495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (Akan) Terjadi (2)?

0

Oleh: Subhan Syarief

BAGI YANG mau cermat dan mau berpikir agak mendalam pasti akan muncul tanya, mengapa kota ini selalu tak bisa imun terhadap air limpahan, apa masalahnya dan apa yang salah, padahal sudah banyak dana digelontorkan untuk membenahi drainase, sudah cukup banyak masyarakat yang terlibat dalam membersihkan sungai, membersihkan drainase, menanam pohon, dan lainnya.  Tetapi mengapa calap masih mendera, bahkan puncaknya di bulan Januari 2021. Banjarmasin dikepung air dan telah menjadi kota resapan air. Sebuah kasus banjir yang tingkat keparahannya tak pernah terjadi sejak era kota ini belum ada lahir di bumi Kalimantan.

UNTUK mengulas hal tersebut dasarnya menjadi sangatlah menarik. Karena akan terungkap apa akar persoalan sehingga kota Banjarmasin tak pernah lepas dari masalah calap / banjir.

Ada beberapa hal pokok yang perlu di gali dan di cermati. hal yang sejak dahulu tak terlalu diperhatikan oleh para pemangku kebijakan kota Banjarmasin. Bahkan cenderung tidak di jadikan sebagai pertimbangan utama , di abaikan sekaligus seperti nya di anggab remeh.

PERTAMA

Karakteristik kota Banjarmasin yang terletak di daerah pasang surut dan juga daratannya berada di bawah permukaan air laut tidaklah terlalu diperhatikan ketika memformat kota ini. Mulai dari aturan RTRW, RDTR, RPJM, RPJP dan sampai berbagai produk aturan regulasi membangun belumlah kuat ditunjang atau mengacu pada faktor karakteristik khas kota Banjarmasin tersebut. Sudut pandang regulasi yang dibuat umumnya lebih banyak berbasis kepentingan ekonomi dan kurang memperhatikan, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan masa depan kota Banjarmasin. Sisi lain yang juga lebih memprihatinkan adalah ketika regulasi sudah ada mengatur tapi ternyata implementasi nya tidak bisa berjalan dengan baik, bahkan tak di jalankan. Ini bisa kita lihat ketika kota Banjarmasin memiliki perda rumah panggung, tetapi tak pernah bisa konsisten di jalankan. Bahkan pengambil kebijakan pun ketika membangun mengabaikan hal tersebut.

Dalam hal ini sepanjang regulasi yang dibuat atau telah dibuat tak mengedepankan dan memasukkan falsafah kandungan karakteristik utama kota Banjarmasin , baik dari segi kondisi lingkungan , geografis , budaya dan sosial dalam mewarnai regulasi pengaturan pembangunan kota Banjarmasin maka kecalapan / banjir atau hal MCK (macet , calap dan kumuh) akan selalu terjadi , bahkan bisa saja akan bertambah parah.

KEDUA

Untuk mengatasi hal calap / banjir , sumber masalah utama mestilah bisa dipetakan dengan baik untuk kemudian di kaji. Misal saja ketika mau mengetahui apa hal utama yang menjadi sebab utama limpahan air menerpa kota Banjarmasin maka  karakteristik geografis kota Banjarmasin dan kawasan disekitar nya mestilah juga di lihat. Kondisi geografis muka daratan kota Banjarmasin sejak lama berada di bawah permukaan laut. 30 (tiga puluh) tahun lalu ada di posisi sekitar 17 cm di bawah muka air laut. Posisi terkini tentu tidaklah sama dengan masa lalu , pasti semakin jauh berada di bawah muka air laut. Ini disebabkan hal terkait pengaruh dampak pemanasan global yang menyebabkan permukaan air laut dari tahun ketahun semakin menaik. Sebagian pengamat ahli  menyatakan bahwa setiap tahun rata rata kenaikan muka air laut akibat dampak pemanasan global tersebut diperkirakan ada dikisaran 0,6 cm s.d 1 cm. Sehingga bila ini di korelasikan dengan waktu yang 30 tahun di era lalu saat posisi muka daratan kota di 17 cm dibawah muka air laut itu maka saat ini posisi muka daratan kota Banjarmasin bisa saja ada di kisaran 3O cm s.d 40 cm di bawah permukaan air laut.

Kemudian sisi lain , saat 30 tahun lalu kondisi furniture alam Banjarmasin sebagai alat imun dalam menangani limpahan air masihlah sangat baik dan lengkap. Area resapan , embung , danau / telaga dan sungai besar , menengah dan kecil  masih banyak dan lengkap serta saling terkoneksi dengan baik sampai kelaut. Sehingga ketika pasang ekstrem ataupun curah hujan tinggi semua masih relatif mudah  di atasi secara alamiah. Dengan kata lain alam masih mampu menyeimbangkan dan memberikan proteksi terhadap kota Banjarmasin. Walaupun ada kecalapan tapi tak lama pasti akan surut kembali , dan tidak banyak memberikan kerugian bagi masyarakat.

Masalah muncul ketika kondisi furniture alam ini di kaitkan dengan kondisi kekinian. Kondisi ketika daerah resapan direklamasi dijadikan daratan untuk permukiman , jalan dan berbagai fasilitas kota lainnya. Kemudian sungai sungai banyak yang mati , menyempit , buntu dan juga dangkal akibat sedimentasi maka tentu saja daya tanpung air pun menjadi berkurang banyak. Dan dipastikan muka air pun akan semakin naik dibandingkan daratan. Tetapi sayangnya sampai saat ini data kongret dan valid terkait kondisi daya tampung limpahan ini masihlah belum diketahui atau ada datanya.

Dari dua hal ini maka bisa saja ternyata kenaikan muka air sungai / laut semakin jauh diatas dari daratan kota Banjarmasin , bukankah bisa saja saat ini kondisi nya sudah ada di kisaran 50 cm di bawah muka air laut / pasang ?

Sayangnya sampai saat ini gambaran  dan perhitungan valid tentang hal tersebut belum bisa di sampaikan kepada publik.

BACA: 495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (akan) Terjadi (1)?

KETIGA

Banjarmasin juga terletak di daerah paling ujung atau paling hilir dari Kalimantan Selatan , kota ini dibelah oleh sungai Martapura dan dikelilingi oleh atau di pecah pecah oleh berbagai sungai menengah kecil , serta kemudian juga sebagian kawasan nya berada ditepi sungai Barito.

Dengan kondisi ini maka pada dasarnya kota Banjarmasin adalah salah satu kawasan akhir yang akan menerima limpahan air dari daerah hulu atau daerah di atasnya. Sehingga ketergantungan kota Banjarmasin dengan daerah diatasnya sangatlah besar. Ketika daerah diatasnya terjadi kelebihan air yang tak sanggup mereka tampung maka pembuangannya akan turun ke kota Banjarmasin. Inilah yang terjadi di bulan Januari 2021 kemaren. Dan karena Banjarmasin kondisi furniture alam nya (sungai dan area resapan) tidak seperti dahulu lagi mampu memproteksi air , maka jadilah kota Banjarmasin sebagai kota penampungan air alias kota resapan air. Sehingga ketika air singgah maka tak bisa langsung kering. Tapi mengendap berminggu bahkan kemaren hampir mencapai 2 (dua) Minggu.

Persoalan penting yang mesti mendapat perhatian utama kota Banjarmasin terkait hal kawasan atas atau kawasan hulu adalah tak lepas dari kondisi lingkungan daerah atas ketika kawasan tersebut terjadi hujan lebat , ekstrem dan berkepanjangan.

Kerusakan alam di daerah atas sudahlah menjadi kenyataan yang tak bisa di pungkiri. Pembenahan daerah atas tentu tidak mudah. Akan memakan waktu dan biaya yang besar.

