Pilih Tinggal di Kampung Berangas, Hikayat Pangeran Bagalung; Leluhur Orang Alalak (2)

0

Oleh : Iberahim

PASCA Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, tak berapa lama kemudian Pangeran Bagalung meninggalkan pusat kerajaan di Muara Hulak, Negara (kini Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Kerajaan Negara Daha didirikan Sekarsungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan (1437-1526).

PANGERAN Bagalung memilih hijrah dan bermukim ke arah hilir negeri atau daerah kuala. Kampung Berangas atau Barangas, di tepian Sungai Alalak menjadi wadah pemukiman yang baru, bersama 2.000 pendukungnya, baik laki-laki maupun wanita. Lumayan banyak untuk ukuran populasi penduduk ketika itu.

Pangeran Bagalung yang dengan nama kecil Raden Bali ini memilih Berangas, yang diperkirakan jauh perkayuhan seseokan dari pusat Kerajaan Negara Daha. Narasi ini terungkap dalam Hikayat Banjar Resensi I dan II yaitu Bagalung menetap di Barangas (Berangas), jauhnya berkayuh menghilir setengah hari dari Nagara-Daha.

BACA : Kisah 4 Putra Maharaja Sari Kaburungan; Raja Kerajaan Negara Daha (1)

Jika mengikuti waktu sekarang jarak tempuh Berangas ke Negara sekitar sehari semalam menggunakan kapal motor. Bayangkan, bagaimana perjalanan zaman itu dari Berangas ke Daha yang ditempuh hanya dengan menggunakan perahu dayung.

Potret orang-orang Alalak Besar saat menghadiri sebuah acara di Banjarmasin saat difoto oleh fotografer Belanda. (Foto KILTV Leidena)

Saban hari Sabtu, Pangeran Bagalung menghadap Maharaja Mangkubumi di Sitilohor Keraton Negara Daha. Penghadapannya dengan diiringi para pengawal dan diadakan upacara seperti takhta upacara dipati.

Yakni dengan kelengkapan payung bawat (payung kebesaran bentuknya mirip ubur-ubur) diparamas, awinan (peralatan; perisai, tombak, dan lainnya) yang digunakan sebagai lambang pangkat yang dibawa bersama dengan orang yang tinggi statusnya) tumbak barhulas kimka (Kimka atau kimkha adalah kain sutra halus yang berbunga-bunga) kuning dua, kimka hijau dua, kimka hitam dua, awinan barhulas kimka putih dua, awinan tumbak barsulam amas ampat, awinan astenggar (senapan sundut) ampat, urang berbaju-rantai (baju zirah) ampat serta pedang serta parisainya, dan kandaga (peti yang biasanya berisi kelengkapan pakaian perang dan pakaian harian dan sebagainya), lampit (tikar yg terbuat dr jalinan bilah-bilah rotan (bambu) dengan hudutannya (pipa untuk mengisap rokok).

BACA JUGA : Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Pangeran Tumanggung juga memakai upacara serupa. Aria Taranggana upacaranya awinan tumbak barsulam satu, awinan barhulas kimka merah satu, payung bawat satu sarta kandaga, lampitnya sarta hudutannya. Dan para menteri jua sama memakai lampit, kandaga dan hudutannya. Menteri kerajaan atau menteri dipati sama memakai papak belulang (tempat minuman terbuat dari kulit) diparamas (dihiasi emas) dengan kandaga serta hudutannya itu.

Takhta kerajaan seperti perhiasan dahulu itu; galaganjur Si Rabut Paradah, rarancakan Si Rarasati; banyak tiada tarsebut. Senantiasa bersuka-sukaan Maharaja Mangkubumi itu, makan lawan saudaranya itu sarta sagala manterinya itu, dan makmur nageri Nagara-Daha itu.

BACA JUGA : Bubuhan di Era Kesultanan Banjar, Diberi Gelar Pembekal, Kiai hingga Andin (2-Habis)

Tak berapa lama, setelah menghadap itu Pangeran Bagalung akhirnya mengalami sakit payah. Maharaja Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Aria Taranggana dengan segala menteri menjenguk Pangeran Bagalung di Barangas. Setelah beberapa lama berbincang-bincang di mana Pangeran Bagalung berpesan menitip anak istrinya kepada saudaranya itu maka Pangeran Bagalung kemudian meninggal dunia.

Potret sosok laki-laki asli (Dayak) Berangas dan perempuannya yang ada di Museum Wasaka Banjarmasin. (Foto Wikipedia)

Larung pun kemudian dibuatkan. Semua orang yang hadir pada upacara kematiannya diberi makan. Kemudian larung, Pangeran Bagalung itu dikubur sebagaimana astilah tahta perhiasan orang-orang besar zaman dulu. Tangisan pun pecah. Orang-orang bertangis-tangisan. Pangeran Bagalung meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Raden Harja Kusuma dan seorang anak perempuan bernama Raden Lamarsari.

