Kisah Dua Terdakwa Kasus Banjir di Kalsel

0

Oleh : Taufik Hidayat

HARI-hari ini kita sedang dihantui perasaan was-was kalau-kalau banjir besar yang terjadi pada awal 2021 kembali terulang.

SEPERTI kita ketahui bersama,  pada bulan Nopember dan Desember ini banjir sudah melanda beberapa daerah seperti HST, HSU, Balangan, Tabalong, HSS dan termasuk juga Banjarmasin.

Berikut ini adalah tulisan lama yang penulis buat pasca banjir besar itu, insya Allah masih relevan sebagai bahan renungan kita bersama saat ini. Selamat membaca.

***

Di sebuah gedung pengadilan yang terlihat kokoh, walaupun bangunan itu sudah tua umurnya, sedang terjadi proses persidangan yang cukup seru. Banyak pengunjung yang menyaksikan. Wartawan, baik media cetak maupun elektronik, tekun mengabadikan proses persidangan yang sedang berlangsung.

“Saudara terdakwa, Anda sehat?” tanya ketua Majelis Hakim.

“Ya, Yang Mulia, saya sehat!” jawab Tuan Cuaca, terdakwa pertama.

“Apakah Anda siap mengikuti persidangan hari ini?”

“Siap, Yang Mulia!”

“Tolong jelaskan di persidangan ini, mengapa Anda berlaku ekstrem sehingga menyebabkan banjir besar di Kalimantan Selatan?”

“Saya hanya mengikuti takdir Allah SWT, Yang Mulia,” jawab terdakwa tanpa ragu.

“Ya, semua orang sudah tahu itu. Namun, tolong jelaskan mengapa Anda mengamuk sehingga terjadi hujan deras dan menyebabkan banjir besar?” tanya hakim ketua dengan sabar.

“Sebenarnya yang menyebabkan banjir itu .…“

“Saudara terdakwa, tolong jangan berbelit-belit,“ potong salah satu hakim anggota yang mulai tidak sabar, “nanti itu bisa memperberat hukuman Saudara.”

“Maaf, Yang Mulia!”

BACA : Ikhtiar Ikut Menyelamatkan Sungai di Banjarmasin

Terdakwa pertama pun lantas bercerita bahwa ia  biasa disebut La Nina.  Ia mempunyai saudara yang biasa dipanggil El Nino. Kami berdua, katanya,  bukan hal asing di dalam ilmu meteorologi yang  menjadi  fenomena dari anomali cuaca atau cuaca yang tidak normal.

Kami berdua memang bersaudara, tetapi berbeda sama sekali. Nama kami berdua sama-sama berasal dari bahasa Spanyol. Saya, La Nina, artinya anak perempuan. Sedang saudara saya, El Nino, artinya anak laki-laki.

Saya, El Nina, merupakan istilah untuk kondisi di mana suhu permukaan laut mengalami penurunan. Penurunan suhu ini terjadi di kawasan Timur ekuator di Laut Pasifik, hanya terjadi selama 6-7 tahun sekali. Sedang saudara saya, El Nino, diartikan dengan peningkatan suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur. Peningkatan suhu ini di atas rata-rata di sepanjang garis ekuador, rata-rata terjadi sekali dalam 4 tahun.

BACA JUGA : Hampir Seluruh Kecamatan Diserbu Air, BPBD Banjarmasin Sebut Banjir Rob Akibat La-Nina

Walaupun bersaudara, tetapi dengan nama yang berbeda, dampak akibat perbuatan kami berbeda-beda pula.

Saya, La Nina, menyebabkan terjadinya peningkatan  curah hujan di wilayah Indonesia. Tingginya curah hujan menyebabkan beberapa daerah banjir. Daerah yang mengalami banjir biasanya memiliki resapan yang rendah.

Sedang saudara saya, EL Nino, berkebalikan dengan saya. Karena dia curah hujan  akan berkurang yang menyebabkan kekeringan panjang di beberapa wilayah di Indonesia.

“Jadi, Saudara terdakwa mengakui bahwa banjir besar yang saat ini terjadi di Kalimantan Selatan adalah akibat perbuatan Saudara?” tanya hakim ketua minta penegasan.

“Tidak, Yang Mulia!”

“Kok Anda masih membantah. Kan tadi sudah menyatakan bahwa saudaralah yang menyebabkan hujan lebat sehingga terjadi banjir?”

“Sekiranya daerah yang mengalami penurunan hujan lebat itu masih memiliki resapan air yang tinggi, banjir tidak akan terjadi, Yang Mulia!” jawab Tuan Cuaca dengan tegas, membela diri.

BACA JUGA : Hadapi Dampak Badai La Nina, BPBD Banjarbaru Imbau Warga Waspada

***

Pada kesempatan yang berbeda, terdakwa kedua dihadirkan ke depan persidangan. Terdakwa kedua adalah Tuan Alam Nan Rusak.