Dan belajar dari kondisi Januari 2021 kemaren maka yang paling penting adalah keseriusan pemerintah baik pemerintah kabupaten , pemerintah provinsi dan juga pemerintah pusat untuk fokus membenahi nya.

Sayang , sampai saat ini  bila di amati dan dicermati seperti nya tak terlihat ada keseriusan melakukan langkah kerja ‘revolusioner’ dan ‘paripurna’ untuk mengatasi hal kerusakan dan membuat stategi serta langkah kerja penanganan yang terukur , tepat guna berkesinambungan terhadap kondisi ekologi di daerah atas tersebut.

Semua masih sebatas wacana di atas kertas , yang tak memberikan kepastian kapan daerah atas yang telah terjadi kerusakan tersebut selesai di benahi. bagaimana cara membenahi nya , mulai dari mana dan mengunakan model yang seperti apa. Lebih utama lagi memberikan jaminan kepada warga Kalsel bahwa banjir akibat daerah atas tak mampu mereduksi air hujan tidak akan terjadi lagi.

Melihat kondisi ketidak pastian dari segi pembenahan daerah atas maka mau tidak mau kota Banjarmasin wajib lebih meningkatkan kewaspadaan dan kesiagaannya. Menghindar sangatlah tidak mungkin , maka langkah utama adalah segera menyiapkan langkah kongret untuk meminimalisir dampak bila kiriman air datang lagi. Dan langkah paling utama adalah segera benahi dan perlebar , perdalam dan perbanyak daerah penampungan air dan jalur (jalan) air untuk bisa cepat menuju sungai Martapura dan sungai Barito.

KEEMPAT

Pembuatan model sistem jaringan drainase kota Banjarmasin juga terlihat belumlah tepat. Sehingga walaupun sejak puluhan tahun di buat dan selalu dibenahi faktanya tidaklah banyak mampu mengatasi persoalan limpahan air ketika hujan ataupun ketika air pasang. Ini terjadi karena konsep sistem / model drainase yang di gunakan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan.

Sistem pengelolaan limpahan air di kawasan seperti kota Banjarmasin tidaklah bisa terlalu mengandalkan ‘gravitasi’ untuk mengalirkan air ke sungai. Ini karena ketinggian muka air sungai terhadap muka daratan tidaklah beda jauh. Ketika pasangpun hampir sejajar permukaan air dan daratan. Bahkan cukup banyak kawasan yang dekat dengan sungai , ketinggian air sudah mengenangi kawasan. Apalagi ketika siklus kenaikan muka air laut meninggi maka pasti beberapa kawasan kota akan digenangi air.

Bayangkan saja bagaimana bila kenaikan muka air laut yang faktanya terus meningkat dari tahun ke tahun itu membuat muka air sungai juga selalu meninggi. Tentu semua sistem jaringan drainase tersebut akanlah kena dampak.

Sisi lainnya pengunaan konstruksi drainase dari beton masiv yang membentuk seperti ‘bak’ dimana bagian alas dan sisi kiri kanan di betonisasi sangatlah tidak tepat dengan karakteristik kota Banjarmasin yang pasang surut. Ini karena daya serap tanah terhadap air menjadi hilang dan tidak membantu mempercepat pengeringan. Fatalnya adalah ketika permukaan alas drainase tersebut ternyata ketinggian nya di pasang sejajar atau berada di bawah muka air sungai. Ini tentu menjadi masalah besar ketika air tidak bisa bergerak turun menuju sungai dan bahkan air sungai ketika pasang yang masuk kedalam saluran drainase tersebut.

Ditambah lagi banyak drainase di kota ini yang bagian atasnya pun kemudian ditutup dengan beton cor , sehingga sulit untuk melakukan kontrol serta pembersihan / perawatan terhadap endapan dan sampah yang pasti selalu ada masuk dalam saluran drainase tersebut.

