Langgar Al-Hinduan, Muktamar NU dan Potensi Bangunan Cagar Budaya

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

LANGGAR Al-Hinduan adalah sebuah bangunan langgar berlantai dua, terletak tepi Jalan Piere Tendean, Banjarmasin Tengah, Kota Banjarmasin. Dengan luas sekitar 150 meter per segi berdiri mentereng di pinggir jalan, menghadap ke Sungai Martapura. Didominasi cat warna hijau dan putih pada bagian depan dan dinding. Pada bagian atas pintu, tertulis Al Hinduan dalam Aksara Arab.

PADA Selasa (12/10/2021) lalu diadakan pertemuan dari pihak Pemerintah Kota Banjarmasin Melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banjarmasin, Tim Ahli Cagar Budaya Kota Banjarmasin (TACB) serta perwakilan Kelurahan Gadang, Kecamatan Banjarmasin Tengah hingga RT. Satu di antaranya membahas tentang kemungkinan dan potensi Langgar Al Hinduan menjadi bangunan cagar budaya tingkat Kota Banjarmasin.

Apakah Langgar Al-Hinduan memenuhi syarat sebagai Bangunan Cagar Budaya? Tentunya harus melihat syarat dan kriteria suatu bangunan atau kawasan menjadi cagar budaya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kalau berdasar atas undang undang ini hal pertama bahwa berusia 50 tahun atau lebih.

Langgar Al-Hinduan memenuhi syarat ini. Langgar ini sudah berusia lebih dari satu abad, tepatnya sekitar 106 tahun sejak dibangun pada 1915. Dari sumber tertulis maupun wawancara, langgar ini didirikan Habib Salim bin Abubakar al-Kaff atas tanah wakaf istrinya, Syarifah Salmah Al-Hinduan. Dari marga istrinya tersebut, akhirnya diabadikan menjadi nama tempat ibadah ini.

BACA : Langgar Al-Hinduan, Kiprah Guru Tuha dan Saudagar Banjar di Muktamar NU Banjarmasin 1936

Darimana asal kata Al-Hinduan? Gelar Al-Hinduan pertama kali disematkan pada Waliyyullah Umar bin Ahmad bin Hasan bin Ali bin Muhammad Mauladdawilah. Badan dan Iman Beliau sungguh sangat kuat sekali bagaikan pedang yang tajam terbuat dari besi baja berasal dari India. Pedang yang terbuat dari besi baja buatan India itu dalam bahasa Arab disebut “Hinduan”. Keturunan beliau menyebar di Nusantara melalui Nasab Alawiyyin.

Tulisan angka Arab tanda tahun berdirinya Langgar Al-Hinduan (Foto FB Kabar Banjarmasin)

Tentunya bukan hanya persoalan usia bangunan. Berikutnya mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun. Untuk syarat ini bisa diperdalam lewat kajian arsitekturnya. Sepintas, nuansa masa lalu hadir lewat arsitekturnya. Memang terdapat pada beberapa sisi bangunan mengalami perbaikan. Tetapi tidak menghilangkan ciri khasnya. Secara tersirat tempat ibadah ini memang banyak memiliki nilai historis.

Berikutnya, hal yang paling utama bahwa harus dikaji lebih mendalam apakah keberadaan langgar ini memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan. Selain itu, hal utama lainnya bahwa memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

BACA JUGA : Tak Taati Soekarno, Hassan Basry Bekukan PKI di Banjarmasin (2)

Khusus poin penting mengenai arti khusus bagi sejarah ilmu pengetahuan, dans sebagainya, dapat ditelusuri kembali catatan sejarah Langgar Al Hinduan. Langgar yang juga mendapat sebutan Langgar Batu ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Nahdlatul (NU) Ulama Cabang Banjarmasin pada 1931 silam. Diketuai H Gusti Umar, dengan dibantu oleh Said Ali Alkaf, H. Achmad Nawawi, dan H Hasyim yang berkantor tidak jauh dari Langgar Al Hinduan, persisnya di Jalan Sungai Mesa, Banjarmasin.

