Surung Kiwa Sambut Kanan
Oleh : Noorhalis Majid
BERUNDING menyelesaikan satu permasalahan, menyepakati jalan atau solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Masing-masing pihak bersedia mengalah, bersamaan itu juga sama-sama mendapatkan yang diharapkan – ada timbal balik, itulah yang dimaksud surung kiwa sambut kanan.
SORONG dengan tangan kiri, sambut menggunakan tanggan kanan, begitu arti harfiahnya. Kedua tangan dimainkan untuk menyerahkan dan sekaligus menerima. Jangan hanya ingin menerima, dan tidak mau memberikan sesuatu. Atau berusaha memberikan, tapi orang lain tidak mau mengalah sedikit pun. Kedua-duanya mau memberi dan menerima, sehingga mudah dicapai kesepakatan.
Negosiasi atau perundingan, adalah cara efektif menyelesaikan masalah. Bahkan menjadi cara paling beradab, khas manusia yang berpikir, karena minim risiko. Termasuk risiko konflik dan kekerasan. Bila para pihak masih mau menempuh cara-cara perundingan, segala risiko yang dapat merugikan para pihak, dapat dihindari.
Eskalasi potensi konflik, masing-masing pihak seolah tidak mau mengalah, biasanya sengaja diciptakan hanya untuk mendorong atau memaksa terwujudnya perundingan. Setelah sepakat berunding, barulah masing-masing memberikan penawaran dan bernegosiasi.
BACA : Teranyar ‘Dijamak Jibril’, Dokumentasikan Paribasa Banjar Berisi Nasihat dalam Tiga Buku
Kalau perundingan tidak tercapai, cara lain akan ditempuh, misalnya dengan cara berperkara di pengadilan, menentukan siapa salah dan siapa benar. Atau dengan cara pertarungan dan perang, cara terakhir ini, bagian dari cara lama yang mengandung banyak risiko. Terjadi karena perundingan tidak membuahkan hasil, atau para pihak tidak mau berunding.
Ungkapan ini memberikan pelajaran, agar pandai bernegosiasi. Bahkan salah satu kunci sukses, harus pandai dan mahir bernegosiasi. Dalam kehidupan sosial, baik kehidupan bermasyarakat – terlebih bernegara, selalu dihadapkan pada berbagai perjumpaan.
Memaksa harus terbiasa bernegosiasi. Selalu saja kepentingan kita, berhadapan kepentingan orang lain. Hak setiap orang, berhadapan dengan hak orang lainnya. Pada saat itulah negosiasi dibutuhkan.
BACA JUGA : Kuliner Banjar; Refleksi di Ujung Lidah, Warisan yang Tak Boleh Luntur
Mau menerima dan memberi, itulah kunci negosiasi. Jauh sebelum ilmu-ilmu perundingan diajarkan, kebudayaan sudah menanamkan pengetahuan lokal untuk bertoleransi. Jangan ingin menang sendiri. Jangan pula selalu pasrah dan kalah.
Belajarlah saling menghargai, sama-sama memuliakan, agar bermartabat. Jangan canggung – kaku, piawailah dalam bernegosiasi, surung kiwa sambut kanan.(jejakrekam)
Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Bahasa Banjar
Senior Staf Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin