo,” kata Gusti Nur Aina.

Hal ini juga diperkuat oleh Setia Budhi. Menurut dosen FISIP ULM, adagium kamirawaan atau menangis akibat tertawa berlebihan dalam bahasa Banjar terbukti pada fakta lapangan.

BACA JUGA : Sahang Banjar; Karya Mansyur dkk Ulas Sejarah Maritim Jalur Rempah Urang Banjar

“Saat ini, kondisi kekayaan alam Kalsel yang terus dikeruk tidak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat, khususnya Urang Banjar. Ini bukti adanya kamirawaan itu,” kata Setia Budhi.

Menurut dia, bencana alam seperti banjir, longsor dan lainnya yang dialami Kalsel akibat kerusakan alam dampak tambang batubara, perkebunan sawit dan lainnya telah membuktikan secara ekonomi dan politik Urang Banjar sudah kehilangan marwah atau kedaulatannya.

“Kita harus akui sekarang Urang Banjar seperti kalah berkompetisi dengan etnis lain. Bukan hanya pada kekuasaan pemerintahan, tapi juga bidang pendidikan dengan hadirnya keterbukaan,” tutur Setia Budhi.

Menurut Setia Budhi, sejak 2014 dengan diterapkannya politik demokrasi terbuka, justru pemain atau aktor yang terpilih lebih banyak orang luar daerah.

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

“Ya, seakan-akan Kalsel ini for sale. Bupati atau walikota termasuk wakilnya lebih 70 persen adalah pendatang. Begitupula, anggota dewan, sekotr usaha juga dikuasai pengusaha pendatang,” beber Setia Budhi.

Hingga, kata dia, warga Banua cukup jadi pekerja, buruh dan usaha kelas UMKM, sehingga begitu budaya diberangus, tanahnya diambil alih dan urang Banjar cukup jadi pelengkap penderita.

“Pangkal muaranya adalah ada oligarki, pemilik modal besar, dan penguasa jaringan baik vertikal (pusat/ internasional) dan horizontal (daerah),” ungkap Setia Budhi.

BACA JUGA : Perjalanan Panjang Urang Banjar Di Riau

Sementara itu, Koordinator Ambin Batang yang juga penulis dan peneliti lepas, Sri Naida membeberkan fakta yang memilukan.

“Urang Banjar kalah berkompetisi dengan etnik lain? Mengapa merasa kalah dan terintimidasi dan apatis serta tidak tahu lagi tentang jati dirinya,” kata mantan anggota DPRD Banjarbaru ini.

Urang Banjar yang lekat dengan budaya sungai, faktanya justru sungai telah terpinggirkan. Hingga budaya yang melekat seperti rumah lanting dan pasar terapung juga terancam ditelan zaman.

“Saat ini, orientasi pembangunan yang seringkali tak lagi berpihak pada kelestarian budaya, lingkungan, bahkan manusianya, hingga mewariskan realita menyedihkan, membuat mereka menjauh dari identitas aslinya,” beber Sri Naida.

BACA JUGA : ‘Urang’ Banjar Sebenarnya Dayak, Ini Teori yang Dikemukan Antropolog ULM

Dia mencontohkan sejumlah nama semisal tatah, handil, dan saka yang sebenarnya mengandung arti berkenaan dengan fungsi dan luasan sebuah kanal pada masa lalu, kini tidak lebih dari sekadar simbol tanpa makna.

“Faktanya pada 1520 ketika Kasultanan Banjar ditetapkan, tercatat seribu anak sungai di Banjarmasin. Saat ini tertinggal 200 buah saja yang masih ada airnya, sisanya membusuk jadi tempat sampah, jadi tempat hunian pinggir sungai dan yang paling parah tercemar polutan,” kata alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Sarat Nilai Filosofi, Nasi Astakona Sajian Perpaduan Budaya Banjar, Dayak, Melayu dan Islam

“Tak ada lagi kejayaan pelabuhan terbesar di pulau Kalimantan. Kalau Urang Banjar sudah lupa budaya sungai apakah masih pantas disebut Urang Banjar? Bahasa yang dipakai juga disebut lebih banyak melayu, bahkan budaya Melayu lebih unggul mendominasi musik (bergambus) atau sekadar gaya berpakaian,” cetus Sri Naida.

Diskusi ini makin menarik karena juga dihadiri sejumlah sastrawan seperti Ali Syamsudin Arsi serta mahasiswa.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/04/02/urang-banjar-kamirawaan-diskusi-kontroversi-tersaji-di-ambin-batang-banjarmasin/,soal bahasa banjar kls 3
Penulis Asyikin/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.