Review Buku Desmond J. Mahesa; ‘Matinya Narasi Presiden Wong Cilik’

0

Oleh : Rahmat Kamaruddin

SAAT publik lengah jelang libur tutup tahun 2022, Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu tersebut diterbitkan guna untuk memuluskan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat.

PERPPU itu pun sontak menuai kritik dari publik. Sebagaimana jamak diketahui, UU Omnibus Law itu sarat kontroversi. Pasalnya, upaya mengundang investasi dan menciptakan lapangan kerja menyelisihi teori pembentukan peraturan perundang-undangan, status UU sektoral, perlindungan buruh, kecenderungan sentralisasi kewenangan kepada pemerintah pusat, ketentuan pidana, arah kebijakan investor, dan perlindungan lingkungan.

Selain kecepatan proses pembuatannya di atas rata-rata, UU Cipta Kerja pun dianggap telah menabrak prinsip konstitusionalitas yang tidak sekadar formil, tetapi juga materiil. Perppu yang dikeluarkan Jokowi dinilai telah merendahkan konstitusi.

Putusan MK merupakan perintah konstitusi. Perppu tidak bisa dan tidak boleh melanggar atau menggugurkan Putusan MK. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat wajib ditaati oleh setiap pihak, baik pemerintah maupun presiden. Kalau Perppu dapat menganulir Putusan MK, maka MK tidak diperlukan lagi dalam Konstitusi Indonesia. Presiden, dengan Perppu-nya, cukuplah sebagai hukum otoriter dan tirani. Begitu penilaian publik.

BACA : Refleksi Kritis Aktivis asal Kalsel di Tengah Pandemi: Review Buku Desmond J Mahesa

Keputusan Jokowi menerbitkan Perppu itu hanyalah satu contoh bagaimana kesenjangan antara narasi Jokowi sebagai presiden wong cilik dengan apa yang dilakukannya di tahun 2022 lalu. Oleh karena itu, pembalikkan narasi yang dilakukan Desmond J Mahesa melalui buku terbarunya “Matinya Narasi Presiden Wong Cilik” ini menemukan relevansinya. Sebuah upaya kritik dengan ketajaman analisis yang reflektif dan tak jarang menghadirkan kejutan. Buku Desmon ini terbitan Law-Justice.co dan PT Media Keadilan Sejahtera.

Cengkraman Pemodal

Tahun 1986, pengamat ekonomi-politik Indonesia asal Australia, Richard Robison, menulis sebuah buku berjudul “Indonesia: The Rise of Capital”. Buku tersebut diterjemah-terbitkan oleh Komunitas Bambu ke dalam bahasa Indonesia pada 2012 dengan judul “Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia.”

Robison memaparkan bagaimana kapitalisme berkembang pesat di era Orde Baru. Pada gilirannya, berkat peran besar negara suatu kelas kapitalis domestik pun muncul. Ia pun menjelaskan bagaimana evolusi negara dari zaman kolonial, masa pasca-kolonial awal serta Orde Baru berhubungan begitu erat dengan pertumbuhan kelas kapitalis itu.

BACA JUGA : Desmond bersama Habib Ahmad Alhabsy Gelar Tabligh Akbar dan Syukuran

Akhirnya, kelas kapitalis itu menjadi begitu penting dalam ekonomi-politik Indonesia sehingga setiap pembuatan kebijaksanaan negara di bidang pembangunan harus berkesesuaian dengan kepentingan kelompok ini. Sekalipun kelompok kapitalis ini lahir dari rahim negara, namun ia telah tumbuh menjadi gagah perkasa sehingga negara pun nyaris dicengkram dan dikuasai olehnya.

Pandangan Robison, bersama beberapa ilmuwan politik lainnya, dalam menjelaskan relasi negara dan kapital dikategorikan sebagai bagian dari kutub negara (state-center). Kutub ini berpandangan bahwa negara merupakan komponen dominan yang mengendalikan relasi penguasa dan pengusaha (Luky Djani dan Putut A. Saputro, Jurnal Prisma: 2013).

