Seni Kok, Dilombakan?

0

Oleh : Sumasno Hadi

DI DUNIA kesenian kita, berbagai perlombaan, kompetisi, sayembara, dan bahkan kejuaraan seni nampak akan terus ada. Baik yang diselenggaralan pemerintah maupun oleh kelompok atau unsur pelaku seni non pemerintah.

SELAMA 10 tahun ke belakang, saya pun sering terlibat dan masuk dalam kegiatan jenis ini di daerah Kalimantan Selatan. Sebagian besar menjadi juri atau penilai lomba bidang musik, selebihnya penyelenggara atau inisiator.

Di situlah saya kerap menemui satu persoalan yang berulang. Yakni pemilihan juri yang tidak berasas pada kompetensi penilai. Biasanya, hal ini berhubungan dengan dua problem lainnya.

Problem pertama, pihak penyelenggara perlombaan kerap tidak menerapkan prinsip profesionalitas sebagai parameter pemilihan juri yang diberikan tugas menilai. Di sini, ada semacam anggapan bahwa, setiap seniman pasti mampu menilai dan melakukan penjurian. Barangkali aspek pengalaman dan bukti kekaryaan seseorang dijadikan pembenaran, bahwa itu menandakan kemampuan penilaian.

BACA : Kuliner Banjar; Refleksi di Ujung Lidah, Warisan yang Tak Boleh Luntur

Faktanya tidak semua pembenaran itu terbukti, karena penilaian sebagai pengetahun (teoretik maupun praktik), adalah satu disiplin yang ilmiah. Yakni  pada bidang evaluasi atau assessmen/penilaian artistik. Pada disiplin inilah teori, metode, dan teknik penilaian terumuskan secara konseptual hingga bentuk aplikasi praksisnya.

Dengan demikian, kompetensi juri sebagai penilai dibangun tidak asal-asalan, tapi berdasarkan proses akademik yang ilmiah. Dari problem inilah maka muncul probem kedua sebagai ikutannya.

BACA JUGA : Romantisme Kelam Orba, Kisah Maestro Seni Rupa Banua dalam Kerangkeng Peristiwa 65

Problem kedua adalah dampak dari hasil penilaian yang tidak objektif, dalam arti proses dan tahapan penjurian yang tidak memiliki kejelasan metodis serta kesesuaian teknik penilaian. Hasil penjurian pun tidak memiliki derajat objektivitas yang tinggi sehingga sulit dipercayai publik. Akibatnya, banyak protes dan gugatan dari pihak peserta lomba. Biasanya klaim profesionalitas juri akan dikukuhkan oleh penyelenggara pada norma perlombaan yang menyatakan: keputusan juri tidak dapat diganggu gugat. Secara normatif, ini sangat tidak masuk akal. Undang-undang dan peraturan pemerintah saja dapat digugat publik secara hukum, kenapa keputusan juri lomba seni tidak?

BACA JUGA : Usai Membingkai Bayang-Bayang, Buku Kado buat Rektor ULM; Lini Masa Sutarto Hadi

Memang, seni dalam konsep estetika memiliki dua irisan paradigmatiknya. Yakni seni sebagai aesthetics value dan seni sebagai artistics value. Yang pertama akan mengonsepsikan seni sebagai dimensi pengalaman estetetik yang individual, sehingga parameter normatifnya lebih bersifat subjektif.

BACA JUGA : Perjalanan Seni Rupa Kalsel Cukup Panjang Walau Tak Semaju Daerah Lain

Di sinilah seni dimaknai sebagai fenomena yang unik lagi autentik, sehingga jargon “seni tidak bisa dibandingkan apalagi dilombakan” memiliki pijakan konseptual. Sebaliknya, konsep estetika seni yang kedua berada pada dimensi rasionalitas publik yang empiris, sehingga ada parameter normatif yang lebih objektif. Oleh karenanya beralasan untuk dilakukan assessment sehingga seni dapat diukur, dibandingkan, dan dilombakan.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Musik dan Filsafat di FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.