KOALISI Peduli HIV/AIDS Kalimantan Selatan yang tergabung dalam komunitas dan organisasi KP Borneo Plus, IPPI, LKKNU, Narasi Perempuan, IWATALA, OPSI, ASA Borneo ini menggelar acara workshop.
BERTAJUK ‘Pemetaan Stakeholder dan Membangun Rencana Kerja Advokasi Pendanaan Domestik Kota Banjarmasin,’ acara digelar di hotel Rattan Inn, Senin 30 Agustus 2021 hingga Rabu 1 September 2021.
Kegiatan ini juga menghadirkan dua narasumber, yakni Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Raditya dan Koordinator Koalisi HIV/AIDS Kalimantan Selatan, Faizah. Mereka membahas soal advokasi, program hingga anggaran terkait pendanaan secara mandiri bagi korban penderita HIV/AIDS di kota berjuluk seribu sungai tersebut.
“Workshop ini bertujuan untuk mendorong para kawan-kawan secara mandiri agar dapat berkegiatan dalam mengadvokasi, baik itu terkait anggaran dan program, serta peningkatakan layanan kesehatan lebih baik,” ucap Direktur Eksekutif Rumah Cemara, Raditya kepada Jejakrekam.com, pada Rabu (1/9/2021) sore.
Artinya, kata Raditya, kehadiran mereka dalam memberikan materi pada hari ini demi menghidupkan sistem keorganisasian kawan-kawan pegiat HIV/AIDS di Kota Banjarmasin. “Mungkin, kita nanti ke depannya sudah tidak berterusan mendorong mereka dalam kegiatan. Soalnya, kalau berterusan dukungan ini, seperti satu ketergantungan yang tidak sehat lagi dalam berkegiatan. Sehingga tidak dapat berkreasi dan berinovasi,” ujarnya.
Menurutnya, secara keseluruhan bahwa mereka para pegiat HIV/AIDS yang bekerja dalam acara ini. Mulai dari menentukan langkah-langkah, hingga mengambil menetapkan pilihan dalam suatu keputusan. “Merekalah yang bikin goals dalam setiap langkah yang disusunnya,” kata Raditya.
BACA: Ada 80 Warga Sudah Kena HIV/AIDS, DPRD HSS Rancang Perda Pencegahan
Sementara, Koordinator Koalisi HIV/AIDS Kalimantan Selatan, Faizah menyampaikan dalam RPJMD 2016-2021 itu pihaknya hanya menemukan kasus HIV/AIDS ditahun 2012 dan 2014, yang berjumlah 15 orang saja. “Itupun bertentang dengan data kita di lapangan, sedangkan data ditahun 2016-2017 tidak ada datanya. Berati dinas terkait tidak pernah mengupdate data, sehingga dianggap tidak ada kasus. Maka alokasi anggaran ditiadakan untuk penanggulangan kasus HIV/AIDS ini,” jelasnya.
Selama pandemi, menurut Faizah, pihak pemerintah seperti menutup mata dengan kasus isu tentang HIV/AIDS di masyarakat. Mulanya, kata dia, selama setahun belakangan pihaknya membentuk koalisi yang memang konsen dibidang isu HIV/AIDS ini.
“Sehingga selama setahun itu, kami mencoba riset dan meneliti dengan data-data pemerintah yang dishare ke publik, lalu mencocokkan dengan data di lapangan,” ungkap Faizah.
Dia merasa, ada pergeseran yang sangat jauh dalam perbandingan dengan program pemerintah selama ini. Faizah menyebut, pihaknya cuma menemukan satu kegiatan saja yang berhubungan dengan pengecekan dan pengobatan. “Tetapi dengan teman-teman yang beresiko, ada tim penjangkau dan pendamping. Merasa kesulitan,” ujarnya.
Ihwal terapi, kata Faizah, para odha selalu melakukan pengecekan dan pengobatan, selama terapi apakah berfungsi atau tidak? “Jenisnya ada tes CD4. Tes itu menghitung jumlah virus yang ada didalam tubuhnya,” bebernya.
Sebagai odha, kata Faizah, sebaiknya para pasien melakukan pengecekan dan pengobatan selama 6 bulan sekali. “Tetapi di Kota Banjarmasin, dijanjikan ada pengecekan CD4 dan ternyata tidak terealisasikan,” tandasnya.(jejakrekam)