BACA JUGA : Penghuni Penjara Penuh, Desmond : Pencegahan Narkoba di Kalsel Gagal!

Kutub lainnya, yakni kekuatan masyarakat (society-center), berpandangan bahwa kekuatan kelompok masyarakatlah yang memiliki pengaruh dan mengontrol relasi negara dan bisnis. Kekuatan-kekuatan finansial, seperti asosiasi bisnis, mampu mendikte dan menentukan kebijakan pemerintah. Mereka adalah kelompok aktor non-pemerintah yang dominan dan berpengaruh dalam menentukan proses pembuatan kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Baik teori state-center maupun society-center di atas telah banyak memberikan wawasan kepada kita bahwa relasi negara dan kapitalisme telah berujung kepada sengsaranya rakyat jelata dan tersumbatnya proses demokratisasi. Kelompok politico-bussiness (pengusaha-penguasa) itu membangun solidaritas oligarkis. Mereka berfungsi sebagai struktur kekuasaan yang terdiri dari beberapa individu elite, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan untuk mengontrol suatu negara atau organisasi.

BACA JUGA : Desmond Ajak Isu #SaveMeratus Menjadi Gerakan Rakyat Kalsel

Jokowi adalah produk oligarki. Begitu kata Jeffrey A. Winters dalam “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013). Oligarki memasang Jokowi sebagai pemimpin untuk dipilih karena selera publik saat itu menginginkan pemimpin yang berasal dari kalangan non-elite, wong cilik, dan merakyat.

Lalu, seperti apa dan bagaimana dampak dari aktifitas oligarki itu? Buku karya aktivis ‘98 ini mencoba memaparkannya dari perspektif hukum dan politik. Dampak destruktif oligarki menyebar ke berbagai aspek. Kepentingan pemodal berkelindan dengan kepentingan penguasa merajut kisah suram kerusakan negara. Oligarki menjadi kekuatan solid yang bekerja melalui mekanisme demokrasi dalam rangka melumpuhkan demokrasi itu sendiri.

BACA JUGA : Bangun Kesadaran Politik, Uhaib Beber Kuatnya Cengkeraman Oligarki di Pesta Pilkada Kalsel

Mulai dari penguasaan terhadap Sumber Daya Alam (SDA), intervensi pemilu, memasung partai politik, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, dan yang paling miris adalah suramnya praktek penegakan hukum di Indonesia. Selain kritik, otokritik, Desmond pun mencoba mengajukan beberapa proposal berupa gagasan perbaikan.

Kesemuanya tersaji dalam karya setebal 764 halaman yang terdiri dari 13 bab ini. Masing-masing dengan judul bab: Turbulensi Dini Jelang Pilpres 2024 (Bab I), Muslihat Tiga Periode (Bab II), Drama Politik Identitas (Bab III), Sandungan Batu Wadas (Bab IV), Lintang Pukang Pindah Ibu Kota Negara (Bab V), Banalitas Pembusukan Demokrasi (Bab VI), Karpet Merah untuk Oligarki (Bab VII), Reformasi Terseok-Seok (Bab VIII), Negara sebagai Penindas Rakyat (Bab IX), Pudarnya Ideologi Negara (Bab X), Legislasi Setengah Hati (Bab XI), Kasus Duren Tiga dan Reformasi Polri (XII), dan terakhir Ironi Tak Berkesudahan (Bab XIII).

Proposal Gagasan

Banyak hal yang mengejutkan sekaligus menimbulkan rasa haru pada bagaimana Desmond mengupayakan otokritik melalui buku ini. Sebuah refleksi yang mendalam dan mendasar, pada level yang agaknya jarang akan kita jumpai pada diri seorang anggota DPR dan kader partai politik. Jika kita telaah mendalam, tidak keliru kalau kita menyebut bahwa kritik Desmond J. Mahesa mempunyai implikasi besar dan menentukan arah perkembangan demokrasi Indonesia selanjutnya. Apa saja di antaranya?

