Perlu Tindakan Revolusioner Pemerintah untuk Kalsel Bebas Banjir (2-Habis)

0

Oleh : Dr H Subhan Syarief

Penulis adalah Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Arsitek Senior Ikatan Arisitek Indonesia (IAI) Kalsel

BILA kemudian ternyata penanganan dan pembenahan hanya sekadarnya saja seperti yang saat ini dilakukan, maka bencana yang datang justru semakin meningkat. Jadi mengapa bencana tersebut selalu terjadi dan berulang? Jawabnya sangat mudah.

Ketika kerusakan akibat hilangnya ‘furniture alam’ sangat parah malah terus dibiarkan, tanpa ada langkah perbaikan secara revolusioner, terukur dan tepat guna, berkesinambungan, justru bencana akan terus terjadi dan berulang. Mau tak mau pemerintah dan segenap komponen masyarakat harus melakukan tindakan revolusioner. Apalagi, jika mengukur bencana datang dari tahun ke tahun seperti menjadi sebuah keniscayaan.

Pertanyaan atau soalan kedua adalah bagaimana mengatasinya agar tidak terjadi lagi musibah banjir tersebut? Bicara mengatasi dalam tataran konsepsi memang sangat mudah. Sudah banyak kajian dan pandangan yang disampaikan oleh para ahli.

BACA : Ditagih Suaranya soal Penanganan Banjir di Kalsel, Ini Jawaban Anggota DPR RI Rifqinizamy Karsayuda

Semua pasti mengatakan segera benahi dan perbaiki kondisi diatas sana. Buat bendungan, tanam pohon, pertahankan hutan, cegah penambangan dan perkebunan sawit serta kurangi pengunaan lahan untuk kepentingan bisnis yang merusak kondisi hutan atau merubah fungsi awal lahan.

Tetapi masalah menjadi tidak sederhana ketika masuk dalam tahapan implementasinya. Semua jadi mentah dan mental ketika berhadapan dengan tindakan pembenahan yang harusnya mendesak dilakukan bila mau terhindar dari musibah banjir tersebut. 

Salah satu paling penting, misal saja aspek kejujuran dalam mengungkap dan menyampaikan fakta tentang berbagai hal yang terjadi di kawasan atas. Ini menjadi masalah klasik yang sulit didapatkan. Fakta nyata dan valid ini sangat penting dimunculkan. Ini untuk dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat format langkah kerja pembenahan dan  pemeliharaan.

BACA JUGA : Kisah Dua Terdakwa Kasus Banjir di Kalsel

Sayangnya sampai saat ini, data valid terkait detail potret diri seutuhnya kondisi alam, wabil khusus yang ada di atas (hulu) versi resminya pemerintah seolah tak dapat dan mau diungkapkan ke publik.

Semua seakan dianggap atau dinyatakan baik-baik saja alias tidak mengalami perubahan atau degradasi yang parah. Ini terbukti dari kecenderungan opini yang dimunculkan selalu ke arah untuk menyalahkan cuaca semakin ekstrem atau dengan kata lain cuaca menjadi sebab terjadinya musibah banjir atau musibah yang lainnya.

Padahal bila saja mau serius untuk mencegah terjadi berbagai musibah, maka mengungkapkan hal kondisi riil di kawasan atas (hulu), tengah sebagai daerah penyangga dan hilir (bawah) sangat diperlukan.

Dengan data yang benar, valid serta rinci akan mempermudah membuat pemetaan sumber masalah yang terjadi dan model cara penanggulangannya.  Dari hal ini, untuk mengatasi musibah banjir dasarnya ada beberapa langkah konkret yang mestinya bisa dilakukan.

BACA JUGA : Tokoh Eksponen 66 Kalsel Minta Pemda Serius Tangani Masalah Banjir Rob

Langkah mendasar adalah melakukan inventaris terhadap kondisi kekinian di kawasan atas (hulu), kawasan tengah/penyangga dan juga kawasan bawah (hilir). Melalui potret diri seutuhnya dan sedetail mungkin tentang berbagai ‘furniture alam’ mestilah dibuat. Termasuk pula melakukan inventarisir data lama per periode waktu tertentu, bisa saja setiap jangka lima atau 10 tahunan. Dalam hal ini, bila memungkinkan data di atas 30 tahun sampai dengan 100 tahun yang lalu perlu untuk dicari lagi.

Berbekal data ini, pengamatan kembali terhadap ‘perjalanan’ potret lama kondisi ‘furniture alam’ yang ada dikawasan tersebut tentu menjadi sangat dimungkinkan.

Dari data lama ini kemudian dikorelasikan dengan kondisi data terkini, sehingga ‘perjalanan’ perubahan  dari waktu ke waktu bisa diketahui. Termasuk hilang dan berubahnya berbagai ‘furniture alam’ di setiap kawasan, wabil khusus kawasan atas (hulu).

