Dalami Sejarah dan Kebudayaan Banjar, Wajidi Amberi ; Menulis untuk Keabadian

0

MENULIS untuk keabadian. Tak salah jika, Pramoedya Ananta Toer berkata: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

BAHKAN, sang sahabat utama Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib pun berujar: “Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak”.

Mungkin kata mutiara ini turut memotivasi seorang Wajidi Amberi. Peneliti Ahli Madya pada Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah  (Balitbangda) Provinsi Kalimantan Selatan tergolong penulis aktif produktif, khususnya dalam khazanah sejarah lokal, budaya serta keislaman di Kalimantan Selatan.

Tercatat, sudah 15 buku lahir dari olah pikir dan hasil riset mendalam yang dilakukan peraih magister pendidikan IPS Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dengan tesisnya; Nasionalisme dan Revolusi Indonesia di Kalimantan Selatan 1900-1950 (2017).

“Ya, kalau menulis buku saya sendiri hanya sekitar tujuh buku. Namun, kalau bersama teman atau tim, sekitar 15 buku,” ucap Wajidi kepada jejakrekam.com, Jumat (17/9/2021).

BACA : Aidan Sinaga, Patriotisme Putra Batak untuk Kemerdekaan Tanah Banjar

Ia mengakui dalam mengolah data, fakta serta referensi yang tersusun dan terangkai dalam kalimat demi kalimat setiap bukunya, semua melalui metode ilmiah. Maklum saja, pengalaman banyak berbicara. Wajidi mengawali karier sebagai staf Bidang Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Kalsel (1993-2001) hingga mengabdi sebagai peneliti di Balitbangda Provinsi Kalsel, sampai sekarang.

Sebut saja, beberapa karya Wajidi yang juga mengelola blog berisi sejarah dan budaya Banjar, Kalimantan Selatan http://bubuhanbanjar.wordpress.com, menjadi rujukan dalam membedah sisi-sisi yang belum tergarap.

Di antaranya, buku berjudul Peranan Pendidikan Islam Dalam Pergerakan Kebangsaan Di Kalimantan Selatan      Fasilitasi Penulisan Sejarah, terbitan Direktorat Sejarah Ditjen Kebudayaan Kemdikbud (2017). Kemudian, Revolusi Kemerdekaan di Kalimantan Selatan 1945-1949, Penerbit Ombak, Yogya, 2015.

Lalu, buku bergenre budaya seperti Akulturasi Budaya Banjar di Banua Halat, terbitan Pustaka Book Publisher, Yogyakarta (2011), Gerakan Tengkorak Putih Sebuah Kelompok gerilya di Kalimantan Selatan 1949-1950, rilisan Pustaka Book Publisher, Yogyakarta (2011),  Mozaik Sejarah dan Kebudayaan Kalimantan Selatan, Sebuah Catatan Ringan, Debut Press, Yogyakarta (2008), Glosarium Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode 1900-1950, Debut Press, Yogyakarta (2008).

BACA JUGA : Ejaan Nama Pahlawan Nasional Kalsel Banyak yang Keliru

Adapula, Artum Artha, Sastrawan, Wartawan dan Budayawan Kalimantan Selatan, Debut Press, Yogyakarta (2008), kemudian Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik, terbitan Pustaka Banua, Banjarmasin pada 2007 dan 2013. Hingga, pada 2020, diterbitkan kembali oleh Graha Cendekia Yogyakarta dengan judul yang sama.

Buku berjudul Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942 Pustaka Banua, Banjarmasin edisi 2007 dan 2013, kemudian diterbitkan kembali dengan judul yang sama oleh Graha Cendekia Yogyakarta.

Karya peneliti sejarah ini belum lagi dalam bentuk makalah dalam seminar atau kajian ilmiah. Sebut saja, pada “Seminar Nasional Kepahlawanan Abdoel Moeis Hassan”, Selasa (25/6/2019) di Samarinda. Hingga pendapatnya pun menjadi salah satu rujukan dalam menentukan gelar pahlawan bagi para pejuang. Semua itu tentu didasari dari riset mendalam seorang Wajidi.

“Sebenarnya, minat sejarah dan kebudayaan Banjar sangat tinggi di masyarakat Kalimantan Selatan. Memang di era digital seperti sekarang, sumber bacaan tak lagi terpusat pada buku atau cetakan. Makanya, saya minta kepada para penerbit akan buku-buku yang telah terbit dibuat PDF, agar bisa dibagi. Semoga bermanfaat. Kalau bicara benefit (keuntungan) memang tak seberapa, semoga itu menjadi amal jariyah bagi kita,” tutur  penerima Anugerah Budaya dari Gubernur Kalimantan Selatan, tahun 2013 dan Anugerah Astaprana dari dari Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu’tashim Billah pada 2014 ini.

BACA JUGA : Musyawaratutthalibin, Ruh Perjuangan Organisasi Islam Terbesar di Tanah Kalimantan

Tak mengherankan, jika Wajidi pun kerap dipanggil untuk menjadi tim peneliti, penyusun buku hingga narasumber tak hanya di Kalimantan Selatan, tapi juga melebar ke Pontianak, Kalimantan Barat. Bersama tim, tak terhitung buku yang telah dihasilkannya.

Sebut saja, buku berjudul Pangeran Hidayatullah Perjuangan Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin, Peranan Qadhi Abdusshamad Dalam Penyebaran Islam Pada Masyarakat Dayak Bakumpai Barito Kuala, hingga Model Arsitektur Keraton Banjar di Teluk Selong Ulu, Martapura, serta Urang Banjar dan Kebudayaannya. Wajidi pun juga mengirim artikel ilmiah, semi ilmiah atau opini yang terbit di berbagai media.

Dus, Wajidi pun memegang prinsip menulis untuk keabadian. Walhasil, buku karya Wajidi pun menjadi koleksi Perpustakaan Kongres Amerika Serikat. Sebuah hal yang patut dibanggakan bagi seorang putra kelahiran Pagat Hulu Sungai Tengah, 15 Januari 1969 ini.(jejakrekam)

Penulis Rahim/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.