Pakar Hukum Administrasi ULM Sebut Pilkada Langsung Sita Waktu dan Berbiaya Besar

0

PAKAR hukum administrasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Dr HM Hadin Muhjad mengungkap ongkos politik untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sangat besar, sehingga berpotensi rawan kecurangan.

“BIAYA pilkada langsung memang sangat besar, bukan hanya membebani anggaran dalam APBD, tapi juga ongkos politik yang harus dikeluarkan para kandidat. Inilah mengapa banyak korelasinya ketika pemimpin yang terpilih justru tak sesuai harapan,” ucap Hadin Muhjad kepada jejakrekam.com, Selasa (21/9/2021).

Ia menjelaskan rencana Pemilu 2024 terdiri dari pemilihan Presiden-Wakil Presiden, DPD RI, DPR RI dan DPRD dihelat pada 21 Februari 2024, kemudian dilanjutkan lagi dengan pilkada serentak pada 27 November 2024, memberi jeda waktu bagi parpol pengusung.

“Mungkin, jika Pemilu 2024 itu diserentakkan dengan pilkada, tentu butuh waktu panjang bagi penyelenggara, khususnya di tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Nah, ketika ada jeda waktu, berarti hasil pemilu jadi dasar untuk parpol atau koalisi pengusung kepala daerah, dihitung perhitungan kursi parlemen atau suara pemilu,” ucapnya.

Hanya saja, mantan Pembantu Rektor I Bidang Akademik ULM ini mengakui seringnya digelar pilkada justru menyita waktu bagi daerah, bukan hanya dari segi anggaran saja.

BACA : Hasil Pemilu 2024 Jadi Syarat Pencalonan Kepala Daerah Di Pilkada 2024

“Awalnya, ada pemikiran untuk membarengkan pemilu dan pilkada pada 2024, ternyata keputusan itu berubah. Padahal, sebelumnya pertimbangan untuk efesiensi waktu dan efektivitas anggaran. Jujur saja, sering pilkada justru banyak waktu hanya dihabiskan untuk kontestasi demokrasi,” ucapnya.

Hadin pun mengungkap ketika era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ingin mengembalikan pilkada tak langsung melalui DPRD, malah ditentang oleh PDI Perjuangan. Ini karena, parpol pemenang pemilu memang memiliki akar massa yang kuat di Indonesia, sehingga memilih opsi tetap digelar dengan adu suara rakyat.

“Sebenarnya sederhana saja, jika PDIP dan Golkar yang memiliki banyak kursi di DPR RI setuju, maka produk hukum pilkada ini bisa dibuat. Nah, jika pilkada dikembalikan ke DPRD sebagai perwakilan rakyat di parlemen daerah, justru dari segi biaya dan waktu bisa ditekan,” beber Hadin.

“Namun, usulan itu dianggap mengabaikan kedaulatan rakyat, padahal para anggota dewan itu juga dipilih oleh rakyat di pemilu,” beber doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya.

BACA JUGA : Beber Keterlibatan Penyelenggara Pemilu, Prof Hadin : Dipicu Keserakahan karena Uang

Dari segi persoalan hukum, Hadin juga merujuk banyaknya gugatan sengketa pilkada yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuktikan jika pilkada langsung juga banyak masalah.

“Ini bukan asumsi, tapi fakta ketika banyak gugatan diajukan pasangan calon kepala daerah ke MK. Belum lagi, usai memenangkan pilkada, maka kepala daerah yang masih satu periode, lagi-lagi mempersiapkan diri untuk menyambut pilkada. Akhirnya apa? Dari hasil pilkada langsung justru tidak berkorelasi dengan lahirnya pemimpin yang baik dan sesuai harapan, karena ongkos politik yang besar,” imbuh Hadin.

BACA JUGA : Mendagri Usulkan Pilkada Tak Langsung, PKS : Mudharatnya Harus Dihilangkan

Mantan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalsel ini pun mengajak agar ke depan, agar demokrasi di Indonesia bisa berjalan sesuai relnya, dibutuhkan komitmen kuat agar rezim pilkada tak lagi menyita waktu dan menelan biaya besar.

“Ini yang harus dipikirkan ke depan. Bagaimana pun, seringnya pilkada juga membuat segi kehidupan lainnya turut terdampak. Jika ingin mengembalikan pilkada ke DPRD dengan pengawasan ketat, jauh lebih baik dibanding pilkada langsung,” tandas Hadin.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.