Dengan membandingkan berbagai kondisi antar waktu dari kawasan, maka bisa dilihat dan disimpulkan akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya banjir berulang maupun berbagai bencana lainnya. Kemudian berbekal data valid berbagai potret diri waktu ke waktu seutuhnya kawasan tersebut, jelas memudahkan mencari solusi konkret hal penanganan yang harus dilakukan.

BACA JUGA : Bisakah Kalimantan Selatan Bebas Banjir? (1)

Melalui data ini dipastikan akan lebih mudah untuk membuat rencana pembenahan daerah atas (hulu), daerah tengah sebagai kawasan penyangga dan kemudian daerah bawah (hilir). Sehingga berbagai ‘furniture alam’ yang berperan sebagai ‘stabilisator’ yang dulu memberikan proteksi atau pelindung ketika serbuan air berlimpah yang dahulu hilang, bisa direkayasa ulang agar mampu berfungsi kembali.

Dengan melihat kondisi potret diri dari berbagai kondisi kawasan atas, tengah dan bawah tersebut pasti akan terjadi perubahan terhadap peruntukan dan fungsi lahan. Atau dengan kata lain akan terjadi rekayasa ulang terhadap misalnya saja pada RTRW dari setiap kawasan. Bila ini dilakukan maka tentu akan banyak komponen kebijakan yang juga turut berubah.

Misalkan, ketika kawasan tersebut ternyata peruntukkannya bagi sektor kawasan usaha pertambangan, usaha perkebunan, usaha industri kayu, dan berbagai usaha lainnya, maka mesti dilakukan penyesuaian dan bahkan perubahan peruntukkannya.

BACA JUGA : Calap (Banjir) dan Format Masa Depan Kota Banjarmasin

Masalah muncul ketika mau merubah. Ya, mau dan mampukah pihak pemerintah dan pihak pengelola atau yang telah mendapatizin usaha tersebut menyepakati perubahan fungsi dan pengalihan bahkan penghentian rencana usaha mereka. Bila tak bisa disepakati maka dipastikan pembenahan kawasan atas, tengah dan hilir akan sulit dilaksanakan.

Nah, bila tak ingin lagi terjadi banjir maka pembenahan atau rekayasa ulang terhadap ketiga kawasan tersebut mutlak atau wajib dilakukan. Hanya saja, muncul tanya apakah mampu dan mau melaksanakan hal tersebut dengan konsisten, terukur dan berkelanjutan?

Sedangkan hal soalan ketiga berkelindan masalah waktu dan kapan Kalsel terbebas dari bencana Banjir. Ini tentu soalan yang berat untuk bisa dipastikan. Karena sangat tergantung pada kemampuan pemerintah dan semua pihak terkait dalam melakukan pelaksanaan implementasi dari soalan kedua.

BACA JUGA : 495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (Akan) Terjadi (2)?

Implementasi dari soalan kedua sangat membutuhkan tekad kuat, kerja keras, konsep dan strategi yang tepat guna dan yang paling penting diperlukan dukungan kerjasama para pihak serta biaya yang besar.

Patut disadari, persoalan sejak lama yang seolah tak bisa disepakati adalah hal kesamaan visi-misi para pihak dalam niat mengatasi atau pembenahan kawasan atas, tengah dan bawah agar mampu bertahan dari serbuan limpahan air.

Hal ini sejalan untuk menyamakan sudut pandang, pemetaan sumber masalah dan menyampaikan secara jujur, tentu saja terbuka tentang kondisi riil. Hal ini bisa saja akan sulit dicapai.

Coba lihat langkah sikap pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota selama ini. Bagi yang mau menyimak dan mencermati, tentu akan tahu bahwa sejak lama terlihat para pihak tersebut tak pernah bisa menyamakan sudut pandang dalam menyikapi kondisi perubahan alam atau kerusakan alam yang terjadi.

BACA JUGA : 495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (akan) Terjadi (1)?

Sehingga bila dikaitkan kondisi tersebut, misal saja dikaitkan dengan regulasi dalam pemanfaatan lahan seperti RTRW akan terlihat berbagai masalah. Dalam hal untuk mengubah RTRW dan menyesuaikan dengan kondisi bencana banjir yang sering atau rutin terjadi sangat susah dilakukan.

Cobalah utak-utik secara detail dan rinci hal pengaturan zonasi pada semua tingkatan RTRW tersebut. Karena bila itu semua dikaitkan dengan kondisi perubahan ‘bentang alam’ atau kondisi hilangnya berbagai ‘furniture alam’ yang saat ini terjadi, maka jelas hal itu memicu ketidakseimbangan bahkan kerusakan. Khususnya terkait soal peruntukan fungsi kawasan dan lahan. Ini persoalan mendasar yang harus diubah dan disesuaikan.