Pertama, Reformasi Parpol. Sebagai anggota Parlemen, Desmond tentu mengamati dari dekat bagaimana para anggota DPR, yang juga sebagai anggota partai politik, bekerja di Senayan. Pengamatan dari jarak dekat itu menyadarkannya akan satu hal bahwa betapa tidak berdayanya seorang anggota dewan di hadapan partai politik, meskipun mereka mempunyai hak imunitas yang diatur UU MD3. Setelah berjuang meraih suara di dapilnya masing-masing, berharap dapat menyampaikan suara rakyat di Senayan, ternyata wakil rakyat dipasung oleh partai politik yang telah dikuasai oligarki.

BACA JUGA : Teater Kekuasaan dan Persekutuan Kaum Oligarki

Partai adalah pilar demokrasi yang menjadi kanal suara rakyat. Ironisnya, sebagai kanal untuk menyuarakan aspirasi rakyat, partai malah menjadi kanal oligarki. Partai politik, meskipun telah mendapatkan kebebasan di awal Reformasi, namun semakin ke sini malah menjadi agen penindas baru bagi rakyat. Ini begitu terlihat belakangan ini, di mana DPR tak ubahnya hanya sebagai tukang stempel untuk mensahkan segala keinginan pemerintah. Hal ini banyak dibahas pada Bab VI, “Banalitas Pembusukan Demokrasi” (h. 279).

Salah satu yang menjadi kritik Desmond adalah terkait mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). PAW memang merupakan sebuah momok yang sangat meresahkan bagi siapapun yang serius ingin bekerja untuk rakyat sebagai anggota DPR. Desmond menulis;

“Dengan membatalkan hak PAW yang dimiliki partai politik maka duta-duta partai yang telah menjadi wakil rakyat itu akan jadi mandiri dalam mewakili kepentingan rakyat yang telah memilihnya, sehingga mereka tidak butuh takut lagi untuk melawan kebijakan petinggi partai politik yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Demikian juga mereka tidak akan takut lagi untuk melawan kebijakan-kebijakan Penguasa yang tidak pro kepada rakyatnya. Fenomena ini akan menjadikan wakil rakyat benar-benar sebagai abdi masyarakat yang mengutus mereka duduk di Parlemen” (h. 288-289).

BACA JUGA : Soal Kebijakan Limbah Omnibus Law, Walhi Tuding Pemerintah Tunduk pada Pasar

Kedua, Reformasi Polri. Intensitas pembahasan tentang Korps Bhayangkara cukup banyak dalam buku ini. Mungkin karena sebagaimana telah mafhum oleh publik, institusi kepolisian telah menjadi punggawa utama pemerintah dalam membungkam oposisi untuk melancarkan agendanya. Misalnya, pada Bab IV, “Sandungan Bantu Wadas” (h. 197). Februari 2022 lalu, Desa Wadas, Jawa Tengah, pernah viral karena aksi aparat kepolisian yang mengepung dan menahan Warga Wadas yang berjuang mempertahankan tanah mereka dari pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), berupa Bendungan Bener yang diinisiasi Presiden Jokowi.

Lebih spesifik, pembahasan tentang Korps Bhayangkara terdapat pada bab berjudul “Kasus Duren Tiga dan Reformasi Polri” (Bab XII, h. 621). Dua kasus besar disinggung di sini, yakni pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dan tragedi tewasnya suporter Aremania di Stadion Kanjuruhan, Malang. Desmond banyak menyayangkan kinerja kepolisian yang menurutnya defisit empati dan tidak profesional dalam menjalankan tugas dan amanah. Mereka lebih akrab dengan kekerasan daripada pengayoman.

BACA JUGA : Jalankan Putusan MK, Walhi: Sepatutnya Pemerintah Terbitkan Perppu Batalkan ‘UU Cilaka’

Pasca Reformasi ‘98, institusi kepolisian yang dulunya di bawah naungan ABRI, kini kian powerful. Hal ini karena berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memposisikan Polri langsung di bawah Presiden.