BACA JUGA : Nansarunai Ditaklukkan dengan Tiga Misi Militer Majapahit

Anak cucunya ini kemudian menurunkan para priayi di Muara-Rampiau dan di Muara-Bahan (Marabahan) di kemudian hari.  Adapun Maharaja Mangkubumi dan Pangeran Tumanggung masih tinggal di negeri Negara-Daha.

Sepeninggal Pangeran Bagalung, tampuk kekuasaan keadipatian berpindah kepada Raden Harja. Raden Harja inilah yang kemudian menjadi salah satu leluhur Orang Alalak Berangas. Makamnya pun dipercaya berada di kawasan Alalak, persisnya di Kelurahan Alalak Tengah, Banjamasin.

BACA JUGA : Primbon dan Hitungan Mistis 1525; Jejak Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-496

Raden Harja ini pernah membantu pasukan Pangeran Temanggung, ketika terjadi perang saudara melawan pasukan Pangeran Samudera. Ini termuat juga dalam buku Suluh Sejarah Kalimantan karya Amir Hasan Kiai Bondan, selain termaktub dalam Hikayat Banjar.

Menurut tetuha orang Alalak, Raden Harja ini semasa hidupnya banyak berdiam di wilayah Muara Marampiau kemudian terakhir di Alalak Berangas. Tak banyak diketahui tentang keturunannya. Namun yang pasti banyak orang Alalak Berangas yang mengaku keturunannya. Kemungkinan, Pangeran Cilik, Pangeran  Suryanapati dan Raden Jaya Diwangsa yang familiar di telinga orang Alalak Berangas masih ada hubungan darah dengan Raden Harja.

BACA JUGA : Himpun Tutus Rama Andin, Dimotori dr Meldy Muzada Elfa Dibentuk Yayasan Kerakatan

Secara garis besar menurut pengamatan penulis ada 3 kelompok besar pemukim di wilayah Alalak dari garis silsilah. Pertama, kelompok keturunan Kindu Mui. Kedua, kelompok keturunan Habaib terutama fam Al Balghaist. Dan yang ketiga adalah keturunan Raden Harja. Ketiganya kadang saling kawin campur.

Penulis menelusuri keberadaan makamnya di wilayah Alalak. Terlihat jelas makamnya adalah makam Muslim karena menghadap ke arah utara. Dugaan sementara beliau berislam ketika Pangeran Samudera naik takhta sebagai Sultan Banjar pertama. Kemudian beliau jadi penyokong utama kerajaan yang baru berdiri tersebut. Berbeda dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang menyingkir ke daerah Alai bersama 1.000 orang pendukungnya.

BACA JUGA : Bukan Mitos, Kerajaan Negara Dipa Dibangun Bangsawan Tanah Jawa

Lalu bagaimana kisah Pangeran Bagalung menjadi leluhur Orang Lawahan Rantau di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan? Penulis mencoba menelaah keterangan tertulis dari tokoh Rama Andin Lawahan Rantau yaitu Andin Kamal Pasya.

Kondisi Sungai Alalak yang terhubung dengan Sungai Barito, Kalimantan Selatan di masa kolonial Belanda. (Foto KITLV Leiden)

Menurut Kamal Pasya, Rama Andin yang diam di Tapin secara umum atau Lawahan secara khusus, diprediksi asal usul leluhurnya hampir keseluruhan berasal dari wilayah Marampiau, Pabaungan, Muhara Muning, Sungai Rutas, Margasari dan sekitarnya.

BACA JUGA : Penyimbolan Sunan Giri dalam Islamisasi Negara Daha

“Pedatuan/leluhur mereka itu rata-rata bergelar Rama yang menandakan memiliki silsilah lurus dari laki-laki. Tradisi turun temurun dalam intern keluarga apabila seorang Andin menjabat tetuha/tuan guru/tokoh dalam masyarakat yang memiliki garis lurus dari jalur laki-laki, maka berhak menyandang gelar Rama,” tutur Andin Kamal Pasya.

Berbeda jika seorang Andin berasal dari jalur perempuan, maka tidak bisa menyandang gelar Rama meskipun sebagai tuan guru/alim/tokoh/tetuha. Di kalangan mereka, tidak ada gelar lain terkecuali Rama dan Andin.

BACA JUGA : Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (2)

Meskipun segelintir anak perempuannya ‘Rama’. Ada pula yang memakai gelar ‘Mas’ seperti Mas Mulia binti Rama Ubaidillah, Mas Djam binti Rama Ubaidillah dan Mas Rumi binti Rama Husin. Gelar ‘Mas” tidak pernah dipakai untuk anak-laki dari Rama/Andin. Jika ditelusuri dari sudut adat budaya gelar Rama yang disandang dari Pedatuan para Andin di wilayah Tapin, bisa dipastikan bahwa Pedatuan mereka memiliki garis lurus dari jalur laki-laki.