“Saudara terdakwa, Anda sehat?” tanya ketua Majelis Hakim.

“Tidak, Yang Mulia!” jawab terdakwa kedua.

“Kalau Anda tidak sehat, kenapa Anda hadir di persidangan hari ini?”

“Saya dipaksa, Yang Mulia!”

“Tolong jelaskan siapa yang memaksa Anda?”

“Hati nurani saya, Yang Mulia,” jawab terdakwa tanpa ragu, “walaupun tubuh saya tercabik-cabik, kulit saya terkelupas dan bulu di tubuh saya sudah gundul, saya tetap ingin datang ke persidangan ini untuk menyampaikan kebenaran.”

BACA JUGA : Banjir di Kalsel, Gubernur Perintahkan Jajarannya Bergerak Cepat

Hakim ketua kemudian menskors rapat sebentar untuk meminta pendapat para hakim anggota, jaksa penuntut umum dan juga pengacara, apakah rapat bisa dilanjutkan untuk mendengarkan keterangan terdakwa yang nampak begitu serius untuk menyampaikan tentang “kebenaran” itu.

Semua sepakat sidang dilanjutkan, walaupun sedikit melanggar hukum acara persidangan. Bahwa terdakwa yang sakit sebenarnya tidak boleh dipaksa untuk memberikan keterangan. Persoalannya sekarang, terdakwa bukan dipaksa, tetapi seperti memaksa ingin memberikan keterangan.

“Ya, silakan Saudara terdakwa memberikan keterangan lebih lanjut,” kata hakim ketua, setelah mencabut skors persidangan.

“Saya adalah korban, Yang Mulia!” kata terdakwa kedua tegas, “saya adalah korban kesalahan manusia.”

“Atas dasar apa Saudara terdakwa merasa sebagai korban dari manusia?”

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs. Ar-Ruum:41)

“Itu dasarnya, Yang Mulia!”

***

BACA JUGA : Solusi Atasi Banjir, Pemulihan Lingkungan Secara Bertahap Wajib Dilakukan Pemkab Banjar

Tiba-tiba terjadi keheningan, semua larut dalam lamunan masing-masing setelah mendengar jawaban terdakwa kedua, Tuan Alam Nan Rusak, yang sungguh sangat mengejutkan.

Ada yang teringat dengan data-data yang sudah diketahui secara umum tentang dampak banjir yang sangat merugian ini serta hal-hal yang diduga sebagai penyebabnya,

Ada juga yang teringat tentang hal-hal yang masih menjadi tanda tanya.

Kabupaten Tanah Bumbu yang sangat terkenal dengan pertambangan besar batubaranya, ternyata kali ini tidak banjir, sementara Kabupaten HST (Hulu Sungai Tengah) yang dinyatakan hingga saat ini tidak ada izin pertambangan batu bara di sana, justru mengalami banjir terparah kedua setelah Kabupaten Banjar.

BACA JUGA : Minta Bantuan Adaro, Pemkab HSU Disarankan Jangan Sembako Tapi Proyek Fisik Atasi Banjir

Apakah itu berarti di Tanah Bumbu pengelololaan tambang batu bara sudah berjalan dengan baik? Sementara di HST, meskipun secara resmi tidak ada tambang batubara, tetapi tambang illegal justru sudah terjadi secara merajalela?

Bandingkan dengan tetangganya, Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan dengan dua perusahaan raksasa batubara, Arutmin dan Adaro, yang justu tidak mengalami banjir separah HST. Begitu juga di Kabupaten Tapin yang terkenal juga dengan banyak tambang batubara, justru kali ini banjirnya tidaklah begitu besar.

Ada juga yang terbayang dengan dampak negatif sekiranya tiba-tiba ada kebijakan pemerrintah menyetop pertambangan batubara, bisa jadi PLN tidak lagi bisa beroperasi karena kekurangan bahan bakar. Lagi-lagi masyarakat yang kembali akan menuai kerugian. Belum lagi dampak langsung bagi masyarakat yang bekerja di sana.

BACA JUGA : Banjir Melanda, Walhi Sebut Bukti Kalsel Sudah Darurat Bencana Ekologis

Banyak hal yang berkecamuk di kepala ketua majelis hakim, para hakim anggota, jaksa penuntut umum, pengacara, penonton, wartawan dan tentu para terdakwa sendiri.

Akankah hal-hal itu semua nantinya bisa muncul sebagai fakta persidangan, sehingga majelis hakim dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya, dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bermanfaat untuk menyelamatkan daerah Kalimantan Selatan ini? Mari kita tunggu proses persidangan selanjutnya. Terima kasih. Wassalam.(jejakrekam)

Penulis adalah Mantan Ketua DPRD Kota Banjarmasin (2004-2009)

Ketua BPPMNU (dahulu YPNU) yang mengasuh SMPNU dan SMKNU Banjarmasin

Ketua YPI SMIP 1946 yang mengasuh SMP, MTs dan MA SMIP 1946 Banjarmasin

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.