Meluncur di Atas Karpet Merah, Cara Bius Batara Main Balogo di Malam Hari
BENTANGKAN karpet merah. Bermain di malam hari saat lalu lintas sepi. Ini yang dilakoni warga Alalak Utara RT 07, Banjarmasin Utara agar tetap bisa mengasah kemampuan bermain logo.
PERMAINAN tradisional ini tak hanya digandrungi anak-anak. Dari kalangan remaja, orang dewasa hingga sudah kakek-kakek pun ikut bermain. Prestasi pun sempat direngkuh kelompok pemain balogo bernama Bius Batara.
Terbukti, pernah mewakili Kalimantan Selatan dalam Festival Olahraga Rekreasi Masyarakat Nasional (Fornas) V 2019 di Samarinda, dihelat sejak 13-17 November 2019 di Komplek Stadion Madya Sempaja Samarinda. Usai menjadi salah satu juara di Fornas IV pada 20-24 Oktober 2017 di Banjarmasin. Ini belum lagi, pertandingan antar kampung yang juga dimenangkan mereka.
Logo yang dibuat dari tempurung kelapa berbentuk piramida mini atau lambang love, tampak meluncur deras ketika dipukul dengan penapak atau campa.
“Karena bentuknya seperti logo, makanya dinamakan logo. Kami sengaja memasang karpet merah, agar menjadi lapangan. Kalau di atas aspal jalan, tak ada garis mati atau garis tegas,” ucap Yamani, pembina Bius Batara kepada jejakrekam.com, Rabu (8/9/2021) malam.
BACA : Lagi, Banjarmasin Punya Kampung Bermain di Gang Pembina II Komplek Rahayu
Di bawah penerangan lampu jalan, Yamani dan kawan-kawan tampak cekatan bermain logo. Sebuah permainan yang sedari kecil dengan akrab dengan dirinya. Bahkan, para sepuh pun turut bermain. Hingga generasi teranyar.
“Kami latihan tiap malam, kalau terkumpul orangnya. Aturan main sudah jelas, bagi yang tidak sampai pada garis batas, maka dianggap mati. Begitu jua keluar dari luasan karpet merah, tak boleh bermain. Dalam satu permainan, bisa terdiri dari tiga hingga empat pemain,” kata Yamani.
Untuk ukuran ‘undas’ 82 dibuat dari tempurung yang di-press atau ditekan dengan alat pengepres dari tambal ban dalam. Sebelumnya, tempurung yang dibentuk logo itu dipanasi di atas api. Begitu lentur, baru ditekan kuat. “Paling satu jam, sudah rata tak lagi melengkung,” kata Yamani.
Ternyata, latihan hampir tiap malam ini dipersiapkan Yamani dan kawan-kawan untuk menyongsong lomba balogo di Lok Baintan, Sungai Tabuk. Menurut Yamani, beberapa pemain andalan dari Bius Batara telah dipersiapkan.
“Ya, belajar dari pengalaman dari Samarinda dan Batulicin (Tanah Bumbu), kami sudah terasah. Saat di Samarinda lalu, memang logo undas kecil, karena biasa besar, makanya kami terlambat beradaptasi,” kata Ujang, sapaan akrabnya.
BACA JUGA : Mengangkat Kembali Semangat Sportivitas Balogo yang Mulai Dilupakan
Bidikan dari undas yang meluncur dari penapak terbuat dari bambu setinggi 40 centimeter dan lebar 2 centimeter, tampak cukup tepat. Beberapa kali, para pemain bisa meruntuhkan logo yang dipasang tiga baris. Mereka yang banyak merobohkan logo, menjadi pemenang.
“Memang, permainan logo ini warisan orangtua dulu. Cukup lama tak bermain, puluhan tahun. Makanya, kami ajarkan kepada anak-anak agar bisa melestarikan permainan tradisional di tengah game di handphone yang menjamur,” beber Ujang.
Meski sebelumnya ditetapkan sebagai kampung bermain oleh Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, beberapa waktu lalu, Yamani mengatakan sebenarnya balogo bukan hanya permainan tapi juga ajang silaturahmi. Termasuk, mengajarkan kejujuran atau sportivitas.
Walhasil, karpet merah sepanjang 50 meter dan lebar 2 meter menjadi lapangan adu gengsi. Selama pandemi Covid-19, Yamani mengatakan permainan balogo kebanyakan dimainkan pada malam hari saat sepi. “Kalau siang, banyak orang. Lagian para pemain juga bekerja. Setidaknya dengan balogo, kita bisa melestarikan permainan tempo dulu yang mungkin sudah dilupakan generasi sekarang,” pungkasnya.(jejakrekam)