Gegara Lama Belajar Daring; Ditanya 10 Dibagi 2, Siswa Kelas V SD Tak Bisa Jawab

0

KONSEP kognitif, afektif dan psikomotorik dalam sistem pembelajaran makin terjun bebas. Model Taksonomi Bloom yang Benjamin Bloom (1956) dalam perkembangan peserta didik di model belajar daring atau online, tidak bisa tercapai.

TAK percaya? Ini yang kini dirasakan Clara. Pendidik di Kecamatan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan mengeluhkan perkembangan anak didiknya jauh dari harapan.

“Model pembelajaran daring ini justru tidak efektif dalam mengasah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik anak. Pengalaman selama beberapa tahun ini dengan model belajar jarak jauh, malah kemampuan siswa saya anjlok,” kata Clara kepada jejakrekam.com, Selasa (26/10/2021).

Apalagi saat diberi pekerjaan rumah, Clara mengaku peran orangtua siswa untuk mendampingi sangat kurang. Hasilnya, nilai belajar atau aspek yang ingin dicapai pun jauh panggang dari api. Ini bukan lagi bicara jaringan internet yang tak murah bagi warga pedesaan.

“Kasih contoh, saat siswa saya di kelas V SDN Sampanahan ditanya sepuluh dibagi dua. Padahal, pertanyaan mudah untuk siswa kelas V, tidak bisa dijawab. Ya, ini karena siswa sudah terlalu lama mengikuti metode pembelajaran online. Apalagi, karena siswa berada di rumah, terkadang pengawasan orangtua juga longgar,” tutur Clara.

BACA : Berpotensi Memicu Kekerasan Anak, Alasan Pemkot Banjarmasin Mulai Tinggalkan Belajar Daring

Akibat terlalu lama belajar online, Clara mengaku terpaksa memberi materi belajar dari nol lagi. Bahkan, menggunakan media garisan satu per satu di papan tulis, sehingga bisa menerangkan pembagian 10 dibagi 2 itu, berapa hasilnya.

“Ketika ditanya kepada siswa, selama ini pekerjaan rumah itu siapa yang mengerjakan? Jawanya polos, ibu atau kakaknya sendiri,” kata Clara, geleng-geleng kepala.

Akademisi FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Muhammad Hamka menyebut model pembelajaran daring memang tidak efektif. Apalagi, model ini dipilih sejak awal 2020, sehingga komunikasi langsung antara guru dan siswa tidak terjadi.

“Sebenarnya, jiwa pembelajaran itu akan lebih hidup ketika guru dan siswa berhadapan. Makanya, pertemuan tatap muka itu lebih bagus dibandingkan daring,” kata mantan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalsel.

BACA JUGA : Cerita Bocah di Banjarmasin Jualan Es Mambo, Demi Beli Gawai untuk Belajar Daring

Hamka tak memungkiri kondisi darurat pandemi Covid-19 hingga melahirkan beragam kebijakan seperti pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) atau lainnya menjadi problema tersendiri. Dampaknya juga terasa pada dunia pendidikan.

“Aspek keselamatan siswa memang lebih diutamakan, sehingga akhirnya model pembelajaran daring dipakai. Nah, jika kondisi sudah kondusif, lebih bagus diterapkan pembelajaran tatap muka (PTM). Terpenting ada jaminan kesehatan dan keselamatan bagi guru dan siswa, termasuk mendapat izin dari Satgas Covid-19,” tutur Hamka.

BACA JUGA : Ketua IDI Kalsel Beri Tips Agar Siswa Tetap Sehat Saat Belajar Daring

Doktor lulusan Untag Surabaya ini mengatakan PTM memang sangat menentukan pembelajaran, khususnya pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik bagi peserta didik. Apalagi, model belajar itu dalam bentuk pelatihan bukan hanya sekadar teori.

“Adanya keterampilan dan praktik bagi siswa, tentu saja membutuhkan bimbingan langsung dan pelatihan langsung para guru,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.