Ditanya Temuan Uang Rp 3 Miliar di Rumahnya, Bupati HSU Nonaktif Abdul Wahid Berkilah Titipan Maliki

0

BERADA di posisi terpojok dengan kesaksian anak buahnya eks Plt Kadis PUPRP, Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid menerapkan jurus menyanggah.

ABDUL Wahid yang menjadi tersangka penerima suap fee proyek dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dihadirkan dalam sidang pemeriksaan saksi untuk dua terdakwa; Marhaini dan Fachriadi di PN Tipikor Banjarmasin, Rabu (12/1/2022).

Dua jaksa KPK; Tito Jaelani dan Muhammad Ridwan bersama majelis hakim diketuai Jamser Simanjutak bergantian mencecar Abdul Wahid. Lewat sidang virtual melalui aplikasi Zoom, Wahid yang mengenakan setelan khasnya, baju hem putih dan berkopiah bersaksi dari Gedung Merah Putih KPK di Jakarta.

Nyanyian Maliki pun kemudian dikonfrontir oleh jaksa KPK dan majelis hakim kepada Abdul Wahid. “Apakah benar Maliki datang ke rumah Anda minta jabatan Plt Kadis PUPRP dan kemudian Anda minta uang sebagai syaratnya?” cecar Tito Jaelani.

BACA : Demi Jabatan, Eks Plt Kadis PUPRP HSU Maliki Akui Selalu Setor Fee Proyek ke Bupati Wahid

Tentu saja, bantahan langsung disuarakan Abdul Wahid. “Tidak benar, saya minta uang sama Maliki. Dasar saya mengangkat Maliki jadi Plt Kepala Dinas PUPRP HSU, karena dia merupakan pejabat senior dan track record juga bagus,” kata Wahid, santai.

Lagi-lagi soal pembagian jatah fee proyek 15 persen, dibagi 10 persen untuk bagian Abdul Wahid sebagai atasan (bupati) dan sisanya 5 persen menjadi ‘hak’ Maliki sebagai Plt Kadis PUPRP HSU. “Tidak benar itu! Sebab Maliki itu sudah salah, sehingga menyebut saya (meminta setoran fee),” balas Wahid.

BACA JUGA : Lengkapi Berkas Perkara, Istri Bupati Wahid dan Ketua DPRD HSU Turut Diperiksa KPK

Dikaitkan dengan dua terdakwa sebagai kontraktor yang menggarap proyek DIR di Dinas PUPR yakni Marhaini (Direktur CV Hanamas) dan Fachriadi (Direktur CV Kalpataru). Apa jawaban Wahid? Menurut Bupati HSU dua periode ini, dirinya tidak tahu persis terhadap kedua terdakwa itu, hanya menerima kabar bahwa Marhaini dan Fachriadi dapat proyek di Dinas PUPRP.

“Saya tahu kedua terdakwa itu, tapi saya tidak tahu perusahaannya apa? Saya juga tidak tahu kapan kedua terdakwa  mengerjakan proyek DIR. Tahunya, baru setelah ada operasi tangkap tangan (OTT) KPK,” aku Wahid.

Jurus berkelit juga dimainkan Wahid ketika dikonfrontir dengan kesaksian Maliki soal jatah 10 persen fee proyek khususnya sumber daya air (SDA), termasuk bidang lainnya di Dinas PUPRP HSU. “Itu tidak ada komitmen fee yang saya minta,” dalih Wahid.

BACA JUGA : Dari Klinik hingga Sarang Walet, KPK Sita Aset Diduga Milik Bupati HSU Nonaktif Abdul Wahid

Mengenai floating atau kongkalingkong pengaturan nama pemenang tender proyek, khususnya dari 7 proyek DIR di Dinas PUPRP HSU, lagi-lagi disahut Wahid. “Memang benar Maliki membawa floating pemenang tender itu kepad saya. Tapi saya tidak ikut menentukan (pemenang). Karena, secara teknis, saya hanya menjawab kerjakan proyek itu baik-baik sesuai aturan yang berlaku. Hanya itu saja saran saya. Saya tidak ikut menentukan pemenang,” tegas Wahid.

Mendengar bantahan Wahid yang bersaksi di atas sumpah, jaksa KPK tak kehilangan akar. Sang penuntut ini membongkar soal temuan uang yang begitu besar di kediaman Wahid di Amuntai.

