Kasus Longsor Berulang, Walhi Ungkap 456 Ribu Meter Jalan Nasional di Kalsel Dikepung Izin Tambang

0

CATATAN Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan mengungkap ada sepanjang 456 ribu meter jalan negara di Kalsel telah dibebani dan dikepung perizinan tambang (batubara).

“DAMPAK dari beban izin tambang ini jelas menimbulkan potensi kerugian negara. Ini karena rusaknya infrastruktur yang dibangun dari uang pajak rakyat, seperti jalan dan fasilitas umum lainnya,” beber Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono kepada jejakrekam.com, Kamis (13/10/2022).

Menurut dia, dari hasil penelusuran dan analisis, kasus longsornya Jalan A Yani Km 171 di Desa Satui Barat, penghubung akses Batulicin-Banjarmasin pada Rabu (28/9/2022) lalu, membuktikan hal itu.

“Faktanya, jarak lubang tambang dengan jalan dari sisi utara hanya 38 meter dan dari sisi selatan hanya 152 meter. Sedangkan, jarak lubang tambang dengan sungai hanya 195 meter,” tutur Kisworo.

BACA : Jalan Longsor Km 171 Ditutup Total, Pemkab Tanbu Tunggu Hasil Penyelidikan Geolistrik BPJN Kalsel

Masih menurut dia, parahnya lagi jarak lubang tambang dengan pemukiman dan rumah ibadah hanya berkisar 79 hingga 42 meter. Kemudian, jarak tambang batubara aktif dengan titik longsor hanya 183 meter dan 19 meter dari lubang pasca tambang yang terbengkalai.

“Carut marut pertambangan ini harusnya dapat ditindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana,” kata mantan aktivis Mapala Graminea Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM).

BACA JUGA : Penanganan Jalan Longsor Desa Satui Barat Sudah Masuk Program Jalan APBN 2023

Pria yang akrab dipanggil Cak Kiss ini menegaskan dasar hukum untuk menindak adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara. Dalam belied ini, diatur jarak minimal tepi galian lubang tambang dengan pemukiman warga adalah 500 meter.

Kondisi eksisting jalan longsor di ruas Jalan A Yani Km 171, Desa Satui Barat, Satui, Tanah Bumbu yang dikepung lokasi tambang batubara. (Foto Walhi Kalsel)

“Kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, di sana diatur tentang sempadan sungai paling sedikit 50 meter kiri dan kanan sungai untuk sungai kecil dan 500 meter untuk sungai besar,” kata peraih sarjana hukum STIH Sultan Adam Banjarmasin ini.

BACA JUGA : Gandeng Perusahaan Tambang Bangun Jalur Alternatif, Tanbu Lobi Kementerian PUPR Tangani Jalan Longsor

Cak Kiss menerangkan bahwa sempadan sungai yang fungsinya untuk konservasi tidak seharusnya juga ditambang. Kemudian, beber dia, dalam PP Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pasca Tambang, perusahaan tambang seharusnya menutup lubang tambang setelah melakukan pengerukan.

“Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengatur hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup ataupun terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Ini seperti tercantum dalam Pasal 65 yang mengatur hak setiap orang atas lingkungan hidup,” beber Cak Kiss.

BACA JUGA : Bupati Zairullah Sebut Jalan Longsor Satui Barat Akibat Dampak Pertambangan Batubara

Atas kondisi itu, Walhi Kalsel menuntut pemerintah daerah bertanggungjawab dan jangan terlalu berkompromoi dengan korporasi yang berkelit dari kasus longsornya jalan negara itu.

Sebab, beber Cak Kiss,  di wilayah yang sama sekitar 762 meter dari longsor tersebut juga pernah dilakukan pemindahan jalan negara karena longsor akibat aktivitas tambang.

“Ini artinya, kejadian ini selalu terulang dan pemerintah kembali lagi terbukti lalai dan selalu membiarkan kerusakan lingkungan terjadi seolah-olah pemerintah di bawah kekuasaan korporasi,” cetus Cak Kiss.

