Kebijakan, Kebajikan dan Ramadhan

0

(Sepenggal Kisah tentang Kampung Batuah)

Oleh: Dr. MS Shiddiq

TAK terasa, tinggal hitungan hari lagi kita tiba di bulan suci ramadhan, sebuah momen yang paling ditunggu umat Islam. Tentu saja, karena Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa orang yang bergembira menyambut bulan puasa, pasti masuk surga.

BAGI umat Islam Indonesia, tak terkecuali umat Islam di Kalimantan Selatan, sudah pasti menyambut bulan ini dengan penuh suka cita. Meski disambut dengan penuh gembira, ramadhan yang tahun ini masih dalam suasana pandemi, juga menyisakan rasa penasaran dan berjuta pertanyaan, apakah tahun ini bisa semeriah tahun-tahun sebelum wabah Covid melanda?

Apakah kita bisa mendengar lagi syahdu merdunya irama tadarusan ayat-ayat suci Al Qur’an di masjid dan mushalla? Dapatkah lagi kita saksikan laki-laki dan perempuan, anak-anak sampai orang dewasa saling berlomba shalat tarawih, mengumandangkan lantunan tasbih, tahmid dan takbir diselingi alunan shalawat bergantian? Kerinduan saya rasanya mungkin tak jauh berbeda dengan kerinduan umat Islam lainnya.

BACA : Jawab Keberatan LBH Ansor, Pemkot Banjarmasin Buka Ruang Dialog dengan Warga Kampung Batuah

Hanya saja, di tempat lain, yang pasti bukan cerita tentang rakyat Palestina yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, atau negara-negara yang sedang bersitegang merespon perang Rusia dengan Ukraina, atau dunia yang terkejut dengan ledakan bom di dekat Circuit Jeddah Corniche, Saudi Arabia.

Ini cerita tentang sebagian warga Banjarmasin yang tak akan lagi bisa menyaksikan penuh sesak pasar wadai, masjid dan mushala ramai dengan acara buka bersama, media juga mungkin sudah jengah memotret kisah-kisah yang dialami warga, sepi seperti cerita tentang warung sakadup, atau cerita tentang halili kambang sarai dan latupan, bisa jadi seperti riuh rendah orang bagarakan sahur sejak tengah malam hingga menjelang imsak yang tak lagi sanggup menggoda indra dengar kita, mungkinkah semua teriakan warga yang meminta perlindungan kepada DPRD dan pihak-pihak terkait lama-kelamaan semakin meredup seperti tradisi tanglong di pengujung Ramadhan. Semua cerita itu bisa jadi akhirnya hanya akan menjadi sepenggal kisah yang bersliweran di instagram, youtube, whatshapp grup atau media sosial saja, tanpa pernah lagi kita tau rasanya. Mungkin.

BACA JUGA : Nilai Langgar HAM Warga Kampung Batuah, LBH Ansor Desak Walikota Cabut SK 109/2022

Ironis memang, tanpa kita sadari telah terjadi disrupsi tradisi baik yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan umat Islam terutama di daerah ini. Pelan namun pasti, narasi baik tentang itu pun semakin jarang masuk ke ruang pergaulan generasi muda kita. Lupakanlah tentang empati dan kepedulian. Anak cucu kita pun mungkin sudah tak perduli dengan semua itu. Layar hape dan monitor leptop dengan berbagai tayangan dan game jauh lebih menggoda mereka ketimbang itu semua.

Tradisi kebajikan dan gelombang energi positif yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan kita, pelan-pelan dibiarkan hilang, karena kita tengah asik memelototi peristiwa-peristiwa besar yang jauh dari jangkauan pengetahuan kita. Bias polarisasi politik masa lalu membuat kita miskin literasi, lebih asik mencemooh, mencerca bahkan memfitnah sesama, lebih suka mengklaim kebenaran kelompok sendiri, lebih suka mengkafirkan, mendaulat diri seolah manusia paling sempurna, seolah kitalah pemilik surga  dan bisa mengkapling-kaplingnya sesuka hati kita, sehingga kepedulian kita pada sesama yang ada di sekitar kita pun lama-lama tercerabut dari nurani kita.

