Restorative Justice dalam Kasus Tindak Pidana (3-Habis)

0

Oleh : Dr (c) dr Abd Halim SpPD.SH.MH.MM.FINASIM

KONSEP pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

FIAT justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum.

Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana. Namun sayang, sistem formil tersebut dalam praktik sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbautkan atribut penegak hukum.

Kepentingan Korban serta Pelaku

Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity  rutan  dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. 

BACA : Tindak Kekerasan Terhadap Dokter Dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolahlapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih “diasah” kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.

Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta. Kasus dimaksud tentang dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri. 

Kedua belah pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun  oleh polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus tersebut hingga sampai ke pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan pelaku.

BACA JUGA : Tindak Pidana Perusakan Fasilitas RS, Apa Sikap IDI? (2)

Contoh lainnya yang mungkin lebih dikenal oleh masyarakat luas ialah kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pesakitan dalam menjalani persidangan. Jangan juga kita lupakan kasus nenek Rasmiah yang dituduh mencuri sop buntut dan piring majikannya yang kemudian harus berujung di meja hijau.

Pendekatan Restorative Justice

Konsep pendekatan restorative justice  merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan  diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi  pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. 

Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. 

BACA JUGA : Tragedi Kemanusiaan Kematian Dokter di Tengah Wabah Covid-19

Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana.

Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.

Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.

BACA JUGA : Urgensi Peran Masyarakat Untuk Penanggulangan Wabah dalam Perspektif Hukum Pancasila

Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.

Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.

Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian.

Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

BACA JUGA : The New Normal Sudah Layakkah Diterapkan di Tengah Pandemi?

Kisah dari Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimana tertuang dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda mengenai konsep restorative justice ini ” Hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung, ketika membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman dan sekaligus meminta pendapat saya.

Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.

Untuk mengatasi persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan, kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses hukum dihentikan. Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut, sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?” Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan.

Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.

BACA JUGA : Negara Wajib Menjaga Keselamatan Nakes dan Hukum Humaniter (2-Habis)

Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya sebuah “karya agung” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar formil dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pemidanaan pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum, sama seperti adagium populer yang dipakai sebagai pembuka dari tulisan ini “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan

Landasan Hukum Pendekatan Restorative Justic kasus Pidana Saat ini

Seperti disampaikan diatas bahwa secara hukum formil dalam KHUP kita sekarang tidak ada ruang atau pasal yang memperboleh pendekatan Restorative Justice ini, namum semangat untuk itu  ada dan terus bergulir dan sudah masuk dalam RUU KUHP yang sedang digodok DPR dan Pemerintah. Hal ini juga disambut baik oleh aparat penegak hukum yaitu Kejaksaan dan Kepolisian RI.

Jaksa Agung telah mengeluarkan  PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 15 TAHUN 2020 TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN RESTORATIF tertanggal 21 Juli 2020  dan Peraturan Kepolisian Negara RI  Nomer 8 tahun 2021 tentang Penanganan  Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restorativ tertanggal 19 Agustus 202. Peraturan ini menjadi dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk melaksanan pengusutan tindak pidana berdasarkan keadilan restorativ.

Dalam Peraturan Kejaksaan RI N0 15 tahun 2020 Pasal 5  disebutkan pada ayat 1 bahwa Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; 

b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan

c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Pada ayat 6 Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:

a. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1.  Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. Mengganti kerugian Korban;

3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau

4. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. Telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan

c. Msyarakat merespon positif.

Pada ayat 8 Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;

b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;

c. tindak pidana narkotika;

d. tindak pidana lingkungan hidup; dan

e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Dalam pasal 6 disebutkan : Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.

BACA JUGA : Nakes Korban Kebiadaan Teroris KBB, Pelanggaran Hukum Internasional (1)

Dalam Peraturan Kepolisian RI Nomer 8 tahun 2021 pada pada 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 disebutkan bahwa ada persyaratan formil dan materiil untuk dapat dilakukan restorative justice dan juga ada persyaratan dan khusus.

Dengan dasar hukum diatas penegak hukum baik kepolisian dan kejaksaan dalam menangani tindak pidana yang bisa diselesaikan dalam mediasi baik non litigasi dan ligitasi sehingga mendapatkan sebuah keadilan yang substantif sesuai roh dari hukum progresif dan keadilan Restoratif.

Dari ulasan di atas maka peluang penyelesaian kasus kekerasan pada dokter dan nakes yang hukuman maksimal dibawah 5 tahun berpeluang besar diterapkan penyelesaiannya dengan restorative justice.(jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama/Pembina Utama Madya

Wakil ketua komisi Etik dan Hukum RSDI Banjarbaru

Ceo dan owner KLINIK UTAMA HALIM MEDIKA

Candidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA dan CLA

Anggota Kongres Advokat Indonesia KAI dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia IPHI

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel. Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI)

Anggota Perhimpunan Profesi Mediator Indonesia (PPHI)

Ketua Harian Perkumpulan Profesional Hypnotherapy Indonesia (PPHI) Pusat

Ceo dan owner PT RADJAGO APLIKASI INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.