“Ada 33 item yang di dalamnya semua uang. Nilainya pun ada puluhan juta, ratusan juta hingga ada uang 150 dolar Amerika Serikat. Kalau ditotalnya sampai Rp 3 miliar lebih, lantas itu uang darimana?” cecar Tito Jaelani, jaksa KPK memancing Wahid.

BACA JUGA : Diduga Ada Pengalihan Aset, KPK Tetapkan Bupati HSU Nonaktif Abdul Wahid Tersangka TPPU

Apalagi, menurut Tito, berdasar kesaksian Maliki bahwa seluruh uang yang ada di kediaman Wahid di Amuntai merupakan akumulasi dari fee 10 persen proyek di Dinas PUPRP HSU. “Soal komitmen fee proyek, saya tidak tahu. Tapi kalau ada titipan, itu memang benar. Saya dikasih tahu ajudan saya bahwa ada uang titipan dari Maliki,” kelit Wahid.

Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid saat menjadi saksi di sidang dua terdakwa penyuap di PN Tipikor Banjarmasin. (Foto Iman Satria)

Menurut Wahid, uang bermiliaran itu selain uang titipan bawahannya; Maliki juga termasuk uang kerjasama untuk kerja sama proyek pembangunan klinik kesehatan di Amuntai.

Jaksa Tito melanjutkan lagi, lantas kenapa Maliki bisa menitipkan uang sebesar itu kepada Anda, untuk apa? “Saya tida tahu, tidak dijelaskan untuk apa (oleh Maliki),” jawab Wahid. Namun dalam kesaksiannya, Wahid tak memungkiri jika dirinya telah menerima setoran uang dari Maliki sejak 2019 hingga 2021.

“Ya, ada Rp 120 juta, Rp 100 juta hingga Rp 20 juta. Tapi uang itu sudah saya sebutkan tadi, cuma titipan (Maliki). Tapi yang Rp 20 juta itu honor saya,” dalih Wahid. “Sedangkan uang sebesar Rp 2,5 miliar dari Marwoto (pejabat Dinas PUPRP HSU), saat di hadapan penyidik KPK, saya disuruh menulis dalam berita acara pemeriksaan,” kata Wahid lagi.

BACA JUGA : Syarat Jadi Plt Kadis PUPRP HSU, Maliki Sebut Wahid Minta Setoran Rp 500 Juta

Mengenai jabatan Maliki selain Plt Kepala Dinas PUPRP HSU juga kuasa pemegang anggaran, Wahid mengaku tidak tahu. Ia juga membantah keterangan Maliki soal setoran Rp 500 juta untuk syarat menjadi Plt Kadis PUPRP HSU.

Menurut Wahid, sejak 2019 hingga 2021 ketika Maliki masih pejabat pelaksana tugas belum diangkat menjadi kepala dinas definitif karena menunggu asesmen dan persetujuan dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). “Lagi pula, kami tidak punya anggaran untuk itu. Belum tentu juga disetujui KASN di Jakarta,” sahut Wahid, santai.

Mendengar bantahan demi bantahan dilontarkan Wahid, membuat majelis hakim berang. Dia meminta agar Wahid berkata jujur karena telah disumpah di pengadilan. Apalagi, dalam semua saksi yang dihadirkan di persidangan mengakui adanya komitmen fee dari staf, kepala seksi, kepala bidang hingga plt kepala dinas hingga kontraktor mengakui hal itu, dan bukan rahasia umum lagi.

BACA JUGA : KPK Ungkap Kongkalikong 8 Proyek PUPR HSU ala Maliki dan Bupati Abdul Wahid

“Dari kesaksian Maliki menyebut sejak 2013 sebelum menjadi Plt Kadis PUPRP HSU mengakui terus menyetor fee proyek kepada Anda. Masya atasan dapat honor dari bawahan?” kata hakim ketua Jamser Simanjuntak. “Oke kalau Rp 20 juta itu honor Anda? Lantas kapan Maliki mengambil titipan uang dari Anda?” semprot hakim ketua.

Lagi-lagi Wahid berdalih dirinya hanya mendapat informasi dari ajudannya. “Saya tidak tahu kapan Maliki mengambil titipan itu,” sahut Wahid.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.