
Oleh : Maria Roeslie
TAHUN Baru Imlek 2574 Kongzili tahun ini jatuh pada hari Minggu, 22 Januari 2023. Bahkan, pemerintah telah menetapkan hari Senin, 23 Januari 2023 sebagai cuti bersama Imlek.
APA saja tradisi yang dilakoni warga Tionghoa Banjar di Kalimantan Selatan? Untuk perayaan menyambut tahun baru imlek ini dimulai dengan membersihkan dan mempercantik serta memperindah rumah tinggal.
Ada pula melakukan renovasi rumah tinggal dan lain sebagainya. Satu minggu sebelum tahun baru Imlek, sebaiknya tidak melakukan pembersihan di bagian atas rumah (bahasa Banjar “Begeguar”), karena dianggap dewa-dewa tempekong sudah naik ke langit dan akan turun kembali satu minggu setelah tahun baru Imlek tersebut.
BACA : Jelang Tahun Baru Cina, Perburuan Pernak-Pernik Imlek 2023 Terlihat di Kampung Pecinan Banjarmasin
Menghias rumah untuk menyambut tahun baru juga dilakukan dengan menempelkan hiasan imlek seperti gambar-gambar terkait shio tahun itu (misalnya tahun ini adalah tahun shio Kelinci, maka nuansa tempelan dinding bergambar Kelinci), menggantung lampion merah, menempatkan pohon bunga Sakura di ruang tamu, semua dengan nuansa merah dan warna emas.
Ketika saat hari Imlek itu sendiri, ada beberapa keluarga Tionghoa Banjar yang pantang membuang sampah ke luar rumah (tidak menyapu lantai) karena dipercaya dapat membuat rezeki tersapu keluar rumah.
BACA JUGA : Sambut Imlek 2023 Tahun Kelinci Air, Kelenteng Suci Nurani Banjarmasin Berhias Diri
Perayaan Imlek sendiri dimulai dengan berkumpulnya keluarga besar dengan acara makan malam bersama pada H-1, dengan menu yang cukup istimewa dan lengkap. Menu utama minimal; ikan, ayam, bebek, babi (untuk keluarga non muslim), sayur dan juga lanjut makan kue keranjang serta buah jeruk mandarin yang berwarna kuning keemasan. Semua makanan itu mengandung filosofi berkecukupan, keberuntungan, kebahagiaan dan rezeki melimpah ruah. Makanan disediakan sejumlah banyak agar masih bisa dimakan keesokan harinya, juga berfilosofi doa agar rezeki di tahun baru selalu ditambahkan.
BACA JUGA : Peribadatan Imlek di Klenteng Karta Raharja Meningkat Setelah 2 Tahun Tak Dilaksanakan
Anggota keluarga dianjurkan untuk mengenakan pakaian baru, (dari pakaian dalam sampai pakaian luar) yang biasanya didominasi warna merah yang juga melambangkan warna keberuntungan, kebahagiaan, keberhasilan, pembawa hokky (nasib baik), filosofi dengan pakaian baru adalah rejeki dan peruntungan selalu diperbaharui dan meningkat dari tahun ke tahun. Keluarga juga memakan permen (gula-gula) yang manis, sehingga kehidupan selalu manis di tahun yang baru ini.
BACA JUGA: Hikayat Dua Klenteng Besar, Identitas Etnis Tionghoa Banjar
Sembahyang atau berdoa tepat jam 00.00 mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa juga dilakukan oleh keluarga suku Tionghoa Banjar, agama apapun dengan cara dan tradisi masing-masing agama.
Di samping pintu kiri kanan juga diletakkan batang pohon tebu seutuhnya lengkap dengan daun nya. Kemudian di bagian batangnya dibungkus kertas merah sekitar 10 centimeter lebarnya. Filosofi yang terkandung di sini adalah seperti pohon tebu yang tumbuh subur dan panjang, maka diharapkan kesuburan dan panjang umur juga menyertai di tahun yang baru ini.
BACA JUGA : Peran dan Kiprah Tionghoa Banjar Dalam Lintasan Sejarah
Menyambut Imlek juga terkait dengan tradisi potong rambut. Di mana, keluarga kami Tionghoa Banjar selalu melakukan potong rambut sebelum menyambut hari Imlek. Filosofi yang kami dengar adalah membuang sial dan beban di tahun yang akan berlalu, sehingga di tahun yang akan datang semua akan baik-baik saja.