BACA JUGA : 2 Terdakwa Pembunuh Advokat Jurkani Divonis 10 Tahun dan 8 Tahun Penjara

Bagi dia, tata kelola pertambangan yang masih carut marut dan serampangan ini membuktikan bahwa pemerintah dan penegak hukum selalu lalai dan membiarkan kejadian selalu berulang.

“Selain kasus kerusakan lingkungan, meninggalnya advokat Jurkani, beberapa waktu lalu merupakan bentuk kelalaian negara di sektor pertambangan,” tutur Cak Kiss.

Dalam catatan Walhi Kalsel di lokasi jalan negara yang longsor di Satui Barat, justru berdekatan dengan konsesi seluas 198 hektare milik PT  Mitrajaya Abadi Bersama (MJAB) yang mengantongi izin Gubernur Kalsel pada tahun 2020 dengan nomor Surat Keputusan (SK) 503/6-IUP.OP4/DS-DPMPTSP/IV/III/2020. 

BACA JUGA : Walhi Sebut Kalsel Sedang Sakit, Lahan Pertanian Terancam Ekspansi Tambang dan Sawit

“Ada pula konsesi PT Arutmin (Indonesia) yang baru saja diperpanjang pada November 2020 lalu dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seluas 11.403 hektare dengan nomor SK 221 K/33/MEM/2020 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ungkap Cak Kiss.

Menurut dia, berdasar overlay data spasial setidaknya ada 25 perusahaan pertambangan yang izinnya tumpang tindih langsung dengan jalan negara di Kalsel.

BACA JUGA : Lubang Pasca Tambang Jadi ‘Destinasi Maut’, Walhi Kalsel Tuntut Perusahaan Bertanggungjawab

Dengan fakta itu, Cak Kiss menilai bahwa negara telah dihina melalui praktik buruk pertambangan ini. Pasca pencabutan beberapa perizinan alih fungsi lahan baik untuk sektor kehutanan, Hak Guna Usaha (HGU), dan tambang, tidak serta merta pengelolaan sumber daya alam di Kalsel semakin baik. 

“Sebaliknya, pemerintah juga menerbitkan beberapa izin baru dan memperpanjang beberapa PKP2B menjadi IUPK. Di Kalsel sendiri antara lain ada dua perusahaan besar yaitu PT Arutmin dan PT Adaro Indonesia yang melenggang bebas mengupas dan menguras sumber daya alam di daerah dengan minim tanggung jawab pemulihan,” imbuh Cak Kiss.

BACA JUGA : Gunung Titi Kembali Dijamah Tambang Batubara Liar, Pemkab HST Segera Siapkan Tim Penertiban

Dia menyebut berkaca dari kasus Desa Wonorejo, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan yang hilang digusur Adaro untuk kepentingan tambang semata.

“Faktanya, tidak ada tanggung jawab sosial secara utuh baik terhadap negara dan masyarakat Wonorejo. Kerugian negara pun belum terhitung secara detail dari hilangnya infrastruktur yang dibangun dengan anggaran negara,” bebernya.

Menurut Cak Kiss, kasus Wonorejo juga berlarut-larut dan menyebabkan efek domino di pemerintahan. “Walhi menilai praktik buruk penguasaan ruang hidup ini sebagai pelanggaran HAM bahkan extraordinary crime (kejahatan luar biasa),” ucapnya.

BACA JUGA : Bangun Kesadaran Politik, Uhaib Beber Kuatnya Cengkeraman Oligarki di Pesta Pilkada Kalsel

Kata Cak Kiss lagi, perpanjangan izin pertambangan batubara seakan seperti jalan tol yang bebas hambatan. Tidak adanya pemeriksaan kembali seperti audit dan evaluasi yang komprehensif di tingkat daerah.

“Desakan masyarakat sipil begitu mudah diabaikan. Negara hanya menghitung profit yang didapat tanpa menghitung kerugian atau dampak buruk tidak langsung dari investasi yang tidak ramah HAM seperti tambang batubara ini,” bebernya.