Tapi faktanya perubahan yang dilakukan pada RTRW belum mampu dilakukan. Falsafah utama hal aspek lingkungan yang telah berubah drastis dan memunculkan masalah, belum menjadi bahan utama yang menjiwai dalam penyusunan RTRW dalam semua tingkatan. 

Hal lainnya yang penting adalah pada aspek segi dukungan dana yang besar serta berkelanjutan. Ini kembali menjadi persoalan lainnya. Sebab untuk membenahi hal tersebut, perlu dana besar yang bisa saja akan menganggu ‘postur’ yang sudah dicanangkan dan menjadi rencana terdahulu.

BACA JUGA : Banjarmasin Banjir, Pengamat Sebut Pemkot Hanya Fokus Selesaikan Persoalan Hulu, Tak Persoalan Hilir

Dalam hal ini kemampuan dan fokus peruntukkan dana bagi hal penanganan banjir ini tidaklah bisa ala kadarnya saja. Tapi memang memerlukan dana yang luar biasa. Bisa saja anggarannya akan lebih besar daripada dana untuk membangun berbagai infrastruktur di ibukota negara (IKN) nanti.

Tapi bila bicara kepentingan dan keselamatan rakyat Kalsel dan Kalimantan, maka tentu hal ini lebih penting dibandingkan dengan membiayai hanya untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan. Untuk melakukan proses ‘rekayasa ulang’ dipastikan memang sangat tergantung hal dukungan dana tersebut.

Kembali kesoalan ketiga tadi, maka jawabannya adalah persoalan waktu yang dipastikan tak bisa cepat. Diperlukan waktu panjang, minimal 10 tahun. Akan tetapi semua kembali tergantung kepada niat dan tekad kuat dari pemerintah dengan didukung segenap komponen masyarakat. Tentu saja yang paling mendasar adanya dukungan dana ‘unlimited’ dari pemerintah.

BACA JUGA : Adipura dan ‘Calap’ (Banjir), Mana Pentingnya? (2)

Semakin ada kesiapan dana dan tekad kuat, maka semakin cepat waktu pengentasan hal bencana banjir di Kalimantan Selatan. Sayonara banjir akan menjadi sebuah keniscayaan, bila semua sumber daya dipergunakan dalam melakukan rekayasa ulang terhadap kondisi berbagai ‘furniture alam’ yang ada di kawasan atas (hulu), kawasan tengah (penyangga) dan kawasan bawah (hilir).

Akhirnya, soalan kuncinya adalah ada di tangan pemerintah. Apakah mereka mau dan mampu melakukan hal tersebut? Melakukan sebuah ‘mission impossible’ yang dipastikan banyak mendapat tantangan dan hambatan.

BACA JUGA : Adipura dan ‘Calap’ (Banjir), Mana Pentingnya? (1)

Bahkan juga perlawanan dari pihak penguasa lahan yang kadung sudah diberikan dispensasi serta izin mengolah kawasan tersebut. Konflik inilah yang sebenarnya akan menjadi faktor utama penghambat pembenahan yang akan dilakukan pemerintah. Tentu saja, sikap tegas pemerintah untuk berpihak kepada kepentingan warga dan lingkungan akan menjadi penentu mungkin apakah Kalsel bisa bebas banjir.

Bagi warga Kalimantan Selatan dan juga tentu warga Kalimantan bila ingin bebas banjir, maka rekayasa ulang terhadap pengembalian keseimbangan alam dari berbagai kerusakan adalah langkah wajib yang dituntut untuk segera diwujudkan.

BACA JUGA : Banjir Melanda, Walhi Sebut Bukti Kalsel Sudah Darurat Bencana Ekologis

Bila tidak maka segera bersiap bencana akan silih berganti datang menimpa. Tentu saja, bisa saja ke depan akan semakin parah dan sering terjadi. Akhirnya, bila ingin selamat atau menyelamatkan Kalsel dan Kalimantan maka pilihan hanya satu tindakan. Tindakan melalui gerakan semua komponen masyarakat wajib bersatu padu untuk bergerak maju berubah dan mengubah kondisi.\

Bila tetap diam maka bukan sebuah keniscayaan kehancuran akan menimpa pulau yang kaya raya yang menjadi salah satu pilar utama berdirinya negeri Indonesia ini. Kalimantan Selatan dan Kalimantan bisa saja akan hancur lebur akibat kerusakan lingkungan sebagai dampak dari berubah dan hilangnya berbagai ‘furniture alam’ yang mestinya dijaga keseimbangannya.(jejakrekam)

Penulis adalah Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Arsitek Senior Ikatan Arisitek Indonesia (IAI) Kalsel

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.