Negara Wajib Menjaga Keselamatan Nakes dan Hukum Humaniter (2-Habis)

0

Oleh : Abd Halim

DOKTER dan tenaga kesehatan (nakes) lainnya juga adalah warga negera yang mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dan keselamatan yang harus diberikan dan menjadi tanggung jawab negara seperti tertera dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945.

“KEMUDIAN daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untukmemajukan kesejahteraan umum…”

Kemudian, Pasal 28 H ayat 1 yang berbunyi: ” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan ” Begitulah perjanjian luhur berdirinya bangsa dan negara Indonesia. Artinya negara mempunyai tanggung jawab konstitusional untuk melindungi seluruh “tumpah darah Indonesia”.

Itulah kesepakatan agung dan meta-norm yang mesti diwujudkan. Dan pada pasal Pasal 28 I ayat 4 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Penyelesaian Konflik Papua

Maraknya kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua mengundang banyak respon masyarakat khususnya berkenaan dengan tindakan apa yang sepantasnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dari mulai penggunaan cara damai dan bermartabat hingga cara-cara kekerasan dan serangan militer. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan mengenai langkah apa yang selayaknya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan perspektif hukum humaniter.

BACA : Nakes Korban Kebiadaan Teroris KBB, Pelanggaran Hukum Internasional (1)

Hukum humaniter (atau yang juga kerap disebut sebagai Hukum Perang) adalah salah satu cabang dari hukum internasional yang berlaku pada dua situasi konflik bersenjata yakni internasional dan non-internasional. Pihak dalam konflik bersenjata internasional adalah negara, sementara bagi non-internasional adalah negara dengan aktor non-negara, atau antara aktor non-negara lainnya.

Pada mulanya, konflik bersenjata non-internasional (atau biasa juga dikenal dengan istilah “civil wars”), dianggap murni sebagai urusan domestik suatu negara. Namun, pandangan ini berubah secara drastis ketika Pasal 3 Konvensi Jenewa diadopsi tahun 1949. Pasal ini dikenal sebagai ‘konvensi mini’ karena merupakan satu-satunya pasal dari keseluruhan aturan dalam Konvensi Jenewa yang berlaku saat konflik bersenjata non-internasional.

Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa untuk pertama kalinya masyarakat internasional menerima adanya aturan tentang penjaminan penghormatan minimum saat terjadi konflik bersenjata non-internasional. Berbeda halnya dengan konflik bersenjata internasional yang sudah dapat memicu keberlakuan Hukum Humaniter sesaat ketika terjadi penyerangan oleh tentara suatu negara terhadap negara lain, tidak semua kekerasan bersenjata yang terjadi di satu wilayah negara dapat memicu berlakunya hukum ini.

Penerapan hukum ini dalam satu wilayah negara mensyaratkan tingkat kekerasan yang sudah memenuhi ambang batas yang cukup tinggi. Definisi dan batasan ini tidak secara jelas diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 sehingga akhirnya pada tahun 1977 disepakatilah Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa yang secara khusus mengatur konflik bersenjata non-internasional.

BACA JUGA : Tragedi Kemanusiaan Kematian Dokter di Tengah Wabah Covid-19

Protokol ini berlaku pada situasi permusuhan yang terjadi dalam satu wilayah negara antara angkatan bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisir, memiliki komandan yang bertanggungjawab, menguasai suatu wilayah tertentu yang membuat mereka mampu untuk melakukan operasi militer yang terus menerus dan berkelanjutan dan mampu menerapkan aturan dalam Protokol tersebut.

Hukum Humaniter dalam situasi konflik bersenjata non-internasional lebih banyak dipengaruhi oleh aturan Hukum HAM tentang penjaminan hak fundamental manusia dalam keadaan apapun termasuk perang dengan mengedepankan fakta bahwa korban konflik bersenjata non-internasional memiliki hak yang sama untuk dilindungi dan mendapatkan bantuan kemanusiaan seperti halnya konflik bersenjata internasional.

Sebagai konsekuensi hukumnya,perlindungan dan bantuan kemanusiaan saat konflik bersenjata non-internasional yang diatur dalam hukum humaniter tersebut tidak boleh dianggap sebagai bentuk intervensi hukum internasional terhadap urusan domestik suatu negara.

Akibatnya, banyak negara yang enggan untuk terikat dengan aturan hukum humaniter yang berlaku saat konflik bersenjata non-internasional termasuk Indonesia. Alasan utama penolakan ini adalah mereka menolak untuk didikte bagaimana seharusnya mereka memperlakukan pemberontak di wilayahnya.

BACA JUGA : Tindak Kekerasan terhadap Dokter dan Nakes, Perlukah Mengutuk? (1)

Namun, fakta bahwa Indonesia hingga saat ini belum tergerak untuk menjadi pihak Protokol II tahun 1977 tidak serta merta diartikan bahwa aturan hukum humaniter tidak berlaku dalam konflik bersenjata non-internasional di Indonesia.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, aturan hukum humaniter tentang konflik bersenjata non-internasional tidak hanya diatur dalam Protokol II namun juga terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 di mana Indonesia sudah menjadi pihak melalui Undang-Undang Ratifikasi Konvensi Jenewa No.59 tahun 1958.

Dengan demikian, Indonesia tetap memiliki kewajiban untuk menaati aturan hukum humaniter termasuk saat terjadi konflik bersenjata non-internasional. Agar terhindar dari penerapan aturan hukum ini, Pemerintah Indonesia harus memiliki pemahaman yang memadai tentang ambang batas minimum berlakunya aturan Hukum Humaniter dalam konflik bersenjata non-internasional.

