Walikota (Banjarmasin) Bukan Bawahan Mendagri

0

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

TERBITNYA surat perintah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian kepada Walikota Banjarmasin Ibnu Sina untuk mencabut gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan kuat sangat tendensius dan ngawur.

DALAM hal ini, Mendagri tak boleh menggunakan kekuasannya justru untuk mengintervensi persoalan hukum khususnya sengketa konstitusi yang masih diadili MK.

Ibarat sebuah film silat, saya mengistilahkannya bak seorang pendekar mabuk yang hantam kromo. Memang betul, soal pembuatan undang-undang (UU) merupakan urusan pemerintah (pusat), tapi usulan pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Banjarmasin ke Banjarbaru patut diduga justru datang dari kalangan DPR RI.

Nah, ketika publik termasuk tentu saja pemerintah daerah (dalam hal ini Walikota Banjarmasin dan Ketua DPRD Kota Banjarmasin) menilai ada ketidakwajaran, maka sangat pantas dan layak juga hal itu diselesaikan lewat jalur MK. Jadi, sepatutnya Mendagri sebagai representasi pemerintah pusat bisa menghormati langkah hukum semacam ini.

BACA : Masukan Hakim MK bagi Penggugat UU Kalsel : Pemindahan Ibukota Provinsi Cukup Pakai PP Bukan UU

Jangan sampai karena kedudukan Walikota (Banjarmasin) yang berkaitan dengan posisinya berada di bawah Mendagri, sekonyong-konyong kemudian muncul main perintah begitu saja. Terasa sekali, Mendagri belum bisa move on dari jabatan mantan Kapolri, sehingga lupa kedudukannya bahwa sekarang adalah pejabat sipil. Sebab, atmosfir di Polri tentu berbeda dengan pemerintahan daerah yang selalu ada jawaban dari bawahan siap. Sekali lagi, Walikota (Banjarmasin) bukan bawahannya, ketika dinyatakan harus siap.

Pada 2004 silam, ketika itu saya menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan yang ketika membahas soal pemindahan ibukota dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Saya termasuk penentang keras karena status Banjarmasin sebagaimana dimaktub dalam peraturan perundang-undangan adalah ibukota Provinsi Kalimantan Selatan. Ini ditandainya dengan keberadaan Kantor Gubernur Kalsel dan Sekretariat DPRD Provinsi Kalsel di Banjarmasin.

BACA JUGA : UU Kalsel Ada 2 Versi; 8 Pasal dan 49 Pasal, Pazri : Bisa Dibenturkan dengan UUD 1945!

Begitu ada penentangan dari publik termasuk dari parlemen DPRD Provinsi Kalsel, maka narasi pun berubah menjadi pemindahan pusat perkantoran dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Saat itu, Gubernur Kalsel yang menjabat termasuk para pendukungnya menyamakan atau menganalogikan seperti Malaysia, di mana ibukota negeri itu masih di Kuala Lumpur, sedangkan pusat pemerintahan dipindahkan ke Putrajaya, masuk wilayah Selangor Malaysia.

Yang pasti, rekam sejarah patut diingat lagi bahwa penentangan pemindahan ibukota Provinsi Kalsel ini juga terkait dengan soal keuangan (anggaran) daerah dan sejarah panjang Banjarmasin sebagai kota tua yang sarat nilai kesejarahannya di Provinsi Kalimantan Selatan.

BACA JUGA : Perintahkan Cabut Gugatan UU Provinsi Kalsel, Mendagri Intervensi Walikota Banjarmasin?

Sebenarnya yang dibutuhkan adalah pembenahan Kota Banjarmasin secara serius, bukan lantas harus memindah ibukota Provinsi Kalsel. Sebab, patut diduga saat pemindahan pusat perkantoran di Cempaka, Banjarbaru justru hal itu berkelindan dengan penyediaan lahan yang dulunya dikuasai para tuan takur, makelar tanah, sehingga ada kesan kebijakan itu hanya menguntungkan segelintir atau sekelompok orang.

Saya sadar waktu itu, duduk sebagai wakil rakyat DPRD Provinsi Kalimantan Selatan dari Fraksi PKB yang menjadi parpol pengusung duet Rudy Ariffin-Rosehan Noor Bachri (2R) sebagai Gubernur-Wakil Gubernur Kalsel periode 2005-2010 yang menggolkan rencana pemindahan ibukota.

BACA JUGA : Langgar Asas Pembentukan UU, BLF Yakin Status Banjarmasin Ibukota Kalsel Bisa Dipertahankan

Jadi, wajar jika ternyata dalam UU Provinsi Kalsel Nomor 8 Tahun 2022 yang memuat adanya frasa atau pasal pemindahan ibukota Provinsi Kalsel ke Banjarbaru membuat publik Banjarmasin terkejut, termasuk kepala daerah.

Nah, lewat Mahkamah Konstitusi (MK) justru bisa diusut tuntas apakah benar ada manipulasi pasal atau perubahan diam-diam, tentu saja harus diungkap ke publik dengan terbuka siapa dalangnya.

BACA JUGA : Curiga Frasa Pemindahan Ibukota ke Banjarbaru adalah Pasal ‘Seludupan’ di UU Provinsi Kalsel

Sebagai warga negara Indonesia yang punya hak konstitusi, gugatan judicial review ke MK itu sangat wajar dan sah-sah saja. Justru yang tidak wajar itu adalah terbitnya surat Mendagri yang sangat kuat intervensinya terhadap seorang walikota.

Ingat, Walikota Banjarmasin dipilih rakyat kota lewat Pilkada 2020 lalu, jadi bukan bawahan Mendagri. Sekali lagi, melalui tulisan ini saya mengingatkan agar Mendagri jangan sampai seperti amnesia dengan jabatannya.(jejakrekam)

Penulis adalah Anggota DPRD Provinsi Kalsel periode 2004-2009

Ketua LSM Mamfus Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.