Gus Dur Mewariskan NU Kosmopolit

0

OLEH: Harunur Rasyid

NU sebagai organisasi kemasyarakatan tidak bisa hanya dibaca pada sudut struktur kelembagaan seperti kebanyakan organisasi masyarakat yang lainnya, karena di NU tidak hanya berbicara struktur dan program-program kerja kemasyarakatan, namun juga berbicara kultur dan ritual keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun yang ikut terinstitusi sebagai budaya beragama Nusantara.

Begitu sulitnya orang membincang NU dengan semua pengejawantahan ritus keagamaanya, lebih sulit lagi ketika berbicara Gus Dur yang oleh Hairus Salim disebut sebagai Sang Kosmopolit. Ini karena Gus Dur tidak hanya ulama kaliber dunia, pemikir disegani, politisi, budayawan, beliau juga oleh kaum minoritas sebagai pahlawannya. Kosmopolitanisme Gus Dur semakin terlihat ketika beliau memimpin PBNU, sehingga NU menjadi tempat berkumpul semua harapan tidak hanya umat Islam, namun semua umat beragama di persada Nusantara ini.

Perhelatan Muktamar ke-34 NU di Lampung pada akhir Desember 2021 yang lalu, menghadirkan Gus Yahya sebagai Ketua Umum terpilih meneruskan kepemimpinan di PBNU dengan slogan “Menghidupkan Gus Dur”. Banyak pendapat, tulisan dan opini yang dalam perspektifnya masing-masing menerjemahkan maksud menghidupkan Gus Dur tersebut.

Kendati secara pemikiran saya berusaha memahami varian tafsir tersebut, namun yang menggelitik pemikiran penulis adalah hadirnya tulisan adinda saya MR (salah satu Wakil Ketua PWNU Kalsel) di media online “Fokus Parlemen” (02/01/2022) yang menyandingkan orientasi menghidupkan Gus Dur dengan menghidupkan Cak Nur yang dalam pandangannya bahwa sebagai kader HMI, Gus Yahya pastilah memiliki misi untuk menghidupkan Cak Nur sebagai peletak NDP di HMI.

Perspektif adindaku MR, bahwa kader-kader HMI sangat digdaya dari Orba hingga hari ini karena kemampuan seorang Cak Nur sebagai bapak ideolog HMI yang melahirkan banyak birokrat, politisi dan penguasa ekonomi papan atas dari rezim ke rezim. Entah apakah kesimpulan adindaku ini benar dalam melihat Cak Nur dan HMI yang notabene penulis bukan kader dari keduanya sehingga tidak bisa menilainya, namun yang menjadi fokus tulisan ini adalah menyoal sandingan orientasi di atas yang mengimajinasikan visi Gus Yahya untuk NU kedepan harus seperti Gus Dur dan Cak Nur yang melahirkan pemimpin-pemimpin publik yang mentereng.

BACA JUGA: Gus Dur, Sang Kosmopolit dan Pemikiran Islam yang Universal

Sejauh bacaan penulis, Gus Dur ketika memimpin PBNU berupaya untuk melepaskan NU secara kelembagaan dari ikatan partai politik. Mungkin sebagian para tokoh NU yang mengikuti Muktamar Situbondo 1984 yang mendaulat Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU periode pertama, dimana ada ungkapan “warga NU tidak wajib pilih PPP, dan tidak haram ikut Golkar dan PDI” yang manjadi buku kuning setebal 50 halaman itu, menjadi bukti bahwa dia menginginkan NU menjaga jarak yang adil pada institusi parpol dan politik kekuasaan. Jadi menurut hemat penulis, membaca Gus Dur tidak bisa diujung-ujung kepemimpinannya saat melahirkan PKB yang memiliki cerita tersendiri kenapa PKB harus lahir pasca tumbangnya Soeharto.