Kue keranjang atau Nian Gao yang dikenal di negara asalnya adalah kue yang dibuat setahun sekali saja. Kue keranjang merupakan salah satu budaya akulturasi Tionghoa Indonesia, di mana menurut cerita turun temurun dari nenek moyang awalnya kue tersebut berbentuk bulat panjang (lonjong), kemudian setelah di Indonesia kue tersebut dicetak di keranjang sehingga kemudian dikenal dengan nama kue keranjang. Kue ini terbuat dari perpaduan bahan dasar ketan dan gula, di mana filosofi dari kue keranjang adalah lengket, yaitu melekatkan hubungan kekerabatan.
BACA JUGA : Persentuhan Budaya Tionghoa-Banjar; dari Kecap, Lontong hingga Bunyi Gamelan di Klenteng
Setelah selesai makan malam bersama, bagi penganut agama Konghucu, melakukan ritual sembahyang menghadap ke langit dengan hio dupa lanjut sembahyang leluhur dengan aneka hidangan buah lengkap di meja sembahyang.
Sajian sembahyang Imlek selama tiga hari dari malam imlek, buah-buahan saji dihiasi dengan kertas merah yang digunting berbagai model dan aneka bentuk dan menyalakan lilin merah sepanjang hari.
BACA JUGA : Jung dan Lada, Tionghoa dalam Catatan Sejarah Banjar
Pada hari Imlek, melakukan penghormatan kepada orangtua terlebih dahulu, baru mengucapkan selamat menyambut Tahun Baru kepada anggota keluarga lainnya. Bagi orang tua ataupun yang sudah berkeluarga biasanya memberikan amplop merah (angpao) berisi sejumlah uang kepada anak dan cucu yang belum menikah. Hal ini sebagai ucapan syukur dan kewajiban membagikan rezeki.
Petasan pun selalu mengiringi perayaan Imlek dengan maksud memburu roh-roh jahat yang ada di sekitar kita dengan bunyi petasan. Warna kemasan petasan juga didesain dengan warna merah. Adapun legenda atas hal tersebut,adalah cerita masa lampau di mana suatu saat hari raya Imlek, ada serangan semacam mahluk jahat monster atau disebut Nian yang berwujud setengah banteng namun berkepala singa yang menyerang warga dan menculik warga desa.
BACA JUGA : Kisah Tabib Tha Sin; Pembauran Tionghoa dan Islam di Tanah Banjar
Akhir cerita, monster bisa dikalahkan dengan tiga hal. Yakni, kebisingan (petasan), warna merah dan api. Hal ini juga, menurut cerita dari zaman ke zaman terkait erat dengan asal usul tarian Barongsai yang juga memburu roh-roh jahat dengan bunyi-bunyian yang keras.
Seiring dengan perkembangan zaman tarian Barongsai juga dipersembahkan untuk hiburan yang melambangkan kegembiraan. Tarian Barongsai memerlukan keahlian khusus. Tarian Imlek lainnya adalah Liong/Naga yang dimainkan dengan banyak pemain dan mengutamakan keharmonisan gerak. Sebelum tarian ini diperarakkan, dilakukan ritual lebih dahulu melalui sembahyang di tapekong/ kelenteng oleh seluruh pemainnya.
BACA JUGA : Kisah ‘Lima Naga’ di Tanah Banjar
Kata Barongsai merupakan bahasa akulturasi budaya China dan budaya Indonesia, asal kata Barong dari Bali (tarian dengan kostum/boneka tertentu) dan kata Sai berarti singa. Di negara asalnya hanya dikenal dengan Lion Dance.
Di Banjarmasin sendiri cukup banyak perkumpulan suku Tionghoa yang memiliki perangkat tarian Barongsai, sehingga jalan-jalan akan penuh dengan Barongsai yang mengunjungi rumah-rumah penduduk yang menyediakan rumahnya untuk dimasuki barongsai, karena ada kepercayaan barongsai akan memburu roh-roh jahat. Sebagai ucapan terima kasih, maka pemilik rumah akan memberikan angpao untuk tim penari dan pemain musik barongsai.(jejakrekam)

Penulis adalah Budayawan Tionghoa Banjar