Tokoh Said Ali Al Kaff dari Banjarmasin menjadi satu di antara tokoh sentral. Sebelum berdiri di Banjarmasin NU didirikan H Abdul Qadir Hasan bersama Habib Alwi Al Kaff, Habib Hamid Hasria (keduanya dari Banjarmasin) dan lainnya mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama di Martapura pada 1927.

Iqbal (2021) mengemukakan sejak dibentuk cabang Banjarmasin guna mengembangkan organisasi ini lebih maju, para elite NU tidak henti- hentinya melakukan safari politik untuk mendirikan cabang di seluruh Kalimantan Selatan. Lima tahun setelah berdirinya cabang Nahdlatul Ulama Banjarmasin (1931) atau delapan tahun setelah berdirinya NU yang pertama kali di Kalimantan Selatan (1927), tepatnya pad 1936 ketika digelar Muktamar NU ke-11 di kota ini.

BACA JUGA : Opsi Islam dan Pancasila, Orasi Soekarno di Amuntai Picu Protes Seantero Negeri

Pada 19 Rabiul Awwal 1355 H/9 Juni 1936 M diadakan Mukatamar NU-11 di Banjarmasin (Juni 1936) dengan susunan kepanitiaan terdiri dari Mansyur Amin (Ketua), Bachtiar (Sekretaris), Said Abdurrahman (Sekretaris I merangkap Bendahara), Jampirus (Sekretaris II) dan Arthum Arta (Bagian Upacara). Pada versi lain, tanggal 9 Juni adalah puncak Muktamar, secara keseluruhan muktamar ini dilaksanakan lima hari; sejak 8-13 Juni 1936. Terdapat juga sumber menuliskan pelaksanaan muktamar adalah 9-11 Juni 1936.

Terlepas dari perbedaan tersebut, hal ini adalah kebanggaan bagi warga Kota Banjarmasin, khususnya NU. Pasalnya sebelumnya, sejak NU berdiri dan diadakan muktamar I sampai muktamar X selalu digelar di Jawa. Terjadi hal berbeda dengan Muktamar XI, baru pertama kalinya di luar jawa (Banjarmasin).

Selain dihadiri dan dibuka oleh pimpinan Hoop Bestuur NU (KH Wahab Chasbullah), muktamar ini juga diikuti oleh utusan-utusan NU dari luar Kalimantan dan pimpinan majelis konsul dan beberapa cabang/majelis wakil cabang/ranting NU wilayah Kalimantan sendiri. Utusan muktamar, terutama yang berasal dari luar Kalimantan, ditempatkan di rumah Haji Gusti Umar (berlokasi di Sungai Mesa) yang pada waktu itu berfungsi sebagai kantor NU cabang Banjarmasin.

BACA JUGA : Jejak Sunyi Jalan Spritual Sang Guru Politik NU, Idham Chalid

Bangunan Langgar Al-Hinduan sebelum dicat hijau dan aksi penolakan pendirian Masjid Cengho di lokasi itu. (Foto Mogoberita)

Dari beberapa sumber beredar di media online bahwa Muktamar (Congres) ini diadakan di bangunan Langgar Al Hinduan. Seperti catatan Founder Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro yang pernah menapaktilasi tempat pelaksanaan Muktamar ke-11 NU pada 1936 itu. Berdasar informasi yang dikumpulkan Ayung, muktamar tersebut bertempat di sebuah Gedung Congres Sungai Messa 23, sebagaimana yang dimuat di Berita Nahdlatoel Oelema. Gedung Congres ini tidak lain adalah Langgar Al Hinduan.

Pendapat tersebut tentunya perlu perbandingan sumber. Dari beberapa sumber lisan maupun tertulis, jika dibandingkan beberapa sumber, sebenarnya muktamar diadakan bukan di bangunan langgar-nya. Muktamar NU -11 ini bertempat di sebuah rumah bertingkat dua di tepian sungai Martapura milik Haji Saal.

Persisnya di samping kiri Langgar al-Hinduan sekarang, Jalan Piere Tendean). Masyarakat dahulu sering menyebutnya rumah bertingkat di Jalan Sungai Mesa. Rumah bertingkat dua (di samping langgar Al Hinduan) tersebut lah yang di dalam Berita Nahdlatoel Oelama, disebut “Gedung Congres” Sungai Messa 23.

BACA JUGA : Muhammad Chalid, Sosok Hebat di Balik Sang Guru Politik NU, KH Idham Chalid

Utusan muktamar, terutama yang berasal dari luar Kalimantan, ditempatkan di rumah Haji Gusti Umar yang pada waktu itu berfungsi sebagai kantor NU Cabang Banjarmasin. Rumah yang dijadikan area kongres tersebut menurut Makmur (1999) adalah rumah Haji Saal. Tidak dijelaskan secara pasti nama lengkap tokoh pemilik rumah. Diduga Saal adalah singkatan dari nama dari tokoh pendiri NU Banjarmasin, Said Ali Al-kaff. Said Ali Al-Kaff pada 1936 adalah pimpinan NU Banjarmasin. 

Hal ini diperkuat fakta lainnya bahwa setelah muktamar, Kantor NU Cabang Banjarmasin yang semula di rumah Haji Gusti Umar (Sungai mesa), kemudian dipindahkan ke rumah Haji Saal di samping Langgar Al- Hinduan. PWNU berkantor di sana sampai awal kepemimpinan M Arthum Husein, tahun 1957.

Berdasarkan Ahkamul Fuqaha Nomor 192 Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-11 di Banjarmasin, menghasilkan keputusan pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah dār al-islām sebagaimana diputuskan dalam Muktamar. Kata dār al-islām di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam.

BACA JUGA : Berawal dari Langgar Berdiri Masjid Noor, Masjidnya Para Pedagang

Masyhuri (1997) juga menuliskan Darul Islam oleh NU ketika menggambarkan wilayah Nusantara sebelum dan saat dalam penjajahan Belanda bukanlah Daulah Islamiyah atau Negara Islam. Kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dār al-Islām, yang menegaskan keterikatan NU dengan nusa-bangsa

Dalam Muktamar ke-11 itu muncul pertanyaan “Apakah nama negara kita menurut syara agama Islam?” Keputusan Muktamar menyatakan: “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir, tetapi nama negara Islam tetap selamanya.” Argumen fiqhnya diambilkan dari Kitab Bughyatul Mustarsyidin, pada Bab Hudnah wal Imâmah. 

Pada kemudian hari menjadi suatu keputusan yang kelak menjadi landasan para ulama mencetuskan resolusi jihad menghadapi Belanda dan sekutunya yang hendak menjajah kembali Indonesia pada 1945-1949. Hasil dari pembahasan ini adalah adanya tekanan-tekanan dari politik kolonial Belanda membuat Nahdlatul Ulama yang pada awalnya menitikberatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan perekonomian ikut ambil bagian dalam menentang penjajahan.

BACA JUGA : Dua Wajah Ibnu Hadjar, Pejuang Revolusi yang Dicap Pemberontak

Diawali dari Muktamar ke-11 di Banjarmasin tahun 1936. NU bersikap kooperatif terhadap pemerintah Belanda dengan adanya penolakan terhadap kebijakan Milisi, menentang ordonansi-ordonansi.

Muktamar itu juga menghasilkan beberapa keputusan diantaranya yang terpenting adalah penyampaian Mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda yang berisi penolakan dan permintaan pembatalan peraturan Kawin Bercatat (Houwelijke Ordonnantie). Selain masalah agama, keputusan yang juga di ambil ialah yang menyangkut masalah sosial dan pendirian cabang baru pasca Muktamar itu antara lain NU di Kelua, Alabio, dan di Ampah.

