Oleh : Baiq Lidia Astuti S.Pd
DI TENGAH pandemi yang melanda pertiwi dan juga dunia saat ini, ada saja yang membuat kita tercengang dan semakin tersadar betapa kita hidup dalam ketidakadilan.
BARU-baru ini, catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19 ini.
Kenaikan harta para pejabat itu diketahui setelah KPK melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir. Bahkan, jumlah pejabat negara yang hartanya mengalami kenaikan mencapai 70,3 persen.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menyampaikan bahwa harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp 1 miliar. (cnnindonesia.com, 7/9/2021).
BACA : Tilik Kekayaan Petarung Pilgub Kalsel : Sahbirin-Muhidin Vs Denny-Difriadi, Siapa Paling Tajir?
Catatan KPK ini berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi penduduk Indonesia saat ini yang semakin susah hidupnya di tengah wabah. Para pejabat yang digaji oleh rakyat hidup bergelimang harta, duduk di kursi empuk, ruang kerja penuh dengan berbagai fasilitas, belum lagi dana tunjangan selama menjabat, ditambah rumah dan mobil dinas siap melengkapi kebutuhan selama bertugas. Begitu enak hidup menjadi para pejabat.
Sementara, rakyat jelata harus menerima hidup pas-pasan, menerima jika harga bahan pokok naik, pengangguran meningkat, dan anak-anaknya putus sekolah karena tak memiliki biaya.
Kata mereka (para pejabat), “Kita sama-sama harus bersabar menghadapi kondisi saat ini.” Sabar yang seperti apa? Sungguh ironis,bagaimana rakyat diminta bersabar sementara mereka menikmati kekayaan tanpa rasa berdosa.
Bagaimana rakyat di minta bersabar, sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Berada di pucuk kekuasaan memang menggiurkan. Itulah sebab banyak manusia tergelincir lantaran harta yang ia dapatkan.
BACA JUGA : Dari Harta Kekayaan, Haris Tertajir Disusul Ibnu Sina dan Khairul Saleh, Ananda di Posisi Buncit
Publik patut bertanya, dari mana sumber kekayaan para pejabat negeri ini? Boleh saja diumumkan nominalnya, tetapi harus diusut tuntas dari mana sumber kekayaannya. Inilah potret pemberlakuan sistem demokrasi yang digadang menjamin keadilan dan melahirkan aparatur serta pejabat yang mewakili rakyat.
Inilah ironi antara rakyat dan penguasanya. Sebuah fenomena yang tidak mengherankan di sistem demokrasi kapitalistik yang melahirkan lingkaran oligarki.
Negara serasa milik golongan dan perorangan. Inilah bukti sistem demokrasi membuka lebar pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri. Sedangkan rakyat tertutup akses sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya.
BACA JUGA : Istana Sultan Banjar Mewah Karena Melimpahnya Lada
Sementara, dalam Islam, ada sejumlah langkah agar pejabat tak gila harta dan takhta. Pertama, mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya.
Kedua, membina keimanan dan ketakwaan para pejabatnya. Mereka harus menyadari bahwa harta dan amanah yang diberikan pasti dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Ketiga, pengawasan dan kontrol masyarakat sebagai bagian dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam Islam, seorang penguasa atau pejabat haram mengambil harta yang bukan haknya, apalagi memanfaatkan jabatannya untuk hal tersebut.
Seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, ia menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah.
BACA JUGA : Perjuangan Otonomi Khusus bagi Kalimantan Masih Setengah Hati
Ingatlah, wahai penguasa dan pejabat! Harta itu ujian, bukan kebanggaan. Maka, belanjakanlah di jalan Allah jika ingin selamat dunia akhirat.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya ke mana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya; tentang hartanya, dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya; serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya.” (HR Tirmidzi). Wallahu A’lam (jejakrekam)
Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan
Tinggal di Kalimantan Selatan