BACA JUGA : Bumi Lagi Sakit, Walhi Kalsel dan Jejaringnya Kampanyekan Tolak Investasi Kotor

Dalam catatan Walhi Kalsel, dari beberapa fakta itu membuktikan semakin lemahnya pengawasan dan penindakan negara terhadap sektor industri ekstraktif yang punya daya rusak tinggi ini.

Sebab, beber Cak Kiss, kasus longsornya jalan negara ini pun bukan kali pertama terjadi. Ambil contoh, pada Juli 2022 lalu terjadi longsor di Desa Bukit Mulya, Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut.

“Kemudian, longsornya jalan di Desa Bunati Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu pada Mei 2021. Ada pula di Desa Tatakan Kecamatan Tapin Selatan Kabupaten Tapin pada Oktober 2021,” tutur Cak Kiss.

BACA JUGA : Kenapa Kalsel Selalu Banjir? Ini Analisis Mantan Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta

Masih menurut dia, mundur beberapa tahun lagi, ingatan masyarakat atas longsornya lubang pasca tambang di Desa Kintap Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut pada Juni 2017 yang menyebabkan 8 rumah warga hanyut dan 11 rumah warga rusak.

“Semua kasus ini disebabkan aktor industri ekstraktif ini adalah buah dari lalai dan lemah nya negara untuk memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan,” katanya.

Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono alias Cak Kiss. (Foto Istimewa)

Bahkan, menurut Cak Kiss, potensi kerugian negara pun telah terjadi di wilayah-wilayah pertambangan baik yang berizin maupun tidak.

BACA JUGA : Tolak Solusi Iklim Palsu COP 26, Walhi Kalsel Bentangkan Spanduk #SaveMeratus di Sungai Barito

“Muaranya adalah potensi korupsi melalui tata kelola sumber daya alam yang luar biasa jumlahnya jika dihitung menyeluruh. Belum lagi korupsi lewat birokrasi perizinan oleh mafia-mafia perizinan yang telah banyak terbukti menjerat pejabat dan mantan pejabat publik di Kalsel,” cetusnya.

Atas fakta itu, Cak Kiss menegaskan Walhi Kalsel mendesak perusahaan tambang segera memperbaiki dan memulihkan lokasi longsornya jalan negara.

“Pemerintah jangan sampai menggunakan dana rakyat untuk melakukan pemulihan kerusakan lingkungan, termasuk jalan negara yang longsor lagi akibat tambang. Mendesak  pelaku usaha industri ekstraktif bertanggung jawab menyiapkan Sistem Peringatan Dini dan Tanggap Bencana di sekitar wilayah izinnya,” beber Cak Kiss.

BACA JUGA : Konflik Agraria, Rakyat Selalu Kalah, Walhi Kalsel Desak Pemerintah Usut Perusak Lingkungan

Kepada Gubernur Kalsel, Cak Kiss mendesak agar segera turun tangan dan meminta pemerintah pusat untuk segera mengevaluasi dan mengaudit seluruh perizinan industri ekstraktif dan monokultur skala besar.

“Mabes Polri dan Kapolda Kalsel harus segera melakukan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, khususnya pertambangan dan perkebunan sawit, dan kejahatan lingkungan yang menimbulkan longsornya jalan negara,” katanya lagi.

Masih kata Cak Kiss, pemerintah harus menghentikan izin izin baru karena, izin yang ada saja sudah selalu bikin masalah.

BACA JUGA : Pertegas Wilayah Kelola Rakyat, Robohkan Oligarki Kapitalistik

“Perbaikan dan pemulihan kerusakan lingkungan termasuk sungai, drainase, jalan dan infrastruktur lainnya. Mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan membuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang pro terhadap keselamatan rakyat dan lingkungan serta mampu meminimalisir bencana ekologis,” kata Cak Kiss.

Walhi Kalsel juga menuntut agar negara segera membentuk Komisi Khusus Kejahatan Lingkungan dan Sumber Daya Alam serta membentuk Pengadilan Khusus Kejahatan Lingkungan dan Sumber Daya Alam.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2022/10/13/kasus-longsor-berulang-walhi-ungkap-456-ribu-meter-jalan-nasional-di-kalsel-dikepung-izin-tambang/
Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.