Hal ini lazim dalam silsilah kebangsawanan, walaupun mereka tidak mampu meneruskan sampai ke puncaknya yaitu Maharaja Sukarama. Hal ini diperkuat oleh tradisi bahwa gelar Rama hanya boleh disandang oleh mereka yang mempunyai silsilah garis lurus dari pihak laki-laki. Sedangkan yang dari jalur perempuan cuma memakai gelar Andin.

BACA JUGA : Candi Agung, Negara Dipa dalam Perspektif Dokumen Tanah Jawa (1)

Sebelum keluarga Andin Kamal Pasya mengetahui Manuskrip Hikayat Lembu Mangkurat pada tahun 2021, keluarga besar Rama Andin di Lawahan dan sekitarnya sudah familiar dengan nama Raja Bagalung/Raden Bagalung.

Mereka tidak mengenal dengan Pangeran Mangkubumi ataupun Pangeran Tumenggung. Bahkan dalam tutur keluarga diceritakan bahwa para Andin di Lawahan memiliki hubungan keluarga dengan bangsawan kerajaan di Nagara (HSS) dan Marabahan (Batola).

BACA JUGA : Menghimpun Kembali Zuriat Adipati Danu Raja, Penguasa Banua Lima

Selain itu, secara metafisika sejak dahulu sampai sekarang ini beberapa anak cucu (turunan) Rama Andin, baik yang diam Kampung Lawahan atau pun kampung lain sering melihat penampakan (rohaniah) Raja Bagalung.

Beliau terlihat berjubah putih penuh wibawa, rambut disanggul/gelung, memakai pedang di pinggang serta menaiki kuda putih dengan bunyi gemerincing berpadu irama tapak kaki kuda.

BACA JUGA : Di Era Sultan Suriansyah, Kerajaan Banjar Mulai Terapkan Hukum Islam

Sehingga sebagian besar anak cucu Rama Andin di wilayah Tapin meyakini kalau mereka berasal dari Keturunan Raja Bagalung / Raden Bagalung. Bahkan di kampung Lawahan ada satu jalan kecil diberi nama Hantasan Raja Bagalung, karena beliau selalu lewat di jalan itu.

Menurut keterangan dari mereka yang pernah melihat penampakan (rohaniah) Raja Bagalung bahwa arah pulang dari beliau selalu ke Barat (kalau dari Lawahan letak Margasari itu arah Barat).

Menurut Andin Kamal Pasya, Hikayat Lembu Mangkurat menjelaskan setelah Pangeran Mangkubumi naik takhta maka Raden Bagalung (Raden Bali) bin Maharaja Sukarama hijrah ke Berangas yang diikuti oleh kurang lebih 2000 orang pengikutnya.

BACA JUGA : Sejarah Panjang Masjid Kanas dari Kampung Alalak Besar

Sesudah Raden Bagalung wafat dan dikuburkan di Berangas, lalu anak beliau yang perempuan Raden Lamarsari binti Raden Bagalung tinggal di Muara Bahan (Marabahan) dan yang laki-laki bernama Raden Harja bin Raden Bagalung diam di Muara Rampiau (Marampiau) yang kemudian anak cucunya menetap di sana. Meskipun akhirnya, Raden Harja bin Raden Bagalung hijrah ke Alalak melahirkan beberapa anak dan wafat serta dikuburkan di sana.

BACA JUGA : Islamisasi Tanah Banjar dan Gagalnya Raden Sekar Sungsang Dirikan Kerajaan Islam

Menilik kisah tadi secara logika bahwa Tutus Rama Andin yang sekarang ini tersebar di wilayah Tapin dan sekitarnya kemungkinan besar berasal dari Raden Bagalung (Raden Bali). Tidak ada catatan dari sejarawan (manuskrip) yang menjelaskan Pangeran Mangkubumi ataupun Pangeran Tumenggung melahirkan keturunan yang tinggal Muara Bahan (Marabahan) ataupun Muara Rampiau (Marampiau).

Artinya, Rama Andin di wilayah Tapin bukan keturunan Pangeran Tumenggung. Ya, seperti pendapat yang ada selama ini bahwa Andin adalah bangsawan keturunan Pangeran Tumenggung yang menyingkir ke Alai.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Keturunan ke-5 Andin Murad (Datu Pulut Negara-HSS)

Pencarian populer:photo Nagara bahari kalsel,Raja bagalung,https://jejakrekam com/2023/01/01/pilih-tinggal-di-kampung-berangas-hikayat-pangeran-bagalung-leluhur-orang-alalak/,berangas tengah jaman dulu
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.