Obrolan Lintas Iman; Toleransi di Bulan Ramadhan

0

Oleh: Noorhalis Majid

RAMADHAN dapat menjadi momentum untuk merajut kebersamaan dan toleransi. Walau pun ada yang sedang berpuasa dan ada yang tidak wajib berpuasa, saling menghormati dan menghargai tetap dijunjung tinggi. Bagaimana merawat kultur toleransi yang sudah lama terbangun? Haruskah dibangun dengan tindakan dan sanksi, atau cukup edukasi?

SEBELUM ada Perda Ramadhan yang mendatangkan kontroversial, kalau mau ditarik lebih jauh, tahun 80-an misalnya, Banjarmasin itu sangat toleran. Penghormatan dan penghargaan pada orang Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa sangat tinggi. Tidak pernah ada pertikaian atau masalah dalam hubungan antar agama, disebabkan tidak adanya penghargaan pada orang lain yang sedang menjalankan ibadah.

Sebab dalam Kristen juga ada ibadah puasa, bahkan ada beberapa bentuk puasa, sebagai wujud ketundukan pada perintah Tuhan, sehingga mengerti bagaimana seharusnya menghargai orang lain, kata Kornelius Karianto, Ketua PGI Wilayah Kalimantan Selatan, memulai penjelasannya terkait toleransi di bulan Ramadhan pada Dialog Palidangan Noorhalis, Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis 23 Maret 2023.

BACA : Bukti Toleransi Umat Beragama, Stand-Stand Pameran Religi Expo Diikuti Beragam Latar

Namun setelah ada Perda Ramadhan yang mungkin sudah berjalan 15 tahun ini, ketegangan selalu terjadi setiap tahun, bahkan tindakan sewenang-wenang pada orang-orang yang tidak wajib puasa. Misalnya, di sekitar Kampung Gedang itu, ada beberapa warung makan yang jelas-jelas bertuliskan makanan non halal, tetap juga diincar sebagai target penegakan Perda Ramadhan, padahal yang masuk ke warung tersebut adalah non muslim yang tidak wajib puasa. Warungnya juga tertutup, makannya di dalam, tidak di luar dan pasti tidak kelihatan orang.

BACA JUGA : Cegah Anggota Terpapar Paham Radikalisme dan Intoleransi, Polda Kalsel Gelar Pembinaan Rohani

Dengan demikian, saya menilai Perda Ramadhan tersebut sebenarnya tidak penting ada, hanya membuat suasana yang seharusnya toleran secara kultural, justru saling curiga mencurigai. Mestinya kesadaran itu dibangun dari dalam, dari hati, bukan berdasarkan sanksi dan tindakan. Kesadaran dimulai dari diri, keluarga, lingkungan umat, dan baru pada lingkup lebih luas.

Bahkan, mungkin sudah sekitar 20 tahun ini, umat Kristen melakukan berbagai kegiatan untuk membangun toleransi dan memberikan penyadaran kepada umat Kristen sendiri bahwa Ramadhan ini waktunya membangun toleransi. Mereka melakukan berbagai kegiatan seperti bakti sosial, pembagian takjil berbuka, bahkan menjelang akhir Ramadhan, ada bingkisan sarung yang dibagikan di depan gereja.

BACA JUGA : Pelopori Perjumpaan Lintas Iman, LK3 Banjarmasin Raih Penghargaan Ikon Prestasi Pancasila dari BPIP

Tentu tidak banyak, tapi menjadi pembelajaran bagi yang mau menyumbang tentang bagaimana membangun kebersamaan. Dan kalau Idul Fitri tiba, saat hari raya, anak-anak muda menjadi petugas parkir dan bersih-bersih, memunguti koran-koran yang sebelumnya dipakai dan ditinggalkan setelah mengerjakan shalat. Kegiatan ini memberikan pembelajaran tentang bagaimana membangun toleransi, mengenalkan praktik agama orang lain dan bagaimana seharusnya bersikap dan berbuat.

Puasa memang tidak semata hubungan dengan Tuhan, namun yang paling substansi secara sosial adalah bagaimana membangun empati kepada orang lain. Menempa diri agar peduli dan kembali pada kesederhanaan. Jangan berlebihan, jangan pula mengumbar nafsu, sekalipun mampu, ingat orang lain yang tidak berpunya.

BACA JUGA : Perda Ramadhan atau Sakadup Condong Elitis, LK3 Banjarmasin Setuju Direvisi dengan Catatan

Yang tidak puasa harus menghargai yang sedang berpuasa dan yang berpuasa harus meningkatkan kesabaran dan kerendahatiannya. Jangan lalu marah-marah melihat orang yang tidak puasa, boleh jadi mereka tidak wajib berpuasa, baik karena berhalangan atau memang non muslim, kata Noorhalis Majid, selaku pemandu acara.