Tindakan-tindakan yang sekiranya berpotensi untuk menaikan eskalasi konflik serta memperkuat struktur organisasi dari kelompok bersenjata harus dihindari. Hal ini dikarenakan pemberlakuan Hukum Humaniter tidak bergantung dari apakah suatu negara mengakui atau tidak bahwa diwilayahnya terjadi konflik bersenjata non-internasional, melainkan berdasarkan fakta dan praktik di lapangan.  Praktik internasional memperlihatkan bahwa keputusan untuk menggunakan pasukan militer dan senjata-senjata berat untuk membasmi kelompok bersenjata merupakan salah satu bukti intensitas permusuhan yang tinggi.

BACA JUGA : Tindak Pidana Perusakan Fasilitas RS, Apa Sikap IDI? (2)

Tindakan ini sekaligus memperlihatkan pengakuan negara bahwa kelompok bersenjata tersebut merupakan kelompok yang kuat dan solid sehingga perlu penanganan serius yang memerlukan keterlibatan militer. Di antara kerusuhan bersenjata yang pernah terjadi di Indonesia, konflik bersenjata di Aceh merupakan situasi yang paling mendekati terpenuhinya batasan minimum dari konflik bersenjata non-internasional.

Hal ini tidak terlepas dari cara Pemerintah Indonesia merespon pemberontak bersenjata di Aceh tersebut. Pemberlakukan daerah operasi militer (DOM) dalam periode yang cukup lama serta penyebutan istilah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai pemberontak bersenjata di Aceh menjadikan batasan minimum konflik bersenjata non-internasional terpenuhi.

Belajar dari kasus Aceh tersebut, Pemerintah Indonesia harus lebih berhati-hati dalam pemilihan cara dan metode penegakan hukum yang akan dilakukan untuk kasus KKB di Papua. Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan KKB jelas merupakan provokasi untuk memancing Pemerintah Indonesia menggunakan upaya kekerasan yang intensitasnya lebih tinggi.

Perubahan penyebutan istilah dari OPM menjadi KKB adalah salah satu langkah cerdas Pemerintah Indonesia untuk menghindari dibentuknya opini bahwa KKB merupakan sebuah kelompok pemberontak yang kuat dan terorganisir. Meskipun pernah berusaha mendeklarasikan kelompoknya sebagai sebuah Organisasi Papua Merdeka, pada kenyataannya sifat kekerasan bersenjata di Papua masih sporadis, tidak berada di bawah satu komando yang bertanggungjawab serta jauh dari sifat terorganisir.

BACA JUGA : Damage Control; Darurat Kematian Dokter dan Nakes Akibat Covid-19

Dengan demikian, Pemerintah Indonesia diharapkan tidak melakukan yang justru bisa membuat KKB tersebut lebih solid dan kuat juga tidak memberikan pernyataan apapun termasuk mengakui keberadaannya sebuah gerakan separatis.

Upaya menghindari tindakan kekerasan yang berlebihan dan menurunkan pasukan militer untuk memberantas KKB adalah merupakan tindakan cerdas lainnya untuk mencegah peningkatan eskalasi konflik bersenjata. Selain itu, tindakan kekerasan hanya akan menjadikan KKB semakin solid dan kuat karena rakyat Papua yang menjadi korban akan dengan mudah diprovokasi untuk bergabung memperkuat KKB tersebut.

Pemilihan langkah-langkah yang cerdas dan terukur dan berorientasi pada jalan damai dan bermartabat juga dapat dengan mudah merebut hati rakyat Papua. Mereka tidak akan mendukung KKB tersebut dan bersama-sama berjuang untuk mempertahankan persatuan NKRI.

Pilihan untuk menghindari cara kekerasan yang berlebihan apalagi serangan militer tidak dapat serta merta diartikan bahwa pasukan militer Indonesia lemah dan lunak terhadap KKB di Papua. Tindakan yang dilakukan oleh KKB jelas merupakan tindak pidana, tindakan teror, merampas hak hidup manusia, menimbulkan rasa tidak aman, bahkan mengancam keutuhan NKRI sehingga diperlukan tindakan tegas oleh Pemerintah Indonesia.

BACA JUGA : Tangani Pandemi Covid-19, IDI Kalsel Mencatat Sudah 13 Dokter Gugur

Namun, pemilihan cara-cara tegas yang persuasif dengan melihat akar permasalahan dalam konflik di Papua dan menghindari pendekatan kekerasan memperlihatkan kecerdasan bangsa ini dalam memahami strategi hukum perang dan belajar dari kesalahan masa lalu.

Pemahaman akan aturan Hukum Humaniter dan Hukum Internasional yang baik juga dapat menghindari Indonesia dari tindakan gegabah menggunakan kekuatan bersenjatanya yang nantinya hanya akan menjustifikasi bangsa lain untuk turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia. Sebagai negara yang besar dan berdaulat, tentu saja kita berharap Indonesia dapat menyelesaikan persoalan dalam negerinya sendiri tanpa menyisakan persoalan pelanggaran terhadap hukum internasional lainnya. (jejakrekam)

Penulis adalah Dokter Ahli Utama/Pembina Utama Madya

Wakil Ketua Komisi Etik dan Hukum RSDI Banjarbaru

Ceo dan Owner KLINIK UTAMA HALIM MEDIKA

Candidat Doktor Ilmu Hukum UNISSULA

Mediator Non Hakim Bersertifikat MA dan CLA

Anggota Kongres Advokat Indonesia KAI dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia IPHI

Ketua Bidang Advokasi Medikolegal PAPDI Cabang Kalsel. Anggata Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) dan Asosiasi Profesor Doktor Hukum Indonesia  (APDHI).

Anggota Perhimpunan Profesi Mediator Indonesia (PPHI)

Ketua Harian Perkumpulan Profesional Hypnotherapy Indonesia (PPHI) Pusat

Ceo dan owner PT RADJAGO APLIKASI INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.