In Memoriam HM Thaha

0

Oleh : YS Agus Suseno

INNA lillahi wa inna ilaihi rojiun. Tengah hari Kamis, 21 April 2022, saya mendapat kabar HM Thaha (Drs HM Thaha, M.Pd.) meninggal dunia di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu.

SUNGGUH tak disangka. Tak ada kabar atau tanda-tanda (atau saya yang tidak tahu saja?) apakah almarhum menderita sakit sebelumnya? Saya mengenal dan bergaul dengan HM Thaha (yang saya panggil “Kaka”) ketika almarhum menjadi dosen di FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dan bermukim di Kota Banjarmasin (tahun 1990-an).

Saya ingat, saat almarhum menangani dan mengawasi penyaluran dana program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di Kecamatan Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala, Ka Thaha mengajak saya (sebagai asisten pendamping) ikut dan (menyeberang dengan fery, lewat dermaga Aluh-aluh, Kabupaten Banjar) mengunjungi petani dan nelayan penerima IDT.

BACA : Ingin Dikenang Baik, YS Agus Suseno Bikin Puisi untuk Gubernur Kalimantan Selatan

Itulah awal mula kerja sama dan pergaulan saya dengan Ka Thaha. Pergaulan lebih intensif berlangsung ketika saya dan Ka Thaha menjadi pemain/anggota/pengurus Sanggar Seni Tradisi Kalimantan Selatan Teater Banjarmasin (TB), yang wabilkhusus menggelar mamanda (beraktivitas di UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin).

Ka Thaha berpembawaan tenang, nada suaranya berat dan, saat main mamanda, lebih banyak berperan sebagai “Raja.” Sebagai qoriah, dengan napasnya yang panjang dan vokalnya yang “hapuk” membuat banyak orang takjub dan terkesima ketika Ka Thaha menyanyikan lagu “Raja” (yang “wajib hukumnya” dalam teater tradisi mamanda).

BACA JUGA : Nelangsa Sungai Amandit Yang Keruh Dalam Bait Puisi Budayawan Agus Suseno

Kemampuan Ka Thaha dalam menyanyikan “lagu Raja” dalam teater mamanda saya kira membuat peran “Raja” (bahkan hingga saat ini) tak tergantikan. Memang, sebelumnya ada (almarhum) Ka Ijai (M. Zaini Ayax), tapi karakter vokalnya berbeda dengan Ka Thaha.

Dengan bendera TB, saya beberapa kali main mamanda dengan Ka Thaha, di Provinsi Kalimantan Selatan maupun di luar daerah. Seingat saya, pertunjukan terakhir saya bersama almarhum adalah “Abu Tamsil, Siluman Lok Naga” (komedi satire naskah/sutradara Bakhtiar Sanderta yang menyindir kasus “Edi Tansil”) saat menjadi peserta Festival Nasional Teater di Taman Budaya Jawa Barat dan di STSI Bandung (1996).

BACA JUGA : Sekelumit Kisah Hidup Penyair Tanah Bumbu, Sejumlah Pegiat Seni Ingin Rancang Buku Puisi Tato A Setyawan

Setelah itu, ketika menjadi Kepala Disdikbudparpora Kabupaten Tanah Bumbu, Ka Thaha minta bantuan saya mempersiapkan Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) II di Pagatan (2005). Sesudah itu, saya jarang bertemu Ka Thaha, paling sesekali; misalnya saat Ka Thaha tugas ke Banjarmasin dan, secara kebetulan, bertemu saat saya nongkrong ngopi di Warung Kai Mani.

Ka Thaha, pian urang (orang) baik. Pian baikan — baik pahatian. Ulun saksi. Mudahan pian khusnul khatimah, kulawarga nang ditinggal sabar, tabah, tawakal. Amin, ya Rabbal alamin.(jejakrekam)

Penulis adalah pekerja seni dan budaya, tinggal di Banjarmasin.

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.