Politisi dan Air Mata Tak Terbukti

0

Oleh: Kadarisman

TANGISAN dengan didukung gestur tertentu boleh jadi melambangkan kepilauan rasa.  Kenapa demikian?  Karena ada juga tangis kebahagiaan. Pembedanya adalah pada gestur dan konsistensi rasa itu sendiri.

MAKA jadilah air mata sebagai media komunikasinya. Ia merupa simbol untuk menunjukkan kondisi tertentu. Gestur kesedihan menyampaikan ada kondisi tertentu sedang tidak baik-baik saja. Maka menangis aktualisasinya. 

Air mata dan kesedihan menjadi makanan dalam kehidupan. Itu hal lumrah dan fitrah manusiawi. 

BACA: Konsumsi Naik Signifikan, Pertamax Idola Baru Warga Kalsel

Air mata dan kesedihan menjadi menarik ketika masuk ke dalam praktik politik praktis. Sungguhkah  ada kesedihan dan air mata yang wakil rakyat miliki  sebagai representasi perasaan dari rakyat ?  Atau hanya adegan ekploitasi drama politik karena tuntutan sutradara elit.

Air mata kerap dieksploitasi sebagai bahan jualan. Sinetron dan drama korea atau drakor kerap menjadikan air mata sebagai pengisi alur cerita. 

Air mata itu terbukti mampu menyihir pemirsa turut memiliki rasa yang sama. Tak jarang penonton turut menangis akibat akting apik pemainnya. Tapi sayangnya itu hanya sebuah drama belaka. 

Soal air mata ternyata bukan dominasi dunia sinetron atau drama korea.  Senayan, rumah rakyat juga menjadi sarang pesinetron politik. Kerap kita jumpai ungkapan prihatin dan rasa sedih wakil rakyat bahkan air mata tercucurkan, tapi sayang itu bohong belaka.

BACA JUGA: Efektif Naik 1 April Seharga Rp 12.750, Hanya Antrean Pengisi Pertamax Sebelum Pengumuman Resmi Di SPBU Mabuun

Tak lekang dalam ingatan, bagaimana politisi PDIP, seperti Puan Maharani, Rieke Diah Pitaloka dan Ribka Tjiptaning  termehek-mehek. 

Mereka menangis pilu  ketika tahun 2013  pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikan harga BBM sebesar Rp 500 untuk premium dan Rp 200 untuk pertamax.

Aksi unjuk air mata juga dilakukan Megawati pada momen yang sama tahun 2008.  Praktis sepanjang SBY memerintah, terdapat 4 kali kenaikan BBM tak pernah tidak ditolak oleh PDIP, apapun alasannya.

Kerasnya penolakan PDIP ketika itu tidak saja diungkapkan melalui tangisan yang berair mata. Ada aksi long march massa dan politisinya menolak kenaikan BBM. Mereka beranggapan kenaikan BBM  membuat bahan pokok terkerek naik. Pada akhirnya membuat rakyat miskin semakin terbenani.

BACA LAGI: Rupiah Melemah, Rakyat Kian Susah

Unjuk air mata itu tidak lagi tampak saat ini. Bahkan di beberapa kali pemerintahan Jokowi menaikan harga BBM tak ada ungkapan pesan kesedihan. Justru sebaliknya, yang tampak aksi kucing-kucingan. Keputusan menaikkan BBM dibuat ketika tengah malam saat wong cilik, rakyat lelap dalam tidur.

Air mata kesedihan yang rakyat rindukan dari wakil rakyat itu menjadi ironi. Mereka menangis bukan karena prihatin dengan nasib rakyat, tapi menangis karena belum menjadi penguasa semata.

Dan itu terbukti. Air mata kesedihan itu tidak ada lagi. Lingkaran kekuasaan yang telah mereka raih secara sendiri menunjukkan jati diri mereka sebenarnya.

Pada akhirnya air mata itu itu hanya sebuah drama. Ketika mereka berkuasa, rakyat jelata tetap menderita. Sungguh air mata yang tidak terbukti.(*)

Penulis Adalah Pemerhati Politik Banua
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.