Refleksi Akhir Tahun; Perluasan Ruang dan Wahana Kesenian

0

Oleh : Hajriansyah

TAHUN 2022 menandai dua tahun (pasca) pandemi Covid-19. Bagaimanapun jua, goncangan pandemi pada tahun 2020 itu tidak hanya berakibat lumpuhnya perekonomian dan sosial secara global, bahkan dampaknya menjalar ke seluruh sudut kota/kabupaten di tingkat lokal Kalimantan Selatan.

TERMASUK pula, di dalamnya, berimbas pada persoalan kreativitas kesenian dalam proses kreatif komunal maupun personal. Hal ini setidaknya terungkap dalam wacana kesenian (diskusi-diskusi seni) pada perhelatan Banjarmasin Art Week 2022 (BAW) yang berlangsung di bulan November yang lalu.

Hampir semua bidang kesenian, baik yang bersifat kolektif atau individu, lumpuh total. Pertunjukan teater dan pergelaran tari, musik, film, (pameran) seni rupa, sastra, pada masa puncak pandemi dan turutan ppkm-nya, semuanya tak berdaya. Kecuali proses kreatif yang bersifat individual seperti menulis (sastra) dan melukis yang dapat dilakukan secara sendiri di rumah, lainnya yang memerlukan ruang “berkumpul”—termasuk wahana memamerkan karya rupa/lukisan dan perluasan/distribusi karya sastra pun—harus ber”diam-diri” sementara waktu. Suasana panik, kecemasan, ekses dari pandemi sedemikian rupa membuat “dingin” semangat para seniman, yang umumnya terbakar ketika berkumpul dan berdiskusi.

BACA : Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin Dukung Sanggar Perpekindo Dokumentasikan Tari Kreasi Banjar

Seiring surutnya pandemi dan kemampuan beradaptasi masyarakat, pemulihan seluruh sendi ekonomi dan sosial, termasuk di dalamnya kesenian, secara beriringan bangkit untuk tumbuh kembali. Wacana-wacana masa Pandemi yang bertebaran di media sosial perlahan-lahan coba diimplementasikan secara riil, dengan menghadirkan kembali pentas dan pameran seni yang adaptif pasca-pandemi.

Hal ini, sebagaimana terungkap dalam sesi-sesi diskusi seni BAW, otomatis melahirkan gagasan dan format (bentuk gelaran maupun visualisasi) seni yang “baru” dan kekinian. Mode daring dan pemisualan digital berkelindan dan dielaborasikan dengan bentuk “tradisional” umumnya—yang meniscayakan pertemuan langsung. Begitu pula cara menyampaikan pesan maupun sosialisasi kegiatan yang lebih serba-medsos dan digital memberi penguatan pada strategi sosialisasi dan edukasi ke masyarakat. Pada titik ini, yang demikian cukup menggembirakan.

BACA JUGA : Siap Majukan Dunia Seni, Disbudpar Komitmen Dukung Dewan Kesenian Banjarmasin

Namun tentu saja, tidak semua elemen kesenian (baca juga: seniman) kemudian dengan serta merta dapat beradaptasi dengan “teknologi” dan wahana kebaruan ini. Sebagian seniman, dengan keunikan proses kreatifnya masing-masing, kesulitan merambah teknologi digital—baik dalam hal publikasi karya maupun pemanfaatan media dalam berkarya. Hal inilah yang sekiranya penting untuk terus diwacanakan /dan bantu-operasionalkan melalui sebaran diskusi dan sosialisasi berkelanjutan, baik sesama seniman maupun oleh pihak berkepentingan di dalam pemerintah.

BACA JUGA : Suguhkan 70 Penari Rahap Rahayu dari Para Siswi, Banjarmasin Art Week Bakal Jadi Even Tahunan

Salah satu dari poin penting hasil KTT G-20 Bali November 2022 lalu, adalah mendorong kolaborasi dalam rangka pemulihan ekonomi global yang inklusif dan pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan. Wilayah ekonomi kreatif tentu merupakan salah satu unjuk tombak dalam mendorong hal ini. Dan bagaimana jua, kesenian adalah wahana bagi kreativitas tersebut yang, meski dalam tataran tertentu ia bersifat eksklusif dan konseptual, ekses ekspresinya ke publik luas mendorong gagasan praktis lainnya yang dapat diikuti masyarakat secara lebih luas dalam hal penguatan serta pemajuan sumber daya ekonomi.

BACA JUGA : Beri Ruang bagi Berkesenian, DPRD Banjarmasin Usulkan Dewan Kesenian Diberi Dana Hibah APBD

Bukan saja tanpa kesenian hidup menjadi hambar, namun daya apresiasi yang menjadi substansi kesenian memberikan motivasi kerja yang lebih menyegarkan. Seni menjadi daya hidup simultan, beriringan dengan daya ekonomi dan kreativitas lainnya, bagi kemajuan peradaban manusia. Selain fungsi “dekorasi”, aspek intelek kesenian juga menyumbangkan wawasan serta gagasan yang selalu baru dan menyegarkan.