Maka persoalan pertama tentang pernyataan adinda MR yang menilai tidak elok pernyataan Gus Yahya tentang statement “menjaga jarak dengan PKB”, bagiku pernyataan itu sangat relevan sebagai penggagas “Menghidupkan Gus Dur” ketika terpilih Ketua Umum PBNU di Lampung 2021, Gus Yahya menghendaki NU tidak menjadi alat partai PKB, penegasan itu bukan berarti Gus Yahya tidak suka kepada PKB yang semua kita tahu bahwa abah beliau deklarator PKB dan termasuk beliau adalah bagian assabiq al-awwalun di PKB.

Dalam pandangan Gus Yahya, kehadiran NU dan Gusdur harus menjadi tempat semua orang dalam pengkhidmatan dan harapan untuk masa depan Islam dan Indonesia. NU dan Gusdur menjadi bumper kaum minoritas, tertindas dan mereka yang terzolimi, sehingga jika NU tidak memiliki irisan kepentingan dengan penguasa, akan mudah berpihak pada kaum minoritas, tertindas dan yang terzolimi tersebut. NU dan Gus Dur selalu hadir dalam konflik dan tragedi kemanusiaan, sehingga dengan bebasnya NU dengan warna politik, akan mudah menjadi penengah di tengah-tengah konflik. Dan pada prinsip sesungguhnya NU di tangan Gusdur ingin mewujudkan “rahmatan lil ‘alamin” yang menjadi brandmark Islam sebagai agama, dan itu yang ingin dituju oleh Gus Yahya.

BACA JUGA: Gus Dur, Islam Nusantara & Kewarganegaraan Bineka. Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001…

Selanjutnya soal distribusi kader-kader NU sebagaimana imajinasi MR, tentu juga menjadi bagian dari orientasi kepengurusan PBNU saat ini, namun kader NU tidak boleh dikanalisasi hanya PMII saja. Kita mafhum PMII adalah bagian dari NU, namun jika NU hanya milik PMII justru mengerdilkan NU yang sangat besar itu. Ketika Gus Dur membebaskan warga NU tidak haram ikut Golkar dan PDI pada periode pertama kepemimpinannya, secara eksplisit menganjurkan kader-kader NU untuk berperan di ranah politik yang memungkinkan mereka bisa berperan lebih besar dengan tidak ada batasan harus pada partai politik tertentu. Pun juga di saat sekarang, dimana kiprah dan kesempatan politik dan lainnya sangat terbuka, kader NU harus menyebar pada ranah yang menjadi minat dan profesionalitas masing-masing. Dinda MR tidak usah khawatir berlebihan ketika NU dibawah Gus Yahya mengambil jarak dengan politik praktis dan kekuasaan menyebabkan kader-kader PMII akan terisolir, yang berjarak hanya NU secara kelembagaan dan bukan kader-kadernya dan tentu juga PMII.

MR sebagai kader dan juga mantan Ketum PKC PMII yang penulis juga pernah berproses di situ, sangat memahami alur pikiran MR itu. Kendati demikian, sebagai kader PMII dan sekarang bagian dari pengurus NU selayaknya kita mencontoh Kyai Said Aqil Siradj (SAS), dan A. Muhaimin Iskandar (AMI) sebagai ikon PMII saat ini. Beliau berdua menjadikan Gusdur sebagai inspirasi dalam berinteraksi dan mengelola lembaga masing-masing. Kepemimpinan Kyai SAS di PBNU, sikap cosmopolitan meniru Gusdur sangat menonjol, sehingga PBNU menjadi tempat berkumpul berbagai kalangan; dari kalangan bawah hingga atas, pun juga Gus AMI di PKB, struktur PKB tidak hanya didominasi oleh kader-kader nahdliyin namun juga dari golongan minoritas mendapat tempat terhormat. Hemat penulis, itulah warisan Gus Dur baik di NU dan juga PKB yang terus dilestarikan dan tentunya harus dipertahankan pada generasi mendatang. Semoga. (jejakrekam)

Penulis adalah Wakil Ketua PWNU Kalsel | Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel M Radhini berjudul Menghidupkan Gusdur, menghidupkan Caknur

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.