Membaca Kans Judicial Review UU Provinsi Kalsel ke MK, Ini Analisis Akademisi Muda ULM!
AKADEMISI hukum tata negara Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Muhammad Erfa Redhani mengatakan peluang gugatan judicial review terhadap UU Provinsi Kalsel Nomor 8 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi (MK), hanya terfokus uji formil.
“JIKA gugatan itu dari sisi materiil, isi dari UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalsel berisi 8 pasal, tidak bisa dibenturkan pasal demi pasal dengan UUD 1945,” papar Erfa Redhani kepada jejakrekam.com, Selasa (29/3/2022).
Menurut dia, pemindahan ibukota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, sehingga potensi merontokkan pasal 4 UU Nomor 8/2022 akan mengalami kendala saat diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA : UU Kalsel Ada 2 Versi; 8 Pasal dan 49 Pasal, Pazri : Bisa Dibenturkan dengan UUD 1945!
“Nah, peluang untuk menggugat UU Provinsi Kalsel ke MK itu hanya pada proses pembentukan perundang-undangan. Nah, dalam isu utama soal pemindahan ibukota Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru, tentu tak boleh sekehendak pembuat UU,” ucap Erfa.
Direktur Inde-Pemda ini mengatakan dalam menentukan keputusan memindahkan ibukota, tentu butuh partisipasi publik. Walau, kata Erfa, ada klaim dari pihak pro pemindahan ibukota Kalsel ke Banjarbaru sudah dilibatkan dalam penggodokan RUU Provinsi Kalsel.
BACA JUGA : Proses Legislasi Ugal-Ugalan, BLF Yakin 8 Pasal UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022 Dibatalkan MK
“Dalam versi MK seperti membatalkan UU Cipta Kerja karena minim partisipasi publik. Walau misalkan ada pendapat ahli, namun soal prosedural pembentukan UU tetap harus melibatkan banyak pihak,” kata Erfa.
Apalagi, menurut dia, faktanya Walikota Ibnu Sina dan DPRD Banjarmasin ternyata tidak dilibatkan dalam penggodokan UU Provinsi Kalsel, terutama draf awal yang berjumlah 49 pasal.
BACA JUGA : Punya Legal Standing Kuat, BLF Optimistis Gugatan Judicial Review UU Provinsi Kalsel Dikabulkan MK
“Inilah peluang untuk menggugat uji formil UU Provinsi Kalsel ke MK. Sebab, MK bisa saja memutuskan salah satu unsur pembatalan UU karena minim partisipasi publik atau tidak bermakna,” ungkap Erfa.
Mantan Ketua BEM Fakultas Hukum ULM ini mengatakan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu asanya terpenting adalah keterbukaan dan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to consider).
BACA JUGA : Modal Gugat UU Provinsi Kalsel, Walikota Ibnu Sina Galang Opini Para Pakar
“Bayangkan saja, pejabat daerah sekelas Walikota Ibnu Sina dan DPRD Banjarmasin saja tidak dilibatkan. Makanya, legal standing (kedudukan hukum) lebih kuat adalah instansi pemerintahan daerah, dalam hal ini walikota dan DPRD sebagai representasi perwakilan rakyat,” papar Erfa.
Magister hukum lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan memang kelompok masyarakat yang diwadahi dalam Forum Kota atau Dewan Kelurahan Kota Banjarmasin bisa juga menjadi pemohon gugatan.
“Terpenting adalah bisa membuktikan kerugian konstitusional karena tidak dimintai pendapatnya soal pembentukan UU Provinsi Kalsel. Jadi, bukan lagi soal pemindahan ibukota provinsi ke Banjarbaru, tapi pada proses pembentukan UU yang tidak transparan dan minim partisipasi publik,” imbuh Erfa.(jejakrekam)