Negara Tidak Berbisnis dengan Rakyat

0

Oleh: Kadarisman

PUBLIK lagi-lagi ramai. Kebijakan kontroversial kembali dilontarkan pemerintah. Pangkal sebabnya, rencana kenaikan harga tiket masuk Candi Borobudur naik 1,500 persen.

SEMULA masuk candi dapat diakses dengan bermodal Rp 50 ribu, maka kelak bila ditetapkan aturan baru akan menjadi Rp 750 ribu. Itu kebijakan keren kelewatan. Terlalu! Pengenaan tarif baru sebesar Rp 750 ribu dilakuakn untuk membatasi pengunjung. Candi Borobudur hanya dibolehkan dinaiki 1.200 orang per harinya, supaya eksistensinya tetap dapat terpelihara.

Jika itu yang menjadi dasar kebijakan, maka menaikan tarif itu solusi yang  tidak nyambung. Karena kalau semua orang mampu membayar Rp 750 ribu, bukankah tujuan itu hanya omong kosong?

Kebijakan ini sejatinya hanya memisahkan, yang miskin tak boleh, orang kaya boleh. Aturan  ini merendahkan filosofis kebijakan untuk memberikan pelayanan publik tanpa kasta, dimana akses publik menjadi hilang berubah menjadi akses yang private.

BACA : Demokrasi Indonesia Dibajak Oligarki, Ketum Partai Ummat : Kita Lawan dan Basmi!

Pemerintah tentu memiliki data orang miskin di Indonesia, saat ini di angka berapa. Ukuran angka kemiskinan ini dijadikan jurus tidak elok melakukan pembatasan dengan variabel harga tiket. Sudah pasti rakyat kelas akar rumput tereleminasi secara otomatis. Pemerintah tidak memihak rakyat kecuali kelompok kecil tertentu.

Konsep Negara sebagai rumah bagi rakyatnya sendiri acapkali dikadali oleh operator kekuasaan. Kian bertambah hari, penguasa semakin congkak dan percaya diri untuk terang-terngan mengkastakan rakyat yang sejatinya pemilik mandat kekuasaan. Penguasa kini lakskana pohon yang tumbuh meninggi tetapi congkak. Dia lupa asal tumbuhnya adalah pada keputsan politik akar rumput rakyat yang tereleminasi oleh banyak kebijakan saat ini.

BACA JUGA : Hanya Simbol Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Indonesia Kini ‘Dibajak’ Oligarki

Maka apapun yang meninggi tapi lupa “tanah kerendahan” yang muncul kemudian wujud eksistensi. Wujud “aku”  kerap membuat lupa kesejatian diri. Wujud Tuhan kemudian ditepiskan  karena ego menjadi kiblatnya mengatur-ngatur sekalipun menentang Tuhan. Menentang rakyat yang suara mereka  adalah suara Tuhan.

Kekuasaan dapat diukur dari meta analisis kebijakan. Bagaimana input dari satu unsur mekanisme dalam perumusan kebijakan telah dilakukan sebelum out kebijakan itu ada. Lalu apa yang menjadi outcome dari kebijakan itu sendiri

Orang boleh saja berkuasalah setinggi-tingginya tapi tetaplah benamkan ego kekuasaan  di tanah kerendahan, hati rakyat. Dengan begitu setidaknya produk kebijakan publik benar-benar berorientasi untuk kepentingan publik, bukan kepentingan elit, oligarki, dan kelompok orang tertentu.

BACA JUGA : Oligarki Kian Kuat Picu Konflik Sosial, Para Pakar di Dunia Suarakan Keprihatinan Bersama

Sekalipun kekuasaan diemban oleh para oligarki, namun mengelola negara tidak sama dengan mengelola bisnis. Karena negara bukan tempat membisniskan pelayanan kepada rakyat! Kelompok oligarki atau elemen dari anak bangsa manapun punya kesempatan yang sama dalam mengambil bagian kekuasaan politik praktis.

Infrastruktur politik yang diatur oleh negara menjadikan partai politik sebagai pintu masuk bagi siapa saja anak bangsa untuk  berperan dan terlibat berpemerintahan. Hanya saja, syarat bagi seorang aktor kekuasaan haruslah berjiwa negarawan. Oligarki haruslah sebagai oligarki negarawan. Kalangan dan elemen entitas masuarakat manapun  wajib hukumnya menjadi negarawan  ketika memutuskan berpolitik.

Oligarki mesti mampu menanggalkan semangat bisnisnya dalam kekuasaan. Akan sangat rentan kekuasaan di tangan oligarki yang bisa saja bersiasat mengambil ruang keuntungan bagi konglomerasi. Oligarki mestinya menjajdikan kesempatan berkuasa untuk menjawab tantangan yang dihadapi rakyat sekarang ini. Semangat untuk berpihak kepada rakyat dan melepaskan unsur kepentinagn sempit, lalu menebarkan kebaikan universalitas yang rahmatan lil’alamin, bukan untuk kemaslahatan satu golongan umat, tapi untuk seluruh rakyat.

BACA JUGA : Pertegas Wilayah Kelola Rakyat, Robohkan Oligarki Kapitalistik

Menjadi negarawan adalah syarat mutlak masuk ke dalam politik praktis. Jika tidak, sampai kapanpun negara selalu tersandera oleh kepentingan kelompok elit kekuasaan yang mengkhianati mandat rakyat. Kekuasaan politik juga bukan tempat sekadar penopang ekonomi dan sandaran hidup dari para pengangguran intelektual. Kontestasi politik bukan layaknya  lowongan kerja yang menawarkan dasi dan jas sebagai orang gedungan. Tapi ia adalah jalan pengabdian yang siap memimpin dengan jalan penderitaan sekalipun. Negara memberikan amanah actor kekuasaan sebagai pelayan rakyat, bukan membisniskan pelayanan negara dengan rakyat! (jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebijakan Banua

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.