Maraknya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh “oknum” kepolisian kerap viral berkat kerjasama publik menggunakan media sosial tak ayal memantik rasa putus asa dan kehilangan kepercayaan terhadap Polri. Bagaimana mengatasi institusi powerful sedemikian rupa ini agar demokrasi berjalan dan masyarakat mendapatkan pengayoman? Desmond mengajukan proposal,

“Reposisi kepolisian di bawah Mendagri, harus diakui sebagai posisi yang tidak menguntungkan bagi kepolisian. Tetapi, jika polisi gagal untuk melakukan reformasi di tubuhnya sendiri, maka ini menurut hemat saya merupakan pilihan yang baik yang perlu dipertimbangkan oleh Presiden dan DPR demi menyelamatkan kepolisian dan kemaslahatan bagi rakyat Indonesia,” (h. 673).

BACA JUGA : Bisa Rusak Citra Polri di Mata Publik, Kapolres HSU Ingatkan Anggota Jangan Hidup Bergaya Hedonisme

Sederet proposal Desmond untuk perbaikan hukum dan demokrasi kita amatlah menarik untuk dikaji lebih lanjut. Agar Indonesia tidak jadi bancakan oligarki: persekutuan elite yang tak begitu peduli dengan apa pun agar dapat mempertahankan status-quo. Termasuk dengan menggunakan narasi-narasi kerakyatan, patriotik dan sebagainya.

Membongkar Stigma

Istilah “politik identitas” juga tampak begitu menarik perhatian Desmond. Hari-hari ini istilah tersebut mengalami simplifikasi pengertian karena kerap diasosiasikan kepada identitas agama saja, yakni Islam (Drama Politik Identitas, Bab III, h. 123). Simplifikasi semacam itu kemudian menciptakan stigmatisasi umat Islam. Hal ini tak kunjung berhenti hingga pertengahan periode kedua kepemimpinan Jokowi, seiring juga meningkatnya toleransi terhadap pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan.

Desmond menyayangkan gejala pemerintah, di satu sisi, menolak ekspresi politik dan simbol umat Islam, akan tetapi, di sisi lain, kerap menerapkan kebijakan berbasis pada neo-imperialisme dan neo-kapitalisme. Padahal kita punya pedoman berupa UUD 1945 dan Pancasila yang menurutnya belakangan ini kian memudar.

BACA JUGA : Ajukan RUU Sistem Pengelolaan SDA, Aktivis Masyarakat Sipil Kalsel Soroti Peran Senator DPD

Akan tetapi, pembelaan Desmond bukanlah pada ranah teologis, melainkan dalam rangka mewujudkan hak mereka sebagai warga negara yang memang secara konstitusional dilindungi untuk kemudian dapat berkoeksistensi sebagai bagian dari perjalanan sejarah menjadi Indonesia.

Memang, seperti yang dipaparkan Abdul Munir Mulkhan, “Konflik dalam Budaya Identitas dan Perkembangan Politik di Indonesia”, dalam buku Media-Militer-Politik (2002), tidak dapat dimungkiri adanya krisis internal di tubuh umat Islam.

Dalam sejarah Islam, polarisasi akibat politik di dalam tubuh Islam telah melahirkan kejumudan. Dominasi ahli syariah yang berkolaborasi dengan politisi di dalam sejarah Islam mulai muncul beberapa abad setelah Nabi Muhammad SAW wafat pada akhir abad ke-7. Pemikiran kritis pada masa itu kemudian ditindas secara teologis ataupun politis oleh penguasa Islam.

BACA JUGA : Usung Foto Aktivis HAM Munir, Massa BEM Seka Kecewa dengan Ketua DPRD Kalsel

Lebih lanjut, menurut Munir, kekerasan teologis semakin membeku dan berkembang menjadi ideologi “jihad” dalam gerakan modernisasi sekitar abad ke-13. Dan semakin mengeras sesudah kekalahan politik Islam dalam Perang Salib dan runtuhnya Baghdad sebagai simbol kekuasaan Islam.