Maka di antara poin utama UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan—yang tentu berefek pada kreativitas kesenian—adalah tekanan pada penguatan tata kelola kebudayaan (lebih spesifik tata kelola kesenian), di mana empat fokus utamanya adalah perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Pembinaan dimaksud tentu tidak terbatas berorientasi pada “benda” seni dan pelakunya, namun lebih jauh masyarakat apresiannya.

BACA JUGA : Tak Beri Ruang Berkesenian, Usung 9 Tuntutan, FSKS Kritik Pengelolaan Taman Budaya Kalsel

Apresiasi yang jalan di tempat, tidak ramah terhadap kreativitas para seniman. Kreativitas tanpa dorongan apresiasi melahirkan kemandekan yang berbahaya bagi nilai-nilai yang diusung seni atau semangat kesenian. Apresiasi tersebut bisa berupa kritik dan tanggapan, fasilitasi dan koleksi (membeli buah karya seni, baik berupa buku maupun lukisan), dan sebagainya.

Beberapa pokok pikiran di atas, saya kira yang menjadi kesinambungan wacana penting pascapandemi 2022. Lebih-lebih soal tata kelola kesenian. Menjelang akhir tahun ini sejumlah even kesenian kolosal dikebut semerata daerah di Kalimantan Selatan: Aruh Sastra Kalimantan Selatan XIX di Kota Pelaihari, BAW dan Cangkurah Kreatif di Banjarmasin, dan beberapa even penting lainnya di Banjarbaru, Kotabaru, HST, dan seterusnya.

BACA JUGA: Sepanjang Tahun 2023 Diisi 42 Event, Forkot Banjarmasin Sebut Kesan Kuat Berfoya-Foya dengan APBD

Sejauh ini semuanya tampak meriah. Namun yang perlu terus digaungkan dalam kesadaran, tidak hanya para seniman, juga masyarakat luas, adalah seberapa jauh aspirasi kesenian (para seniman) mampu menyentuh apresiasi masyarakatnya. Dan substansi kreatif bagaimana yang akan terus ditindaklanjuti secara berkesinambungan oleh para stakeholder kebudayaan (pemerintah, lembaga legislatif dan lainnya, pihak swasta, dst.) untuk sama-sama menerima dan mendorong pemajuan kebudayaan yang kita citakan.

Secara konkret, terkait perlindungan kesenian tradisional mesti dilakukan pendataan kesenian tradisi—baik yang masih hidup di tengah masyarakat maupun yang hampir punah atau sudah hilang. Hal ini bisa diwujudkan dalam sebuah direktori terkini terkait kesenian, sanggar dan pelakunya, bentuk klasik maupun kreasinya.

BACA JUGA : Sukses Helat BAW Jukung Barenteng 2022, DK Kota Banjarmasin Bersiap Tuan Rumah ASKS XX 2023

Pengembangan kreativitas bentuk dan nilai-nilainya mesti dipetakan dengan jelas, sampai ke wilayah komunal geografisnya. Pemanfaatan media lama dan baru apa saja yang kini dilakukan para seniman, dan bagaimana mereka diberdayakan dalam konteks pengembangan kota yang berbudaya. Dan tentu, saja pembinaan berkelanjutan bagi pemangku nilai-nilai kreativitas budaya ini.

Di kota perdagangan dan jasa, seperti halnya Banjarmasin, yang lebih terbuka ini saja masih banyak mispersepsi dan miskomunikasi dalam rangka saling berkolaborasi memajukan kesenian. Para pihak masih jalan sendiri-sendiri, jikapun ada komunikasi masih bersifat formalistik-eforistik dan belum menyentuh semangat kolektif dan strategi kebudayaan yang terukur dengan arah yang jelas.

BACA JUGA : Teliti Kain Sasirangan, Ketua DK Banjarmasin Sesalkan Motif Klasik Sarigading Tak Diterapkan Optimal

Tata kelola kesenian harus diarahkan pada peningkatan sumber daya kesenian, kebijakan terkait kesenian dan seniman harus dibuatkan tata aturan yang longgar (memberi ruang bagi kebebasan ekspresi dan kreasi), dan berpihak pada kesinambungan hidup mereka.

Bukan sekadar memanfaatkan bila-bila dalam rangkaian program yang asal ramai dan tak berpengaruh bagi wacana berkelanjutan. Ke dalam, bagi para pelaku seni, sikap optimistik yang ditularkan semangat kesenian harus terus mampu berkolaborasi dengan semerata pihak bagi membawa angin segar perubahan (kemajuan).(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin, juga mengelola Kampung Buku

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.