Bersaksi di MK, Pensiunan PNS HST Beberkan Dampak Buruk UU Minerba Bagi Daerah

0

ALI Fahmi (58 tahun), seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan turut menjadi saksi fakta dari pemohon dalam sidang uji materi UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/3/2022).

DALAM sidang tersebut, Fahmi menyampaikan bahwa UU Minerba telah menjauhkan masyarakat di daerah untuk menyuarakan aspirasi terkait persoalan pertambangan kepada pemerintah. Sebab, lewat beleid ini, terjadi sentralisasi kewenangan pengelolaan minerba.

“Sebelum ada UU Minerba, setiap ada permasalahan terkait minerba, bisa dengan mudah diselesaikan di daerah khususnya terkait pencegahan bencana, setelah ada UU ini sangat susah karena sudah ditarik ke pusat,” kata Fahmi.

BACA JUGA: UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, Daerah Diklaim Tetap Miliki Peran Strategis

Sulitnya penyampaian aspirasi ini dirasakan Fahmi ketika ia bersama aktivis lainnya turut melaporkan rencana pembukaan jalan pertambangan di wilayah Pegunungan Meratus HST. Isu ini mencuat Oktober 2021 lalu.

“Mereka (pemda) tidak berani melakukan tindakan apa-apa karena bukan kewenangan dan dianggap kewenangan pusat,” ujarnya.

Fahmi menegaskan kembali, HST merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana. Bencana alam yang disinyalir terjadi kuat lantaran industri skala besar akan susah dicegah ketika semuanya harus berurusan dengan pusat.

UU Minerba No. 3 Tahun 2020 juga mempertahankan “warisan buruk” dari UU No. 4 Tahun 2009 yang sudah lama digunakan untuk mengkriminalkan masyarakat penolak tambang.

BACA JUGA: Tidak Produktif, Ribuan Izin Minerba, Kehutanan, dan HGU Dicabut Jokowi

Pasal 162 mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan tanpa menjelaskan apa yang dimaksud sebagai “merintangi atau mengganggu”. Penggunaan Pasal 162 yang karet tersebut menjadi sarana yang efektif untuk membungkam masyarakat.

Dalam sidang yang sama, saksi fakta Anggi Maisya, nelayan dari Matras, Bangka Belitung mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, dirinya bersama warga Matras menyampaikan hasil Rapat Dengar Pendapat Anggota Komisi IV Dedi Mulyadi dengan Bupati Bangka Belitung untuk menghentikan kegiatan pertambangan bijih timah kepada kapal penambang bijih timah.

BACA JUGA: Tidak Produktif, Ribuan Izin Minerba, Kehutanan, dan HGU Dicabut Jokowi

Namun penyampaian hasil RDP tersebut kemudian berujung pada pemanggilan oleh pihak kepolisian atas dasar Pasal 162 UU Minerba. “Padahal kami disini sangat bergantung pada laut kami, mata pencaharian kami sebagai nelayan. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa karena adanya Pasal 162. Jadi masyarakat kami bungkam, diam, takut mau menyampaikan aspirasi penolakan, kami tidak berani lagi karena takut dipidana,” kata Anggi.

Selain para nelayan di Matras, Bangka Belitung, sejak UU Minerba resmi diberlakukan, tercatat ada puluhan warga negara Indonesia yang mengalami kriminalisasi saat mempertahankan tanahnya dari kerusakan yakni di Banyuwangi, Bangka, Wawonii, Kutai Kartanegara, Berau, Paser, Jomboran, Tasikmalaya, dan Bengkulu.

BACA JUGA: Jokowi Diganjar Kartu Merah, Mahasiswa Kalsel Sebut Kabinet Indonesia Mundur

Saksi fakta lain, Abdullah Ibrahim Ritonga (Direktur Eksekutif Walhi Bengkulu) dalam persidangan menerangkan bahwa Pasal 162 dalam UU Minerba menjadi alat untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan terhadap aktivitas pertambangan yang merugikan masyarakat terdampak.

Untuk diketahui, permohonan pengujian materiil UU Minerba dan UU Cipta Kerja ini diajukan oleh empat pemohon yaitu Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim), Nurul Aini dan Yaman yang merupakan seorang Petani dan Nelayan. (jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Donny

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.