BACA JUGA : Golkan Rencana Revitalisasi Pasar Batuah, Walikota Ibnu Sina Lobi Irjen Kemendag

Kita jauh merasa lebih gagah apabila bisa segera membagi informasi yang belum jelas sumbernya. Kita lebih bangga menjadi orang pertama yang membagi gambar dan video tentang sesuatu yang belum jelas kebenarannya.  Dan ini yang paling parah kita menjadi abai bahkan pada potensi penderitaan orang lain di sekitar kita. Seolah kita berada di dunia yang berbeda, padahal itu jelas terjadi di depan mata.

Kebijakan yang buruk

Seperti itulah kisah yang dialami atau sedang dirasakan seluruh warga Pasar Batuah. Merasa diabaikan, meski sudah mengadu kesana kemari, mendatangi Walikota, mengadu ke DPRD, memasang spanduk di sana sini dan berteriak lewat media. Tapi, tak banyak yang peduli meski sekedar komentar di laman media sosialnya, hatta kelompok aktivis yang selama ini banyak berteriak tentang ketidakadilan di Kalimantan Selatan.

Apa kabar anggota dewan yang terhormat? Kisah tentang kegalauan warga Pasar Batuah memang tidak seseksi isu soal pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru. Pilihan warga hanya ada dua pilihan yaitu ikhtiar mencari perlindungan hukum dan “Mengetuk Pintu Langit”, mengadu pada yang Maha Kuasa. 

Warga Pasar Batuah sangat wajar merasa gusar. Sebab tak lama lagi, jika Pemko Banjarmasin benar-benar melaksanakan proyek revitalisasi ini, maka pada saat yang bersamaan akan ada ratusan bangunan, lebih dari setengah juta warga, rumah tempat berteduh sekaligus lapak untuk mencari nafkah, akan digusur, akan rata dengan tanah, dan segera berganti dengan bangunan permanen.

BACA JUGA : Tolak Revitalisasi Pasar Batuah, LBH Ansor Lapor Ke Kemendag Dan Gugat SK Walikota Ke PTUN Banjarmasin

Pemko Banjarmasin, seperti dinyatakan Walikota Ibnu Sina yang juga diamini Sekdakot Ikhsan Budiman dan dipertegas lagi oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, seperti dikutip banyak media online, tetap akan merealisasikan proyek revitalisasi Pasar Batuah dengan biaya sekitar 3,5 milyar dana suntikan APBN 2022 itu, sesuai dengan agenda yang sudah ditentukan. Proyek ini, dalihnya adalah untuk penataan kota dan pasar untuk warga Banjarmasin (Banjarmasin.tribunnews.com/2022/02/11). Tapi, benarkah ini memang untuk menata pasar dan untuk kepentingan warga Banjarmasin? Warga yang mana? Warga Pasar Batuahkah?

Bagi warga Pasar Batuah, proyek revitalisasi ini sama sekali bukanlah kabar gembira, ini kabar buruk yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Betapa tidak, dari penuturan warga Pasar Batuah yang penulis temui terutama yang lebih dari 40 tahun tinggal di sana, tempat itu awalnya bukanlah pasar tapi sebuah perkampungan. Mengapa kemudian disebut Pasar Batuah? Asal mulanya karena dulu ada kebiasaan pedagang yang melintasi sungai Veteran untuk berjualan di Pasar Kuripan yang letaknya tak jauh dari tempat itu, selalu berhenti di kampung Batuah karena banyak yang membeli dagangannya.

BACA JUGA : LBH Ansor Kalsel : Potensi Langgar Aturan, Revitalisasi Pasar Batuah Terkesan Dipaksakan!

Peristiwa itu terus berulang hampir setiap hari, dan hampir tiap hari pula dagangannya sudah ludes terjual sebelum sampai ke Pasar Kuripan. Lama kelamaan para pedagang itu berinisiatif membuka lapak dagangannya di Kampung Batuah. Setelah sekian lama berjualan dengan alas seadanya, Pemerintah Kotapraja Banjarmasin kala itu mengeluarkan kebijakan membuatkan lapak yang lebih bagus dengan alas papan beratapkan daun rumbia. Sejak saat itu, Kampung Batuah mulai “resmi” memiliki pasar.

