Profesi Pendidik Bukan Pejalan Sunyi

0

Oleh : Susyam Widiantho, S.Pd., M.Pd

GELAR ‘pejalan sunyi’ disematkan untuk suatu subjek; profesi yang tidak sama dengan kebanyakan orang di sekitarnya. Menempuh jalan sunyi hanya dapat dilakukan oleh orang yang benar-benar siap.

SIAP diperlakukan berbeda dalam hal apa saja. Seorang sufi misalnya, dalam kehidupan sehari-hari ia banyak melakukan hal yang oleh orang lain dianggap aneh. Memilih jalan sunyi, bagi sebagian orang, merupakan pilihan tak lazim yang pantas ditertawakan. Jika dapat memilih keramaian, mengapa harus terjebak dalam kesunyian?

Dalam dunia sepakbola, penjaga gawang merupakan pejalan sunyi. Mengapa demikian? Di tengah cara pandang bahwa sepak bola hanya soal mencetak gol ke gawang lawan, maka penjaga gawang adalah sang pencegah gol. Penjaga gawang akan dicerca saat melakukan blunder.

BACA : Pentingnya Pendidikan Literasi Digital Sosial Media Dalam Konteks Bela Negara di Kalangan Remaja

Bagi penjaga gawang, melakukan blunder akan dianggap dosa abadi yang tak terampuni. Blunder yang ia lakukan akan menutupi ribuan penyelamatan yang pernah ditorehkan. Penjaga gawang dalam sepak bola berbeda kostumnya dengan pemain lain. Dari awal masuk lapangan kita sudah tahu mana penjaga gawangnya. Ini bukan berarti diskriminasi. Itu adalah simbol bahwa penjaga gawang merupakan penempuh jalan sunyi.

Selain kostum, penjaga gawang secara sistem dan aturan juga berbeda dengan pemain lain, dimana sepakbola dipahami sebagai seni memasukkan bola. Bukan tentang jatuh bangun dalam mencegah bola masuk ke gawang. Lalu apakah situasi profesi pendidik seperti itu? Sebagai pejalan sunyi yang tak pernah di ganjar dengan apresiasi yang baik seperti yang sudah dilakukan negara lain ? Apakah guru harus dibiarkan menempuh jalan sunyi. Akan terus menjadi Oemar bakri yang 40 tahun mengabdi tapi gaji masih di kebiri. Sejak awal jadi guru hidup kekurangan dan akan tetap kekurangan sampai purnatugas nanti?

BACA JUGA : Penghapusan Guru Honorer Melumpuhkan Pendidikan

Menurut pengamat pendidikan, dosen ULM sekaligus penulis aktif, Sumasno Hadi (2014) “Tuntutan output dari profesi guru sangat tinggi dengan segala macam tanggung jawab yang terkadang menjadi beban dalam rangka keberlangsungan bangsa yang beradab, tetapi tujuan besar tersebut mendapat apresiasi yang secara kualitatif tidak sebanding dengan beban tugasnya“.

Masih menurut Sumasno Hadi, hal tersebut adalah paradoksal yang secara psiko-sosial ada semacam kecenderungan untuk menempatkan profesi pendidik berada di bawah profesi praktisi. Seperti unggahan di media sosial yang beberapa waktu lalu didapatkan, “.. guru dibayar murah untuk memperbaiki karakter dan akhlak anak-anak, sedangkan artis sinetron di bayar sangat mahal untuk merusak akhlak anak-anak..

BACA JUGA : Metode Daring di Tengah Pandemi Covid-19 dan Tantangan Guru untuk Pendidikan ke Depan

Ironis sekali memang jika membandingkan dua profesi ini. Seperti kisah apel yang penuh ulat, atau kisah hari ini, Negeri Sawit yang Langka Minyak, sungguh kondisi yang menjejakkan pilu. Tapi hari ini, guru bukanlah pejalan sunyi, bukan pula kedua kisah pilu tersebut. Guru hari ini adalah agen perubahan yang sangat di perhatikan pemerintah, dengan proses yang bertahap tapi terus dalam peningkatan kualitas progres.