Dalam sistem drainase yang baik , pengaturan penempatan bak kontrol yang cukup besar dan dalam sangatlah penting. Akan tetapi untuk yang di bangun di kota Banjarmasin sangatlah minim bak kontrol besar yang sudah diperhitungkan letaknya. Perhitungan letak penempatan sangatlah penting. Untuk kota Banjarmasin yang jelas tak bisa mengandalkan atau tergantung sistem gravitasi dalam membuang  / menurunkan limpahan air menuntut lebih banyak di siapkan bak kontrol yang besar , dan bahkan mestinya bisa berupa sebuah daerah resapan air yang di buat seperti embung atau kolam retensi.

Dalam hal ini artinya ketika membuat dan memilih drainase maka pengaturan batas maksimal atau sistem zonasi mesti di lakukan agar effektif air buangannya bisa tersalurkan , tentu tak bisa dengan model yang saat ini di bangun. Semuanya nanti pasti tak akan bertahan lama , ujungnya akan mubazir. Karena fungsi drainase hanya lebih banyak sebatas tempat menampung air limpahan , bukan sebagai penyalur air ke daerah buangan akhir / sungai atau sumur retensi / resapan.

Itulah 4 (empat) aspek penting yang sebenarnya menjadi sebagian penyebab kota Banjarmasin belum mampu dalam melakukan pengelolaan terhadap limpahan air buangan. Baik ketika hujan mendera , ataupun ketika air pasang menaik dan juga untuk menampung sekaligus mengalirkan / membuang air limpahan ketika curah hujan di daerah atas / hulu ekstrem terjadi.

Tentu untuk agar Banjarmasin bisa imun terhadap calap / banjir langkah strategis, terukur dan berkelanjutan lah yang mesti di lakukan. Sayangnya sampai saat ini hal tersebut tidak lah atau belumlah bisa termunculkan. Hal pembuatan roadmap jaringan terpadu buangan air dalam mengatasi 3(tiga) hal utama penyebab calap / banjir tak pernah terlihat wujudnya. Sungai dan daerah resapan tak tersentuh untuk di perbanyak , diperlebar , dikoneksikan dan diperdalam.

Drainase yang di bangun juga terkesan asal jadi saja , cenderung tak mengacu dan terkorelasi dengan kondisi muka air sungai yang semakin menaik. Dan juga  belumah sesuai dengan karakteristik geografis , geologis daratan kota Banjarmasin.

Bahkan bagi yang paham dan mau mencermati pastilah bisa tahu, pembenahan yang selama ini di lakukan  sekedar ‘trial error’ untuk membangkitkan ‘citra’ bahwa pemerintah telah berusaha bergerak cepat dan berbuat dalam mengatasi hal limpahan air ini.

Akhirnya bila semua langkah pikir dan kerja masih seperti ini, tak berubah dan tak mau melihat secara komprehensif maka dipastikan kota Banjarmasin tak akan bisa keluar dari masalah calap / banjir.

Mengatasi persoalan limpahan air yang menyerbu kota Banjarmasin, baik ketika musim hujan ataupun ketika air pasang dan ketika buangan air berlebih datang dari daerah atas tidaklah hanya bisa dengan sekedar membersihkan sungai, membenahi  saluran drainase, mengeruk sungai dan juga membongkar jembatan ataupun bangunan yang mengatasi aliran air. Diperlukan langkah pikir dan kerja revolusioner dengan melibatkan para ahli dan peran serta masyarakat secara masiv berkelanjutan.

Akhirnya, selamat hari jadi kota Banjarmasin yang ke 495. Semoga ke depan bisa imun terhadap MCK (macet, calap, dan kumuh). (jejakrekam)

Banjarmasin , Penghujung September 2021.

Penulis ada seorang doktor dan pengamat perkotaan tinggal di Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.