Ketika 2 Ormas Berbeda Pendapat Saat Demonstrasi di Depan PN Tipikor Banjarmasin

0

Oleh : H Dudung A Sani, SH MAg

OPINI yang berkembang saat ini di Banu akita adalah dua gerakan organisasi kemasyarakatan (ormas). Mereka berorasi dan berdemonstrasi di depan Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Banjarmasin.

AKSI unjuk rasa ini terkait dengan proses persidangan atas dugaan gratifikasi dalam pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) yang menjerat mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Tanah Bumbu. Hingga, dalam kasus itu disebut-sebut ada tokoh Banua yang ikut terlibat di dalamnya.

Akibat muncul dugaan adanya keterlibatan tokoh Banua yang mengundang reaksi dari dua komponen ormas (LSM) itu. Bagi ormas yang pro dengan tokoh Banua itu, dalam orasi atau aspirasi meminta agar PN Tipikor Banjarmasin agar tidak mengkriminalisasi tokoh Banua yang disebut-sebut dalam kesaksian terdakwa atau saksi lainnya dalam persidangan.

BACA : Jelang Putusan Sidang Korupsi Pengalihan IUP, LSM Gelar Unjukrasa

Sedangkan, ormas lainnya yang berorasi di PN Tipikor Banjarmasin meminta agar penegakan hukum tidak tebang pilih. Jadi, siapa pun yang bersalah tetap harus dihukum, walau sekalipun melibatkan tokoh Banua.

Bagi penulis, dua orasi atau argumen yang dibanguna dua ormas itu bagian dari wujud kepedulian masyarakat terhadap tokoh Banua. Kepedulian dari masyarakat yang menginginkan agar Banua tetap kondusif dan hukum harus ditegakkan tanpa tebang pilih siapa pun orangnya yang melakukan pelanggaran hukum

Apalagi, masalah menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hal ini ditegaskan bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk membangun negara demokrasi yang menyelenggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia (HAM).

BACA JUGA : Gelar Aksi, LSM KAKI Ingatkan Para Penegak Hukum Untuk Bersikap Tegak Lurus

Berkenaan penyampaian pendapat ini aturan peraturan perundang – undangan menghendaki dalam suasana yang aman, tertib dan damai tanpa mengandung ujaran kebencian atau fitnah atau menuduh orang lain tanpa bukti dan fakta. Berkaitan dengan orasi atau menyampaikan pendapat dimuka pengadilan yang perlu diwaspadai adalah ucapan atau isi orasi jangan sampai berbenturan dengan aturan hukum

Berdasar Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, ada lima perbuatan yang termasuk dalam penghinaan terhadap peradilan: perilaku tidak pantas di peradilan (misbehaving in court), tidak menaati perintah pengadilan (disobeying court orders), menyerang integritas pengadilan (scandal rising the court), menghalangi jalannya proses peradilan (obstructing justice), dan penghinaan pengadilan dalam bentuk publikasi (sub-judice rule).

BACA JUGA : Uang Fee Proyek Dinas PUPRP HSU Mengalir Kemana-mana, Saksi : Dikasih ke Jaksa, Polisi dan LSM

Sedangkan, penghinaan terhadap lembaga peradilan  atau ‘contempt of court ‘ diatur dalam pelbagai peraturan. Misalnya, Pasal 207, 217, dan 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum – termasuk pengadilan, perbuatan yang menimbulkan kegaduhan dalam sidang, dan pihak yang mangkir saat dipanggil ke persidangan.

Sementara pada Pasal 218 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga mewajibkan semua orang menghormati pengadilan selama sidang. Nah, mengacu pada peraturan perundang – undangan tersebut di atas, jelas aparatur pengadilan dapat menuntut oknum yang dipersangkakan menghina lembaga pengadilan.(jejakrekam)

Penulis adalah Advokat dari Kantor D’Perfect Lawyer & Partner Kalimantan Selatan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.