Bisakah Kalimantan Selatan Bebas Banjir? (1)

0

Oleh : Dr H Subhan Syarief

BICARA Banjir di Kalimantan Selatan, jujur sangat membuat hati miris sekaligus teriris. Apalagi, musibah ini seolah tak bisa dihentikan. Selalu rutin datang berkunjung, bahkan di beberapa daerah dalam setahun bisa menimpa lebih dari satu kali.

UTAMANYA, saat curah hujan tinggi dan lebat ditambah durasi panjang, maka air pun melimpah ruah dan tumpah menuju dataran rendah. Ujungnya, dalam benak setiap orang yang punya akal sehat, kepedulian dan apalagi merasa punya tanggung jawab, maka selalu muncul tanya sekaligus jengkel, kecewa dan marah.

Mengapa musibah ini seolah tak bisa untuk dihentikan? Mengapa pemerintah yang mestinya bertanggung jawab tak bisa lakukan langkah nyata dan serius dalam mengatasi masalah tersebut? Langkah yang dilakukan terlihat terfokus hanya sekadar memberikan bantuan dan informasi tentang terjadinya musibah tersebut. Adapun untuk mengatasi masalah penyebab banjir, sehingga tak lagi dan juga kemana harus mengungsi atau area evakuasi, terbilang sulit. Tak ada  tempat yang aman disediakan bagi korban terdampak banjir.

Ujungnya, tiap tahun ketika musim hujan tiba, maka banjir pun dipastikan selalu berkunjung datang. Tak bisa ditolak dan tak bisa dihalau. Rutinitas limpahan air yang datang dengan volume besar. Dampak yang semakin meningkat di setiap tahunn menjadi kenyataan yang tak bisa lagi untuk dihindari.

BACA : Ditagih Suaranya soal Penanganan Banjir di Kalsel, Ini Jawaban Anggota DPR RI Rifqinizamy Karsayuda

Bagi berbagai pihak, terlebih dari warga yang sering tertimpa musibah akan muncul harapan besar apakah bisa kita terbebas dari banjir. Ya, bisakah daerah mereka ini terlepas dari agenda tahunan banjir? Ini tentu secercah memenuhi harapan. Sejatinya, ada beberapa pertanyaan atau soalan yang perlu diungkap dan dicari jawabnya.

Apa saja sikap kita ke depan dalam pandangan dan model penanganan musibah rutin ini?  Dalam membedah persoalan ini, ada tiga pokok hal yang menarik untuk diungkap dan diutak-atik. Pertama, , mengapa itu selalu terjadi? Kedua, bagaimana cara mengatasi agar tak terjadi lagi? Dan terakhir, ketiga  kapan waktu untuk bisa Kalsel tak lagi didera musibah banjir rutin ini?

Dari tiga soalan itu, lugas dan mendasar yang patut dipahami adalah hal yang mudah untuk dijawab. Yang sulit hanya masalah merealisasikan atau melaksanakan isi dan makna jawaban tersebut.  Bahkan sejak dulu pengentasan persoalan banjir seolah menjadi sebuah ‘mission impossible’.

BACA JUGA : Banjir Melanda, Walhi Sebut Bukti Kalsel Sudah Darurat Bencana Ekologis

Sebuah misi pembenahan yang sangat berat untuk dilaksanakan. Dan, sepertinya hanya bisa dilakukan melalui ‘kerja nyata yang radikal’.  Kerja nyata secara radikal inilah yang sampai saat ini tak pernah terlihat muncul ke permukaan. Terlepas dari semua itu, mari kita kembali mengurai masalah dan paling tidak ada hal menarik bila diulas dalam menjawab pertanyaan demi pertanyaan itu.

Yang pertama adalah banjir selalu rutin mendera. Terkhusus, bila hujan lebat berdurasi panjang atau ketika musim hujan tiba dan cuaca ekstrem. Hal tersebut terjadi karena kondisi alam, wabil khusus daerah hulu (atas) sudah terjadi ‘perubahan’ yang luar biasa pada tatanan ekologi awal.

