Arus Informasi dan Generasi Pelupa

0

Oleh: Noorhalis Majid

HUJAN sangat lebat, kami berempat, dari dua generasi berbeda. Selain saya, ada Willy, doktor pengajar demokrasi di sebuah perguruan tinggi, Debby, peneliti isu-isu politik dan demokrasi pada lembaga riset di kampus ternama, Windi, sarjana sastra Inggris yang baru lulus.

DUDUK mengelilingi meja segi empat yang tidak terlalu besar, di kedai kopi pinggiran kota Sleman. Tidak bisa pulang, sebab tidak berani menerobos derasnya hujan dengan mengendarai motor.

Sambil menikmati hangatnya kopi, kami mengobrol soal perbedaan dua generasi, yaitu generasi kami yang lahir tahun 70-an, dengan Windi lahir tahun 2000-an. Dimulai dari pertanyaan sederhana, apakah Windi tahu siapa itu Arafiq? Pernah dengar, jawabnya, tapi tidak tahu siapa dia.

Dia itu penyanyi dangdut legendaris, seangkatan bang Haji Rhoma Irama, kata saya menjelaskan. Ooohhh, jawab Windi panjang. Kalau Dian Sastro? Tidak terlalu tahu, tapi saya pernah dengar dia pemeran film anak muda dulu, kata Windi. Lalu pertanyaan kami alihkan pada soal lain, kasus Bank Century kamu tahu? Tidak jawabnya pendek. Kasus Hambalang? Tidak juga, jawabnya. Kami berhenti bertanya, dan tidak ingin meneruskan pertanyaan lain tentang peristiwa yang rentang kejadiannya lebih lama lagi.

BACA : SBT Melawan Lupa, Cara Pelukis Misbach Tamrin Merawat Ingatan Kolektif

Apa sebab soal-soal besar yang dulu menjadi pembicaraan hangat dan menghiasi koran serta media layar kaca, seketika tidak diketahui lagi oleh generasi sekarang? Padahal para pelakunya bahkan masih meringkuk dalam penjara, kasusnya sudah dilupakan dan tidak diketahui.

Bahkan nama artis populer, yang dulu dia sendiri sulit sekali kemana-mana karena dikenal banyak orang, mudah sekali hilang dari peredaran. Sebabnya karena derasnya arus informasi, kata Debby memberikan analisisnya. Informasi yang begitu banyak tersebut, menindis informasi lainnya dengan cepat, bahkan tidak sempat mengendap, apalagi disaring untuk dikonsumsi.

BACA JUGA : Melawan Lupa: Jumat Kelabu 23 Mei 1997

Semuanya lewat dan berlalu, bagai air bah, bercampur dengan sampah dan hal-hal yang tidak penting. Begitu banyaknya, tidak bisa lagi memilah antara yang baik dan buruk. Antara madu dan racun. Semuanya dilahap, ditelan mentah-mentah, setelah itu datang lagi yang baru, begitu seterusnya, berlalu dengan sangat cepat, akhirnya secepat itu pula dilupakan.

Iya, kata saya membenarkan pendapat Debby. Bahkan, kasus Sambo yang sekarang sedang ramai, kalau tidak diliput terus-menerus oleh media massa, akan hilang tertindis oleh kasus lainnya, dan semua orang lupa. Kalau pun diliput, apakah anak muda memperhatikannya? Ada yang memperhatikan, tapi banyak juga yang tidak peduli, kata Windi menimpali.

BACA JUGA : Rawat Memori Musik Cadas Era 80 dan 90-an, Amer Community Banjarmasin Hadir Melawan Zaman

Bila demikian, tidak berapa lama, kasus besar seperti itu akan segera hilang, seperti hilangnya pembicaraan soal Bank Century dan Hambalang. Selain soal derasnya informasi yang tidak mampu dibendung dan disaring, juga terkait budaya literasi, kata Willy. Siapa yang masih suka membaca sekarang ini, seperti halnya generasi dulu yang mencari literatur berupa buku dan bahan-bahan penelitian? Kalau ada, berapa persen yang suka? Kemajuan teknologi, membuat orang malas membaca, sebab sistem informasi menyediakan banyak hal, memudahkan, namun sekaligus membodohkan.

BACA JUGA : Melawan Arus Game Online, KPTB Pendamai Hidupkan Permainan Kampung

Dulu orang bisa berbicara tentang banyak hal karena membaca, meneliti. Sekarang orang juga berbicara, bahkan tentang hal yang sama, tapi tidak tahu apa yang dibicarakan, argumennya seperti kumpulan jargon, bahkan dia sendiri tidak menyakini argumen tersebut, sebab bahan yang didapatnya begitu instan, hanya melalui internet, tidak sempat disaring, diolah, dianalisa, dibandingkan, bahkan dikaji untuk diteliti. 