Berita NU yang mencatat semua peristiwa dan kejadian penting di organisasi ini. (Foto nu,.online)

Catatan Founder Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro menuliskan bahwa penutupan Muktamar tersebut tidak dilakukan di Banjarmasin. Akan tetapi digelar di Martapura. Sebuah kota yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Banjarmasin. Kemungkinan besar untuk memberikan suasana baru bagi peserta muktamar. Sekaligus memperkenalkan wilayah Banjarmasin hingga Martapura. Sebagaimana ditulis Abu Bakar Atjeh dalam biografi KH. Wahid Hasyim, bahwa semua peserta muktamar diangkut perahu. Menyisir sungai di depan Langgar Al-Hinduan tersebut, menuju ke lokasi penutupan di wilayah Kota Serambi Mekkah.

BACA JUGA : Nuansa Bulan Puasa di Borneo Selatan Era Kolonial Belanda

Apakah Muktamar XI NU KH Abdul Wahab Chasbullah yang membuka muktamar, bukan KH Hasyim Asy’ari (Rais Akbar)? Perlu penelusuran kembali. Banyak versi pendapat. Dalam literatur “Kyai Haji Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri“ hanya dituliskan bahwa ada petelah pertemuan Kyai Haji Hasyim Asy’ari: dengan Soekarno dan Muso di Pasar Kapu, Pagu, Kediri pada awal 1936 untuk membincang gagasan negara ideal yang dicita-citakan.

Yakni, gagasan Negara ideal yang dimunculkan dalam Muktamar Nahdlatoel Oelama ke-11 di Banjarmasin pada 9 Juni 1936 yang salah satu keputusannya menetapkan cita-cita membentuk Negara Daro eslam atau Darusalam.

Sementara dari sumber gufrondotcom menuliskan bahwa terdapat nasehat yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936 dan Muktamar NU ke-15 di Surabaya 1940. Menurut sumbernya, pidato nasehat ini sudah sulit ditemukan walaupun di rak buku kaum nahdliyyin sendiri.

Ada yang mengatakan sengaja disimpan tidak diedarkan dan ada yang mengatakan dibakar. Untungnya, pidato ini masih disimpan dengan baik oleh KH. Muhammad Jazuli Hanafi, salah seorang santri Hadlrat al-Syaikh mulim di Malang. Teks asli berbahasa Arab, ditulis ulang dan diterjemahkan oleh Ibnu Hasan Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura.

BACA JUGA : Sekolah Arab Vs Sekolah Belanda; Diskriminasi dalam Arus Zaman

Selain itu, Ketua Umum PB-NU Prof Dr KH Said Aqiel Siradj, ketika berceramah di Masjid An-Noor Banjarmasin 12 Rabiul Awwal 1436 H menyatakan, ulama NU di bawah KH Hasyim Asyari melalui Kongres NU di Banjarmasin 1936 tersebut sudah menggagas bentuk negara yang akan didirikan ketika Indonesia merdeka. Apakah ini mengindikasikan bahwa KH Hasyim Asy’ari hadir dalam Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936? Perlu kajian data kembali.

Terlepas apakah Langgar Al Hindua memiliki hubungan dengan sejarah perkembangan NU di Kalimantan Selatan, dari segi bangunan dan masa gaya dianggap memiliki potensi cagar budaya. Mengenai nilai sejarah, memang masih perlu pendalaman lewat kajian kembali. Tentunya dalam penentuan status cagar budaya, bukan hanya nilai sejarahnya yang menjadi dasar utama, tetapi nilai yang lain yakni ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan umumnya. Selain itu, apakah memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan.

Anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Banjarmasin

Dosen Pendidikan Sejarah FKIP ULM

Pencarian populer:kalam habib ahmad bin umar alhinduan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.