Banjir jadi Agenda Tahunan, Akademisi Sendratasik Ajak Seniman dan Budayawan Angkat Isu Deforestasi

0

AKADEMISI program studi pendidikan seni, drama, tari dan musik (Sendratasik) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Novyandi Saputra punya usulan menarik mengajak para budayawan dan seniman Banua untuk mengangkat isu deforestasi.

SAAT ini, deforestasi atau pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen untuk aktivitas manusia, baik menjadi kebun, sawah, pertambangan dan lainnya tengah menjadi sorotan dunia.

“Deforestasi bahkan menjadi isu atau topik hangat di luar negeri, khususnya di negara-negara Eropa. Sorotan pun tertuju ke Indonesia,” kata Novyandi Saputra kepada jejakrekam.com, Kamis (25/11/2021).

Menurut dia, jika awalnya pelestarian lingkungan dan ekosistemnya untuk kepentingan manusia, justru kini sebagian besar aktivitas deforestasi ditujukan untuk membuka lahan produksi pangan.

Dalam berkebudayaan dan berkesenian, Novyandi menegaskan sebenarnya tidak ada Batasan. Karena, budaya itu lebih mengatur pada sistem nilai yang dianggap penting dan berharga di tengah masyarakat.

BACA : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado

“Dampak banjir yang dirasakan warga Kalimantan Selatan merupakan makin parahnya deforestasi. Bayangkan saja, jika para seniman, budayawan atau pegiat seni tidak satu suara menyuarakan soal deforestasi, maka hal-hal yang dianggap penting dalam masyarakat berkebudayaan Banjar, bisa tenggelam,” kata Novyandi.

Ahli Etnomusikologi lulusan ISI Surakarta ini mengungkapkan perdebatan soal lagu Banjar atau lagu berbahasa Banjar sudah harus diakhiri. Menurut dia, seluruh elemen berkesenian dan berkebudayaan Banjar sepatutnya lebih melek terhadap fenomena yang terjadi di Kalimantan Selatan.

Novy pun mengatakan Taman Budaya Kalimantan Selatan yang menjadi salah satu episetrum pelestarian budaya Banua, sebenarnya juga bisa memberi wadah bagi pegiat seni urban seperti grup-grup musik rock serta lainnya untuk pentas.

“Mereka justru malah dihargai di daerah lain. Dalam berkebudayaan atau berkesenian, tentu kita memang tak terpisahkan dari pakem. Tapi, faktanya, banyak pula pegiat seni yang justru berasal dari Kalimantan Selatan dan mengharumkan nama Banua,” katanya.

BACA JUGA : Gaungkan Gerakan Save Meratus, Jalan Politik dan Seni Bisa Direntas

Novyandi Saputra, akademisi Sendratasik FKIP ULM yang menggeluti seni Gamalan Banjar. (Foto Dokumentasi JR)

Dia mencontohkan ketika isu SaveMeratus mengemuka, banyak para seniman dan budayawan ikut dalam gerakan masyarakat sipil untuk menyelamatkan Pegunungan Meratus dari ancaman industri monokultur; sawit dan ekstraktif; tambang batubara.

“Sekarang, isu-isu deforestasi juga kita garap. Tentu, para pegiat seni dengan basis seninya bisa menyuarakan itu. Tujuan akhirnya, tentu kita membangun kesadaran bersama agar laju deforestasi di Kalsel bisa ditekan,” ucap Novy.

BACA JUGA : Banjir Barabai dan Sekitarnya Tak Terulang Lagi, Ini Solusi dari Eks Wabup HST

Ia mengaku miris ketika tidak ada kesamaan persepsi antara masyarakat yang bermukim di hulu atau pegunungan dengan hilir atau perkotaan dalam isu deforestasi.

“Hasilnya, seperti yang kita nikmati sekarang, banjir dan bencana alam. Bagi masyarakat yang hulu yang menikmati adanya pertambangan atau perkebunan sawit, seolah cuek. Padahal, dampak yang dirasakan adalah masyarakat yang bermukim di daerah hilirnya,” beber Novy.

BACA JUGA : Hakim Kabulkan Gugatan Class Action Korban Banjir Kalsel, Pazri: Ini Kemenangan Rakyat

Dengan pertunjukan seni, musik hingga karya-karya sastra yang mengangkat isu deforestasi, Novy hakkul yakin justru bisa lebih efektif untuk membangun kesadaran bersama.

“Kami dalam grup Gamalan Banjar selalu menyelipkan isu-isu lingkungan khususnya ancaman deforestasi yang kini sudah kita rasakan dampaknya, bahkan sudah menjadi agenda tahunan,” pungkas Novy.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.