Alhasil, Islam tak hanya tampil dalam wajah syariah ekslusif, kaku dan keras, tapi juga cenderung reaktif yang memandang perbedaan dan yang di luar dirinya ancaman nasib pemeluk secara ekonomi-politik dan sesudah kematian. Dunia sosial, ekonomi, politik, dan iptek harus diletakkan sebagai penuh ancaman. Hal ini jauh berbeda dari kelembutan kemanusiaan dan inspirasi kesejagatan kasih sayang (rahmatan lil “alamin) dalam risalah dan tradisi kenabian Muhammad SAW sendiri.

Dalam perspektif hukum positif Islam, Tuhan pun kemudian dimengerti sebagai hakim yang juga keras dan tanpa kompromi. Dalam situasi terdesak, dengan mudah seorang atau sekelompok pemeluk bertindak atas nama Tuhan yang dengan itu boleh berbuat apapun termasuk melanggar HAM.

BACA JUGA : Aktivis Senior Anang Rosadi Adenansi : Tak Boleh Ada Pemaksaan Vaksinasi Covid-19!

Di sinilah ideologi jihad muncul guna mobilisasi massa bagi tujuan-tujuan politik. Makin dekat Tuhan dan makin saleh seseorang, cenderung makin tidak manusiawi. Kejumudan ini pada gilirannya melahirkan sikap reaktif, bahkan konfrontatif, terhadap gagasan-gagasan modern seperti gagasan negara-bangsa. Demokrasi pun kerap dianggap tidak kompatibel dengan Islam.

Akan tetapi, corak semacam itu selain tidak tunggal di dalam Islam. Mereka pun juga tidak dominan. “Gerakan sempalan”, kata Gus Dur. Mekanisme otokritik oleh cendekiawan Muslim sendiri selalu sigap meresponi kejumudan. Negara perlu upaya yang bijaksana selain cara kekerasan. Belajar dari sejarah, kekerasan tidak akan sirna dengan kekerasan.

Dalam konteks ini, Desmond ingin mendorong betul perluasan wawasan dan kebijakan pemerintah  dalam upaya deradikalisasi agar tidak mengedepankan cara-cara kekerasan, seperti menangkap dan membunuh tanpa peradilan terduga teroris (extrajudicial killings), atau pun memberikan ceramah dan materi toleransi belaka dalam berbagai program diklat agar orang menjadi tidak radikal.

BACA JUGA : Dimotori Advokat, Akademisi dan Aktivis, Tim Advokasi Jurkani Dibentuk di Kalsel

Lebih dari itu, pemerintahan yang bersih, penegakan hukum dan keadilan, serta jaminan kesejahteraan, keamanan dan demokrasi, pendidikan dan kesehatan, pemilu yang jujur dan adil harus diprioritaskan sebagai kunci keberhasilan membangun Indonesia yang lebih baik.

Pemerintah juga harus mengawal demokrasi yang inklusif untuk siap merayakan perbedaan dengan menyemarakkan pertukaran pikiran seraya berdamai dengan kebisingan yang ditimbulkannya. Bukan melalui proyek-proyek stigmatisasi terhadap sesama anak bangsa guna kepentingan politik belaka, apalagi sampai menghilangkan nyawa.

Di dunia internasional bahkan gerakan Islamofobia telah resmi ditentang. Hal ini merujuk pada sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah resmi membuat Hari Anti-Islamofobia yang jatuh pada 15 Maret. Graham Fuller, analis politik internasional asal Amerika, mengungkapkan bahwa masalah dunia hari ini bukanlah Islamofasisme, melainkan neo-imperialisme dan neo-kapitalisme. Orang-orang terjerumus menjadi radikal dan teroris itu karena frustasi dengan keadaan yang diciptakan neo-imperialisme dan neo-kapitalisme.

BACA JUGA : Sebut RKUHP Aneh dan Belum Matang, Ratusan Mahasiswa Sambangi DPRD Kalsel

Pada era Jokowi, sayangnya, keberlimpahan semangat para tokoh yang kerap mengumandangkan “radikal-radikul” tidaklah simetris dengan upaya kritik mereka terhadap penyelewengan kewenangan yang dilakukan Pemerintah. Mereka tampak toleran, bahkan terhadap perilaku koruptif. Salah satu contohnya adalah Prof. Dr. Karomani, M.Si., sosok Rektor Universitas Lampung (Unila) yang diciduk KPK pada Agustus 2022 lalu. Prof. Dr. Karomani, M.Si dikenal salah satu tokoh yang paling kencang berteriak melawan radikalisme karena pernah memimpin Forum Rektor beraudiensi dengan Istana terkait penanganan radikalisme di kampus (h. 193).