Umat Buddha juga melakukan berbagai kegiatan setiap bulan Ramadhan. Di depan Klenteng pada sore hari biasanya dibagi takjil berbuka, dilakukan oleh anak-anak muda. Juga ada bakti sosial yang dikerjasamakan dengan berbagai organisasi kepemudaan. Sama seperti umat Islam dan Kristen, umat Budha juga mengenal puasa, sehingga tahu bagaimana bersikap saat orang lain menjalankan ibadah puasa, begitu kata Zulkiflie Tedja, tokoh umat Buddha di Banjarmasin.

BACA JUGA : Bertemu Staf Kedubes Belanda, LK3 Bedah Problem Kebebasan Beragama di Banjarmasin

Saling menahan diri, saling peduli dan terus melakukan kerjasama agar terbangun toleransi, itulah yang mestinya dilakukan. Kota ini heterogeny – majemuk – beragam. jangan sampai masing-masing tidak peduli dan tidak tahu menahu. Bersyukur sekarang sudah ada Perda Toleransi Kehidupan Bermasyarakat Nomor 12 Tahun 2022. Perda ini harus dikawal hingga terbit Pergub dan kebijakan lainnya, agar benar-benar efektif dalam rangka membangun kehidupan yang toleran, beber Zulkiflie.

Saya setuju dengan Pak Kornelius, dulu sepertinya toleransi lebih kultural, lebih murni. Semua tahu bagaimana menghormati orang yang berpuasa. Tidak makan dan minum di tempat umum. Sebaliknya, yang puasa juga paham bahwa tidak semua orang berpuasa, karena itu ada istilah warung sakadup, warungnya buka tapi tersembunyi. Tidak ada yang terlihat. Paling hanya kaki yang nampak pada warung itu. Warung Sakadup itu, saya kira wujud toleransi, karena mengakomodir keduanya, buka tapi tertutup dan tidak pamer, demikian kata Zulkiflie.

BACA JUGA : LK3 Banjarmasin-Wahid Foundation Gagas Desa Damai di Bumi Makmur Tala

Saya juga setuju, bahwa sakadup itu satu kearifan orang Banjar tentang toleransi berpuasa. Bahwa tidak semua orang berpuasa adalah satu keniscayaan yang diketahui secara umum. Karenanya sakadup letaknya di pinggir, di pojok. Kalau dia dalam gang, maka di ujung gang yang tidak semua orang tahu. Tapi dia mengakomodir yang tidak wajib puasa atau sedang berhalangan. Sekarang sakadup juga ditertibkan, sehingga semua orang tanpa kecuali harus wajib puasa, padahal kewajiban tersebut hanya pada yang beriman dan mampu melakukan, sahut saya (Noorhalis Majid).

BACA JUGA : Inisator Awal Perda ‘Sakadup’ Jadi Perda Ramadhan Tentang Jika Dicabut Pemkot- DPRD Banjarmasin

Toleransi tentu tidak hanya disiang hari, malam hari juga harus ada toleransi. Bagarakan sahur misalnya, jangan sampai mengganggu orang yang lagi beristirahat. Bahkan, tadarusan saja yang jelas-jelas baik, tidak perlu pakai mic luar, cukup mic dalam, atau bila perlu tidak pakai mic, agar lebih hikmat dan suaranya cukup didengar oleh yang ada di masjid. Agar yang baik itu nilainya tidak berkurang disebabkan adanya orang lain yang merasa terganggu, demikain kata saya (Noorhalis Majid).

BACA JUGA : Selama Ramadhan, Dewan Masjid Indonesia Minta Speaker Masjid dan Langgar Dibatasi Volume Suaranya

Betul, kata Zulkiflie, dulu saya ketika masih sekolah, juga sering ikut bagarakan sahur, walau siangnya tidak puasa, tapi karena rame, ikut juga dengan kawan-kawan. Salon pengeras suara, ditaruh di dalam gerobak, lalu lagu dangdut dibunyikan. Kami berkeliling kampung, dan waktu dulu hal tersebut seperti sangat heroik sekali, karena membantu membangunkan orang untuk sahur. Boleh jadi ada juga yang terganggu, karena tidak wajib sahur. Kalau sekarang, rasanya sudah tidak penting lagi bagarakan berkeliling kota dengan suara speaker yang nyaring, sebab alaram sudah ada dan semua sudah bisa mengatur kapan dia akan bangun, uraian Zulkifli mengakhiri obrolan di Palidangan Noorhalis. (jejakrekam)   

Penulis adalah Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel

Pegiat Demokrasi dan HAM

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.