Mau tak mau harus diakui, hal  ini akibati adanya ‘pemaksaan’ dalam melakukan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan atas atau hulu. Dalam hal ini,.alam atas (hulu) yang dahulu harmoni, memiliki keseimbangan, saling mendukung dan saling bersimbiosis mutualisme dipaksa berubah secara radikal oleh manusia. Tentu saja, alasan kepentingan ekonomi dan pembangunan jadi dalihnya.

BACA JUGA : Pendekatan Ekologis Dayakologi Terbukti Mampu Tangkal Perubahan Iklim Kalimantan

Dampak dari pemaksaan ini, maka berujung alam tak lagi mampu mengolah dan memproteksi terjadinya perubahan tersebut. Termasuk salah satunya begitu air hujan datang, maka alam atas (hulu) ini tak mampu lagi menyesuaikan diri atau memanfaatkan limpahan air tersebut. Untuk sekadar diolah menjadi sumber kehidupan atau kebutuhan berbagai komponen ‘furniture alam’. Sebut saja, seperti hutan, pepohonan, tanaman, berbagai satwa, bukit dan gunung, danau dan segala jenis makhluk yang hidup di atas, terkhusus yang ada di kawasan atas tersebut.

Dan ketika furniture alam sudah tak mau lagi beradaptasi, tak mau bertoleransi dan tak mampu memproteksi diri, bahkan hilang dan mati. Tak mengherankan, ketika air berlimpah yang datang tak dapat diolah dan terpaksa dimuntahkan semua ke daerah lain, terutama ke daerah bawah.

BACA JUGA : Panen Bencana Akibat Carut Marut Tata Ruang

Dari sini awal terjadi berbagai musibah, seperti tanah longsor, kebakaran hutan, kemarau panjang atau kekeringan,  dan termasuk pula banjir menjadi rutinitas yang terpaksa harus dinikmati para penghuni.  Kondisi tentu akan semakin parah ketika di daerah penyangga atau tengah dan daerah bawah (hilir) juga terjadi perubahan  pada kondisi keaslian bentang alamnya. 

Dengan kata lain ketika ‘furniture alam’ seperti sungai, danau, daerah resapan, rimbunnya pepohonan, bukit, tebing, ceruk dan jurang bahkan gunung yang dulunya mampu berfungsi sebagai penyeimbang telah berubah bentuk. Bahkan, hilang tergerus menjadi kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan jalan dan berbagai kawasan lainnya. Tak jarang daerah tersebut semakin banyak menjadi gundul, gersang dan bahkan berlubang-lubang.

BACA JUGA : Solusi Atasi Banjir, Pemulihan Lingkungan Secara Bertahap Wajib Dilakukan Pemkab Banjar

Tentu saja hal ini memunculkan konsekuensi. Ketika banyak area resapan, danau, sungai  sebagai rumah air dan jalan air telah berubah fungsi menjadi daratan penuh dengan urukan bahkan betonisasi.  Sungai yang dulu lebar dan dalam menjadi menyempit dan dangkal, tak jarang menjadi buntu bahkan mati.

Kemudian gunung yang dulu menjulang tinggi sebagai ‘pasak bumi’ punah dan tersisa lubang lubang besar akibat di eksploitasi atau dikeruk sampai ke dasarnya.  Akhirnya, semua ‘furniture alam’ punah akibat tak mampu beradaptasi dan menjadi korban pertumbuhan pembangunan guna memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ekonomi.

BACA JUGA : Mana Suara Saiful Rasyid dan Rifqinizamy! Istana Negara Butuh Didemo DPRD HST

Akibat dari perubahan fenomena alam di hulu, tengah dan hilir yang semakin meningkat tajam, maka mau tidak mau alampun bereaksi. Siklus keseimbangan yang dulu stabil menjadi tak mampu lagi bertahan.

Dampaknya begitu terjadi perubahan cuaca ekstrem, bahkan yang rutin setiap tahun pun, maka bencana pun tak bisa dihindari. Misal saja, ketika masuk di musim panas atau kemarau, muncul persoalan bencana kebakaran dan asap. Sebaliknya, ketika musim hujan tiba, maka yang mengemuka adalah kebanjiran atau pun tanah longsor dan bencana lainnya. (jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Doktor Hukum Konstruksi Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Arsitek Senior Ikatan Arisitek Indonesia (IAI) Kalsel

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.