Menyaksikan dari dekat Pasar Batuah memang lebih tepat disebut sebagai perkampungan ketimbang pasar, karena rata-rata bangunannya bukanlah los-los pasar melainkan petakan rumah-rumah kayu sederhana yang berfungsi juga sebagai tempat berjualan. Berdasarkan pengakuan warga, mayoritas Aliansi Warga Kampung Batuah adalah kaum urban yang dulunya rata-rata merupakan pedagang dari pasar ke pasar yang berasal berbagai daerah di Kalimantan Selatan seperti dari Birayang-Barabai, Rantau, Kandangan, Nagara, Amuntai, Alabio dan berbagai daerah lain dari luar Kalimantan Selatan.

BACA JUGA : Subhan Syarief : Libatkan Pedagang dan Warga dalam Proses Perencanaaan Pasar Batuah

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah proyek revitalisasi pasar yang sudah ditetapkan Pemko Banjarmasin itu merupakan kebijakan yang baik? Di sinilah persoalannya bermula. Warga Kampung Batuah sebenarnya tidak pernah menolak proyek apapun yang disiapkan Pemerintah untuk mereka, sepanjang warga dilibatkan untuk membahas setiap proyek yang akan dilaksanakan di tempat mereka. Proyek pembangunan toilet yang nilainya hampir setengah dari proyek revitalisasi itu contohnya, menurut Aliansi Warga Kampung Batuah, tak ada masalah pada saat pelaksanaanya, karena warga sejak awal merasa dilibatkan dalam pembahasan mengenai proyek itu.

Malpraktik Komunikasi

Sejak awal Pemko Banjarmasin seolah mengabaikan aspek penting dalam proses implementatif kebijakan yaitu komunikasi. Inilah awal terjadinya malpraktek komunikasi. Harus dipahami bahwa komunikasi merupakan formula penting dalam menyusun sebuah kebijakan. Boleh dikatakan menurut James C. Humes (2017), the art of communication is the language of leadership and policy. Dalam bahasa yang sederhana bisa dimaknai bahwa kemampuan pemimpin berkomunikasi dengan warganya, adalah cerminan kemampuan pemimpin menyusun kebijakan yang benar-benar berpihak pada warga.

BACA JUGA : Abaikan Hak Warga Batuah, Pakar Kebijakan Publik : Tepat Pemkot Banjarmasin Digugat LBH Ansor Kalsel!

Mengutip Arthur W. Page dengan tesisnya tentang masyarakat dan kebijakan (Noel, 2001) menyebutkan bahwa ada beberapa prinsip dan instrumen penting dalam penyusunan kebijakan yang seharusnya dikuasai oleh para pembuat kebijakan, seperti halnya kebijakan proyek revitalisasi ini, yaitu collaborative leadershipleadership communication, dan integrated function.

Malpraktek kebijakan yang menyebabkan ‘kekacauan’ dalam proyek revitalisasi Pasar Batuah adalah tidak berjalannya ketiga hal ini dengan selaras. Di level pengambil kebijakan (collaborative leadership), tidak ada standard operationg procedure (SOP) yang memungkinkan terjalinnya koordinasi dan komunikasi antar dinas untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya situasi krisis seperti ini. Tak heran jika kemudian muncul pernyataan-pernyataan antara satu pejabat dengan pejabat lainnya yang saling kontradiktif, yang justru menambah persoalan baru ketimbang menyelesaikan masalah pokoknya.

BACA JUGA : Menolak Digusur, Warga Pasar Batuah Bentangkan Spanduk Protes Proyek Revitalisasi

Warga Pasar Batuah bukan sekadar bilangan angka statistik. Bukan pula sekedar objek dari kalkukasi politik yang dilibatkan hanya pada saat kontestasi politik semata. Warga Pasar Batuah juga bukan ruang sunyi dan hampa, lokasi kosong yang hanya dibaca dari persepektif desain atau perencanaan tata ruang saja.

Warga batuah adalah ruang sosial dan budaya dari sekian banyak masyarakat urban yang tumbuh dan hidup di sana sejak lama, bahkan mungkin lebih lama dari sekedar jabatan Walikota atau bilangan Anggota DPRD Kota. Kampung Batuah bukanlah sekedar areal pasar, bukan ruang statis yang tak bisa diajak berdialog. Seharusnya sedari awal Pemko Banjarmasin mengajak mereka terlibat dalam proses perencanaan, penyusunan hingga pembuatan kebijakan yang memang dimaksudkan untuk mereka.

