LEMBAGA Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) kembali meluncurkan majalah Kandil edisi 3 ini bertajuk Kuliner Banjar (Refleksi di Ujung Lidah) di Rumah Alam Banjarmasin, Jalan Sungai Andai.
MENGHADIRKAN narasumber berkompeten, Husnul Athia, seorang akademisi dan penulis ini menyampaikan perspektif tentang kuliner Banjar berhubungan dengan tinjauan Lingustik-Antropologi.
“Dua aspek itu mempengaruhi kebudayaannya, nah ulun (saya) ingin berangkat dari situ dalam membahas kuliner Banjar. Jadi, ujaran secara lisan seseorang yang menyampaikan bahwa tidak menjadi beras itu memiliki tinjauan Lingustik-Antropologi,” kata Husnul Athiya kepada jejakrekam.com, Sabtu (18/9/2021).
Athiya menyebut, beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, khususnya urang Banjar. Secara tidak langsung, kata Athiya, masyarakat Banjar memiliki konsen yang serius terhadap makanan, terlebih ihwal beras yang memiliki peribahasa bahwa urang Banjar itu apapun pekerjaannya harus menghasilkan sesuatu.
“Dan apapun yang dihasilkannya itu, yang penting bisa dimakan. Artinya simbol beras yang dinarasikan urang Banjar dahulu memiliki nilai,” katanya.
Kemudian, Athiya menyinggung tahap kehidupan seseorang selalu memiliki sesi ‘beselamatan’ atau kenduri yang artinya tidak lepas dari sajian makanan. “Persis ketika saya melakukan 7 bulanan, ada prosesi beselamatan yang dihidangkan dengan beragam jenis menu makanan seperti 41 macam wadai,” ujarnya.
BACA : Diajari Bikin Website, Pelaku Usaha Kuliner Banjarmasin Dilatih Promosi Produk di Medsos
Menurutnya, makna dari makanan itu tidak hanya memberikan kebutuhan saja, tetapi memiliki muatan-muatan budaya seperti ritual. Kata Athiya, adalah nilai-nilai yang diwariskan oleh nenek moyang dahulu kepada masyarakat Banjar terkait makanan yang mengandung sisi filosofis, geografis dan antropologis.
Setelah membaca majalah Kandil ini, menurut Athiya, sangat kompleks ihwal makanan Banjar yang baik untuk direfleksikan buat generasi sekarang. Mengapa penting? Dia menegaskan bahwa prioritasnya adalah masyarakat Banjar itu sendiri yang memiliki kedudukannya saat ini, yang dapat menuliskan tradisi yang hampir luntur.
“Kalau menurut Alexander Buranti, kajian-kajian antropologi seperti ini. Kalau tidak ditulis yang hidup di kebudayaan itu, maka biasanya kurang karena tidak mengungkapkan sisi uniknya dan pengalaman itu,” jelas Athiya.
BACA JUGA : Masuki Fase Adaptasi Baru, Bisnis Kuliner Khas Banjar Mulai Bergairah
Bagi yang tinggal serta besar di tempat itu, Athiya menegaskan jika tulisannya sangat reflektif bagi pembaca karya-karyanya. Utamanya, di majalah Kandil. “Bagaimana urang Banjar mengolah cacapan. Seperti tulisan Kak Lina, misalnya membahas tentang iwak wadi, iwak samu, pakasam, mandai bahkan ada kambang tigarun. Ini sangat reflektif sekali.”
Sementara, majalah Kandil ini mengisi beberapa rubrik di antaranya, yaitu Palindangan berjudul Makanan Tradisional Banjar: Cerminan Identitas dan Kearifan Budaya, ditulis oleh Alfisyah. Sementara rubrik Anjungan, terdapat beberapa judul yaitu Basahang: Refleksi Lada Hitam pada Masakan Banjar (Arif Rahman Hakim), Hari Raya dan Makanan Lapat Supaya Rakat (Reja Fahlevi), Makan Batalam Bakipas Pangeran (Sandi Firly).
Kemudian, Lempeng Belayung (Noorhalis Madjid), Mencicipi Soto Banjar dan Membayangkan Sejarah (Mursalin), Wadi, Samu, dan Pakasam: Refleksi Ketangguhan Bangsa Perantau (Rakhmalina Bakhriati), Aroma Sahang dalam Citarasa Kuliner Banjar (Mansyur).
BACA JUGA : Pimpin APJI Kabupaten Banjar, Aulia : Bisnis Kuliner Semakin Menjanjikan
Selain itu, rubrik Bahabaran merupakan sebuah reportase aktivis LK3 tentang diskusi politik oligarki: boleh frustasi, putus asa tidak. Lalu, mengupas tentang berdayakan perempuan bersama LK3 dalam menggelar pelatihan Ecoprint, Borneo Braid, Warung Rukun: Populerkan Lempeng Balayung. Diakhir, rubrik Tajau sebagai ulasan mendalam yang ditulis oleh Sumasno Hadi berjudul: Makan, Pangkal Budaya dan Visi Gastronomi.
Direktur LK3, Abdani Solihin, menyampaikan dalam kegiatan peluncuran ini cuma ingin mengingatkan bahwa makanan Banjar sangat berkaitan dengan ekosistem, yaitu agama, mitologi dan kebudayaan.
“Memaknai kuliner Banjar ini sebagai ruang kesadaran dan mengingatkan bahwa tidak terlepas dari ekosistem, baik itu agama, mitologi maupun kebudayaan itu sendiri. Mengapa ekosistem, karena bahan-bahan yang dibuat dari kuliner Banjar ini. Terlahir dari sekitar kita,” ujar Abdani.
BACA JUGA : Sate Banjar, Riwayat dari Cita Rasa Kuliner Nusantara
Kata Abdani, kuliner-kuliner Banjar ini banyak yang lahir dari ajaran-ajaran agama. Dalam pemahaman urang Banjar, menurutnya tentang makanan adalah gala-gala iman. “Maksudnya, makanan itu terkait dengan iman. Yang membuat iman itu kuat, sumbernya dari makanan,” ungkapnya.
Terkait mitologinya, kata Abdani, banyak sekali jenis makanan yang dimitoskan. Seperti halnya kokoleh, ia melihat masyarakat Banjar harus menghidangkan menu jenis makanan ini untuk Beselamatan.
“Kalau terkait budaya, banyaklah. Peluncuran ini cuma mengingatkan bahwa kuliner Banjar dapat berhubungan dengan semua aspek,” ujar Abdani.
Ia berharap, kuliner Banjar ini dapat terpublikasi ke masyarakat umum, dan dapat bersaing ke luar sana. “Setidaknya, kuliner Banjar ini juga dapat bersaing di luar sana. Dibuat inovasi baru agar dikenal banyak orang, seperti halnya masakan Padang. Setelah kutelisik bahwa mereka menyesuaikan lidah Banjar, berbeda dengan masakan Padang yang aslinya,” pungkasnya.(jejakrekam)