Meruwat Reformasi

Jika ditelisik secara mendalam, sebagian proposal gagasan yang diajukan Desmond bagi perbaikan demokrasi dan penegakan hukum dalam buku ini kiranya bukanlah hal baru. Beberapa kalangan telah merekomendasikannya dengan nada dan substansi yang serupa. Dengan kata lain, Desmond memang telah menyerap betul aspirasi dan keresahan publik untuk segera sampai ke telinga elite kekuasaan. Selain itu, posisi Desmond sebagai Anggota DPR RI, yang itu berarti adalah bagian dari elite kekuasaan, menjadikan apa yang dipaparkan Desmond pada buku terbitan portal berita dan investigasi, Law Justice, ini menjadi begitu bermakna.

BACA JUGA : Sebut RKUHP Aneh dan Belum Matang, Ratusan Mahasiswa Sambangi DPRD Kalsel

Dalam riset Anders Uhlin, “Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia” (Mizan, 1998: h. 150), para aktivis di masa Orde Baru sejatinya memiliki tujuan yang sama terkait demokrasi di Indonesia, yakni: tuntutan pelaksanaan HAM, pandangan bahwa HAM dan prinsip nilai dasar demokrasi bersifat universal, tuntutan bagi dilaksanakannya aturan hukum dan pembatasan terhadap watak sewenang-wenang pemerintah,  seruan bagi pemilihan umum yang bebas dan jujur, dan pengurangan kekuasaan politik kelompok militer.

Hampir 24 tahun sudah era Reformasi berjalan. Melalui uraian buku terbitan Desember 2022 ini, kita dapat melihat bukan hanya amanat Reformasi yang tak kunjung terwujud (Reformasi Terseok-Seok, Bab VIII, h. 393), warisan berupa semangat dan gagasan tentang bagaimana seharusnya kita berbangsa dan bernegara karya para Pendiri Bangsa, perlahan terus menuju ke titik nadir (Pudarnya Ideologi Negara, Bab X, h. 479).

BACA JUGA : Berpotensi Halangi Kemerdekaan Pers, Dewan Pers Surati Presiden Minta Penundaan Pengesahan RKUHP

Menurut Anders, dalam mewujudkan tujuan bersama Reformasi di atas terdapat perbedaan strategis di antara para aktivis. Ada yang konfrontatif, non-kooperatif. Ada pula pendekatan non-konfrontatif. Isu tentang sikap konfrontatif versus non-konfrontatif terhadap rezim Orba merupakan kontroversi utama dalam pergerakan prodemokrasi.

Adnan Buyung Nasution mengungkapkan, sebagaimana dikutip Anders, meskipun terdapat pro dan kontra aktivis prodemokrasi terkait strategi di atas, namun banyak aktor penting yang pada akhirnya melirik untuk bekerja sama dengan militer dalam mewujudkan Reformasi. Saat itu, militer masih menjadi kekuatan politik yang tak dapat diabaikan. “Sebagaimana dalam kekuatan sosial sipil lain, di dalam militer juga terdapat potensi demokratis yang berdampingan dengan represif,” tulis Buyung.

Dari pemilahan Anders di atas, Desmond kiranya dapat dikategorikan aktivis non-konfrontatif. Ini terlihat dari pilihannya turut serta membangun Partai Gerakan Indonesia Raya bersama para aktivis dan purnawirawan yang prodemokrasi. Hingga pada akhirnya Desmond masuk ke Senayan. Dari dalam sana, Desmond terus memilih jalur gradual mengawal demokrasi dengan, salah satunya, aktivitas membangun kekuatan sipil dengan aksi literasi.

