Di Mana Dahan, Di Situ Bahinggap

0

Oleh : Noorhalis Majid

MENCARI penghidupan dari orang ke orang, tidak ada pegangan jelas. Bila ada orang yang dianggap mapan, di situ ikut menopang hidup, saat ketemu yang lebih mapan, ke sana lagi ikut bergantung.

LUNTANG-lantung tanpa tujuan jelas, itulah makna di mana dahan, di situ bahinggap. Seperti halnya burung, di mana ada dahan, di situ hinggap, begitu arti harfiahnya. Kehidupan burung, yang terbang dan berpindah dari dahan ke dahan, dipinjam sebagai perumpamaan, melihat orang yang hidup dari orang lain, berpindah-pindah dari satu orang lain yang dianggapnya mampu dihinggapi, pada orang lainnya. Tidak ada kemandirian, kehidupan tergantung pada orang yang menjadi tuan tempat ia singgah.

Ada orang yang memilih hidup menghamba. Orang lain yang dianggap mampu, dijadikan tuan – tempat menggantungkan penghidupan. Bila kemudian hari bertemu dengan yang lebih mampu, segera berpindah dan hidup lagi pada tuannya yang baru.

BACA : Teranyar ‘Dijamak Jibril’, Dokumentasikan Paribasa Banjar Berisi Nasihat dalam Tiga Buku

Memilih menghamba, sengaja menempatkan diri tidak setara, karena dengan demikian lebih mudah – tidak berkeringat, bergantung pada orang yang dijadikan tuan. Kalau sang tuan sudah mulai menurun kemampuannya, pindah lagi pada tuan lainnya dianggap mampu.

Dahan dalam ungkapan dimaksud, tentu bukan saja dalam bentuk orang, bisa juga institusi, lembaga atau organisasi yang dapat membuat seseorang memperoleh penghidupan. Banyak sekali orang yang hidup berpindah-pindah dari satu institusi kepada institusi lainnya, sekadar mencari penghidupan – menyambung hidup.

BACA JUGA : Peribahasa Banjar untuk Kritik Pembangunan di Kalsel

Orang seperti ini tidak berpikir – atau tidak punya kemampuan membangun institusinya sendiri, hanya menumpang pada yang sudah ada, apalagi bila yang ditumpangi masih mapan – bergengsi, terikut juga menjadi bergengsi, padahal hanya menumpang.

Ungkapan ini memberikan pelajaran, hidup harus memiliki arah dan tujuan, tidak sekedar bergantung dari orang ke orang, atau dari institusi ke institusi lainnya. Kalau alasannya baru memulai hidup tidak punya kemampuan – kapasitas dan jaringan, tentu boleh saja menumpang pada orang lain sebagai jembatan – tempat belajar, mengantarkan pada tujuan dan cita-cita, setelah mampu, harus fokus pada tujuan sendiri, tidak luntang-lantung, di mana dahan, di situ bahinggap.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Bahasa Banjar

Staf Senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.