Sejenak kita ingat kisah Hiroshima dan Nagasaki di penghujung Perang Dunia II yang hancur remuk, luluh lantak oleh bom atom Amerika Serikat. Betapa Visionernya Kaisar Hirohito -Kaisar Jepang ke-142 yang dikenal dengan nama anumerta Kaisar Showa- yang mengumpulkan para jendral dan petingginya untuk menanyakan berapa banyak guru yang tersisa. Para Jenderal tersebut kemudian menegaskan kepada Kaisar Hirohito, bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindungi Kaisar, walau tanpa kehadiran para guru. Tetapi Kaisar Hirohito mengatakan bahwa Jepang telah jatuh, dan kejatuhan ini dikarenakan Jepang tidak belajar.

BACA JUGA : Wacana Guru Impor Kontroversial, Pengamat Pendidikan : Bisa Ancam Ideologi Indonesia

Jenderal dan tentara Jepang boleh jadi kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang telah dijatuhkan Amerika. Kaisar Hirohito kemudian menambahkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar. Karenanya, ia kemudian mengimbau pada para Jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh guru yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab, kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan. Apresiasi untuk guru dan pentingnya guru di mata kaisar Jepang tersebut, hasilnya kita lihat Jepang menjadi negara yang seperti apa sekarang dengan segala peradaban dan teknologi maju yang mereka miliki.

BACA JUGA : Bapak Pendidikan Kalimantan; Gubernur Milono dan Perkampungan Pelajar Mulawarman

Lantas bagaimana dengan Agama islam dalam menempatkan kehormatan guru? Dalam kitab Ta’lim Muta’allim dijelaskan bagaimana cara menghormati guru, di antaranya; tidak boleh berjalan di depan gurunya, tidak duduk di tempat yang diduduki gurunya, bila dihadapan gurunya tidak memulai pembicaraan kecuali atas izinnya. Murid mestilah mendapatkan ridha dari gurunya.

BACA JUGA : Kesenjangan Mutu Pendidikan Wilayah Perkotaan dan Pinggiran Harus Diatasi Bersama

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (SAW) bersabda: “Pelajarilah ilmu, pelajarilah ilmu dengan ketenangan dan sikap hormat serta tawadhu’lah kepada orang yang mengajarimu.” Ilmu tidak akan dapat diperoleh secara sempurna kecuali dengan diiringi sifat tawadhu’ murid terhadap gurunya, karena keridhaan guru terhadap murid akan membantu proses penyerapan ilmu, tawadhu’ murid terhadap guru merupakan cermin ketinggian sifat mulia si murid. Sikap tunduk murid kepada guru justru merupakan kemuliaan dan kehormatan baginya.

Ketua Dewan Pembina YPNMP, Masty Pencawan (2021) pun pernah mengatakan dalam peluncuran buku biografinya “Bila dokter memberikan resep obat yang salah kepada pasiennya, maka yang menjadi korban hanya pasien itu sendiri. Namun bila guru memberikan pendidikan yang salah kepada murid, maka yang menjadi korban adalah para muridnya dan penderitaan akan dialami satu bangsa“.

BACA JUGA : Hasil Survei Pustekkom 60 Persen Guru di Indonesia Gagap Teknologi Informasi

Guru mengisi botol kosong kehidupan generasi penerus dengan hal baik, untuk membantu hidup berguna dan bermartabat. Sejarah tentu menyisakan hikmah, setidaknya itulah yang harus di petik dari sebuah sejarah. Dengan urgensi profesi guru ini, saya dapat simpulkan bahwa guru adalah jalan Illahi, guru bukan pejalan sunyi. Jika engkau ingin berilmu maka carilah dari buku, tapi jika engkau ingin berilmu dan beradab maka carilah guru. Dari gurupun, engkau dapat mengenal Tuhanmu.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Prodi Sendratasik FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Guru SMA Negeri 13 Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.