Begitu majunya teknologi, melalu satu aplikasi pencari data, semua hal tersedia di sana. Bahkan sudah lengkap dengan analisanya. Otak manusia sudah digantikan dengan mesin. Sebut satu tema, maka mesin menginformasikan serta memberikan analisa dan pendapatnya terkait tema tersebut, tinggal baca, tidak perlu mikir. Kalau saya jadi narasumber, kamu minta tema apa saja, saya bisa berbicara, karena mesin membantu menyiapkan bahan tersebut.

BACA JUGA : Dari Buku Amuk Banjarmasin (1997) : Tragedi Kerusuhan Jumat Kelabu, Kampanye Golkar ‘Dikudeta’

Begitu juga membuat skripsi dan tesis, mahasiswa dengan mudah menyusunnya dengan bantuan aplikasi tersebut, data dan analisasnya sudah ada sekaligus, bahkan sangat lengkap, dengan mengkompilasi sejumlah pendapat ahli. Mahasiswanya tidak perlu mikir lagi. Bayangkan, ketika otak manusia sudah tidak terpakai dan semua digantikan mesin. Kehancuran seperti apa yang nanti akan terjadi? Saya tidak bisa membayangkan, kata Willy.

Kopi di gelas kami masing-masing sudah berkurang hangatnya, dan hujan di luar belum juga reda. Windi hanya memperhatikan isi pembicaraan, tanpa berani memberikan pendapat. Saya mencoba membendung arus, walau semampu yang bisa dilakukan, kata saya menyahuti penjelasan Willy.

BACA JUGA : Berjibaku Melawan Waktu, Riwayat Kini Pasar Kasbah di Sentra Antasari

Caranya dengan terus menyelenggarakan forum-forum diskusi anak muda, membangun literasi, melalui diskusi buku, diskusi film, menyelenggarakan podcast dengan berbagai tema, dialog di radio, bahkan berkolaborasi membuat film-film pendek yang memberikan pembelajaran, dan semuanya melibatkan anak muda. Walau tidak semuanya berminat, hanya tiga empat orang, tapi harus terus dilakukan. Membuat panggung bagi mereka, belajar melakukan analisa atas persoalan yang ada. Dengan panggung-panggung tersebut, mereka jadi terasah, kata saya menguatkan agar tidak berputus asa.

Semua itu kerja-kerja masyarakat sipil, kata Willy menambahkan. Sekarang ini kelompok masyarakat sipil juga sulit sekali bangkit mengembangkan dirinya. Padahal sangat penting dalam rangka menjaga keseimbangan. Sebab bila tidak, oligarkhi bisa saja semakin mempesona bagi anak muda. Lihat saja, siapa yang menjadi “model”- contoh berhasil dan digandrungi? Semuanya merujuk pada kesuksesan materi. Orang pintar bila tidak kaya, dianggap tidak sukses. Sedangkan orang kaya, walau tidak pintar, dianggap luar biasa.

BACA JUGA : Merawat Literasi Sejarah ala BHC Banjarmasin di RTH Kamboja, Ini Pesan Sejarawan ULM!

“Kolaborasi”, kata Debby, terminologi yang sekarang menarik untuk dikembangkan. Generasi yang lahir tahun 70an, dan anak muda generasi tahun 2000an, dapat berkolaborasi menjawab hal-hal tersebut. Terutama membicarakan tema-tema yang oleh anak muda dianggap usang, seperti demokrasi, politik, pluralisme, hak asasi manusia, perdagangan manusia, lingkungan hidup. Bahkan mungkin, anak muda tidak tahu bagaimana bahayanya oligarkhi yang bersekongkol dengan politik kekuasaan.

BACA JUGA : Cerita Halimatus, Duta Bahasa Kalsel Gerakkan Literasi ke Pelosok Desa Lok Buntar

Dapatkah kolaborasi tersebut juga menghasilkan fundraising – pendanaan untuk kerja-kerja pewacanaan seperti itu, termasuk advokasi isu kemanusiaan, sehingga kebudayaan pop yang sedang digandrungi anak muda dalam berbagai bentuk festival budaya asing, dapat menjawab problema yang ada di telapak kaki dan dihadapan mata. Mungkin perlu dirumuskan konsep masyarakat sipil terbaru yang lebih relevan, agar fleksibel terhadapa perubahan zaman.

Karena hujan tidak juga reda,bahkan tidak ada tanda-tanda akan reda, warung kopi sudah mula bergegas untuk tutup, terpaksa kami menerobos derasnya hujan untuk pulang. Nampaknya, derasnya hujan, harus dilawan, agar tidak telena atau terbawa suasana. Seperti derasnya informasi – bagai air bah, bila tidak dilawan, bisa saja tidak satupun yang dapat dirasakan – berlalu, tertindis dan lupa.(jejakrekam)

Penulis adalah Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Penulis Buku Paribasa Banjar

Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.