BACA JUGA : Jika Politik Transaksional, Oligarki Campur Tangan, Isra : Pilgub Kalsel Hingga PSU Contoh Anomali

Pada tahun 2015 lalu, misalnya, Desmond mengumpulkan 1.500 aktivis demokrasi dari berbagai daerah se-Indonesia dalam kegiatan kemah aktivis di Yogyakarta. Salah satu program dari giat tersebut adalah menebar gagasan melalui program literasi. Buku ini sendiri merupakan kumpulan tulisan Desmond terhadap berbagai isu yang menyita perhatian publik sepanjang tahun 2022. Ini juga merupakan kelanjutan dua buku sebelumnya yang berjudul “Prahara Demokrasi di Tengah Pandemi” (2020) dan “Kekuasaan yang Menindas, Biang Kerok Perusak Demokrasi” (2021).

Sebelumnya, Desmond pernah menerbitkan: “Presiden Offside: Kita Diam atau Memakzulkan” (2012), “Menggugat Logika APBN: Politik Anggaran Partai Gerindra di Badan Anggaran DPR RI” (2012, ditulis bersama Fary Djemy Francis), “DPR Offside: Otokritik Parlemen Indonesia” (2013), “Menatap Masa Depan Indonesia” (2015), “Fungsi-Fungsi DPR: Teks, Sejarah dan Kritik” (2020).

BACA JUGA : Harapan Hukum Kedokteran dan Kesehatan Vs Oligarki Politik dan Finansial

Tidak ada banyak perbedaan dari buku-buku sebelumnya: Desmond konsisten menjalankan tugas sejarahnya dengan merawat sikap kritis terhadap kekuasaan. Kritik sendiri telah menjadi hal yang kiranya tidak mudah belakangan ini diungkapkan oleh rakyat di bawah rezim Jokowi. Selain serangan buzzer pendukung pemerintah, aparat pun siap siaga merepresi dengan bersenjatakan pasal-pasal karet (h. 652).

Kerja-kerja oligarki telah merusak solidaritas anak bangsa dan melahirkan krisis multidimensi. Ketidakpedulian negara terhadap nasib rakyat jelata menjadi tontotan vulgar tanpa interupsi yang berarti. Yang kaya, makin kaya dan difasilitasi. Yang miskin, makin miskin dan ditindas. Di bawah ancaman dan ketakutan, rakyat dipersilakan diam manis menyaksikan kesenjangan dan kesewenang-wenangan menjadi kian lestari (Negara sebagai Penindas Rakyat, Bab IX, h. 441).

BACA JUGA : UU ITE Dipakai Memukul Lawan, Isu Agama Makin Menguat

Mobilitas vertikal yang telah dilakukan Desmond, mulai dari putra daerah, buruh kasar, aktivis LBH, hingga menjadi legislator Senayan, rupanya tidak sama sekali membuatnya lupa akan masa silam. Desmond masih bisa melihat masa di mana dia berada di tengah rakyat jelata dengan segala persoalan kongkret yang membelit keseharian mereka, tanpa perlu mengapropriasi pengalaman orang lain. Hal ini terutama begitu tampak pada Bab VII, “Karpet Merah untuk Oligarki” (h. 337). Kita akan menemukan perspektif Desmond mewujud sebagai rakyat jelata yang merasakan langsung dampak dari perilaku elite.

Penyingkapan dan pembalikan narasi yang dilakukan Desmond menjadikan buku ini tak ubahnya catatan ironis yang kian dapat memunculkan dugaan bahwa seolah-olah upaya merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tiada lain dan tiada bukan, semata untuk memastikan bancakan lintas generasi oligarki belaka.

BACA JUGA : Transformasi NU VS Politik Oligarki

Menyimpang dari tujuan semula yang terdapat pada pembukaan UUD 1945, alinea ke-4, bahwa ada empat tujuan berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Gerakan Milenial Indonesia (GMI) Kalimantan Selatan

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/02/15/review-buku-desmond-j-mahesa-matinya-narasi-presiden-wong-cilik/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.