Kabaikan dalam Kebijakan

Munculnya berbagai gerakan penolakan yang dilakukan oleh warga Pasar Batuah yang kemudian mendapat advokasi dari LBH Ansor Kalsel, merupakan lahirdari buruknya komunikasi pejabat di Pemko Banjarmasin, dan ini menunjukkan lemahnya kemampuan leadership para pemangku kebijakan dalam menyusun kebijakan pembangunan, setidaknya dalam proyek revitalisasi pasar yang sedang “digugat” oleh warga Kampung Batuah itu. Kalau diacuhkan boleh jadi peristiwa serupa terjadi pada kebijakan-kebijakan lainnya.

BACA JUGA : Telan Dana Rp 3,5 Miliar, Revitalisasi Pasar Batuah Picu Pro dan Kontra

Sekedar mengutip John Brickerhoff Jakson (1918) dalam bukunya Founding Vernaculer Landscope yang banyak dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan tata kota, disebutkan bahwa bentuk kota adalah citra dan kehidupan kemanusiaan kota yang penuh kerja keras, memiliki harapan yang tinggi dan kebersamaan untuk saling berkasih sayang dan berbagi satu dengan yang lainnya.

Dengan pandangan ini, kota adalah tempat tinggal manusia yang tidak semata merupakan manifestasi dari hasil perancangan (design) yang melulu berkaitan dengan bangunan, jalan dan tata ruang beserta utilitasnya yang sunyi, tetapi merupakan manifestasi dari perencanaan (planning) yang seharusnya melibatkan berbagai unsur dalam prosesnya, termasuk warga Kampung Batuah yang memang sudah ada sejak lama di lokasi pembangunan yang diinginkan itu.

BACA JUGA : Warga Pasar Batuah Minta Proyek Revitalisasi Dibatalkan, Walikota: Rasanya Tidak Mungkin

Artinya, membuat kebijakan penataan kota jangan hanya dimaknai sebagai capaian angka statistik, seberapa banyak anggaran yang digelontorkan, jumlah tata ruang dan infrastruktur yang dibangun, tetapi seberapa bermanfaat capaian angka-angka statistik dan tata-ruang infrastuktur yang dibangun itu untuk kepentingan warganya. Inilah sebenarnya nilai-nilai kebaikan yang harusnya menjadi tolak ukur dalam merumuskan sebuah kebijakan.

Jangan salahkkan, jika hari ini warga Kampung Batuah menutup semua pintu dialog dan lebih memilih jalur hukum dan advokasi. Sebab, komunikasi yang dibangun setelah sebuah kebijakan ditetapkan sebenarnya bukanlah pilihan cerdas, meskipun pilihan ini juga tak bisa sepenuhnya dibilang keliru. Dalam pandangan komunikasi politik, mengomunikasikan kebijakan kepada publik jauh lebih penting dari sekadar mensosialisasikan kebijakan tersebut.

BACA JUGA : Respon Warga Batuah, Bukan Ganti Rugi, DPRD Banjarmasin Minta Ada Tali Asih

Komunikasi kebijakan berarti melibatkan publik sejak dari penyusunan kebijakan itu sendiri hingga implementasinya. Sementara sosialisasi kebijakan hanya berfokus pada pemberitahuan kepada publik tanpa ada keterlibatan dalam proses penyusunan kebijakan itu.

“Pembiaran” yang cukup lama pada kegelisahan warga saat mendengar bahwa rumah-rumah dan lapak yang mereka tempati sejak puluhan tahun lalu itu akan digusur, memantik reaksi seperti yang sekarang dihadapi Pemko Banjarmasin yaitu penolakan. Sebab sejak awal Pemko Banjarmasin memang memainkan peran yang tidak bajik dalam kebijakan revitalisasi Pasar Batuah.

BACA JUGA : Warga Resah Jika Digusur, Kadisperdagin : Tanah Pasar Batuah Milik Pemkot Banjarmasin!

Bagi Pemko Banjarmasin, pilihan bijaknya adalah menunda revitalisasi ini. Tak perlu pula merasa malu jika harus memulai dari awal lagi. Tak harus dilaksanakan periode anggaran tahun ini. Ajaklah kembali warga Pasar Batuah duduk bersama, bahas konsep terbaik yang diinginkan Pemko Banjarmasin, identifikasi kembali apa yang menjadi aspirasi logis warga. Pilihan ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Tapi, Insya Allah jika yang dicari jalan keluar, maka Allah akan berikan solusi. Selamat menanti bulan Suci. Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti Komunikasi Politik dan Kebijakan Publik

Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.