Sarip & “Ladurie” dari Timur Borneo

0

OLEH: Mansyur

Senja di Kampus ULM Kayutangi, Banjarmasin. Sambil menikmati untaian kalimat dalam “Carnival in Roman”-nya Emmanuel Le Roy Ladurie, datang paket khusus. Isinya buku Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635, karya sahabat dari Bumi Etam, Muhammad Sarip (MS) Muhammad Sarip. Bercover putih nan lumayan apik, isinya pun menarik.

SEJENAK buku Ladurie kukesampingkan. Tertarik menelaah karya anyar MS. Deskripsi yang elok muncul ketika memotret si buku putih. Membuka ruang ingatan ketika kanvas lukisan baru tentang interpretasi historis Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Kerajaan yang menjadi titik sentral Nusantara memasuki masa sejarah dengan pertama kalinya ada tulisan di prasasti Yupa. Peninggalan Kerajaan Kutai.

Angle indah untuk dipotret, dan dibedah dengan pisau analisis metodologis. Membaca buku ini membawa memori ke masa lalu, yang tidak selamanya bisa dilihat dari kacamata kuda di zaman kekinian.

Dalam pemaparan fakta sang penulis, MS mirip interpretasi simboliknya Emmanuel Le Roy Ladurie, pentolan Mahzab Annals Perancis, Abad 20. Banyak realisme simbolik menjiwai.

Bukan hanya faktor bahasa sebagai struktur real simbolik secara independen di luar kesadaran, pemikiran, dan ucapan seseorang. Akan tetapi penggunaan naskah (bahasa) sebagai realitas yang simbolik mengandung berbagai strata yang otonom tapi realistis.

Bahwa dinamika sejarah kutai dalam buku ini menjadi reproduksi dan transformasi produk dari interaksi sejarah sosial yang ada dalam konteks sosial dengan pemahaman secara simbolik atau bahasa.

BACA JUGA: Komunitas Begaya Gali dan Belajar Sejarah Kerajaan Banjar

Hal utama keberadaan buku ini menjadi cara bertahan hidup di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, melalui penegasan dan penguatan kembali identitas “primordial”. Hal ini yang direalisasi secara tersirat, bahwa dengan menuliskan sejarah lokal memberi kesadaran transendental tentang makna hidup.

Bukan semata-mata menghimpun kembali pengalaman individu dan kolektif masa lalu di Kutai yang penuh kebanggaan dan kejayaan. Juga bukan hanya memupuk jati diri berlebihan, serta bukan untuk membuat dinding-dinding pembatas baru dalam berhadapan dengan yang lain. Sang Penulis, MS berupaya mencari akar budaya dan sejarah sebagai dasar pijakan melangkah.

Menariknya, bagi MS memaknai lokal pun tidak statis dan tunggal tetapi berubah sesuai konteks zaman. Oleh karena itu, penulisan sejarah lokal, seperti penulisan unit sejarah lainnya, dihadapkan bukan hanya persoalan kepastian historis yang menuntut tersedianya sumber lengkap dan valid. Tetapi juga persoalan penjelasan sejarah yang menuntut pendekatan multidimensional.

Tentunya dengan kerangka teoritik dan metodologi relevan. Selain persoalan kepastian dan pemaknaan historis, penulisan sejarah lokal juga dihadapkan pada unsur kewajaran sejarah (fairness) yang bersifat non-akademik.

BACA JUGA: Di Era Sultan Suriansyah, Kerajaan Banjar Mulai Terapkan Hukum Islam

Berbagai kepentingan, orientasi filosofis, prasangka ideologis, seringkali menyelinap dengan sengaja ke dalam proses penulisan Kerajaan Martapura ala MS. Dengan mengesampingkan persoalan ini, penulisan sejarah lokal tetap bertumpu pada prinsip-prinsip teori dan metodologi sejarah nan kritis.

Tujuannya, dapat memberi kontribusi positif bagi pengembangan penulisan sejarah nasional bercorak indonesiasentrisme.

Sosok MS dengan jeli menyisipkan “jawaban” dalam karya untuk menjawab tuntutan perkembangan interpretasi. Bahwa penulisan sejarah lokal tidak cukup hanya dilakukan dengan pendekatan deskripti-naratif, tetapi perlu menggunakan pendekatan kritis.

Paling tidak secara global memberikan “bukti” bahwa corak penulisan sejarah lokal yang hanya memberi jawaban atas pertanyaan pertanyaan elementer yang sifatnya kronik kurang memadai. Bahkan tidak relevan lagi bagi kepentingan penelitian sejarah era kekinian.

Keberadaan buku ini juga menjadi cerminan. Bahwa sejarah bukan sekedar bercerita hal-hal yang elementer. Meskipun ini penting untuk memperoleh kepastian historis, tetapi juga dapat menerangkan hubungan sebab-akibat dan faktor-faktor struktural lainnya yang turut menentukan jalan sejarah lokal.

BACA JUGA: Nansarunai; Kerajaan Dayak Maanyan yang Merupakan Leluhur Urang Banjar

Namun, terbatasnya sumber sejarah lokal yang umumnya berupa tradisi lisan menyulitkan penulisan sejarah lokal secara kritis. Tradisi lisan lebih banyak menginformasikan mentifact daripada sociofact dan artifact. Akibatnya, aspek-aspek prosesual dan struktural sulit dilacak.

Walaupun demikian, sekali lagi sang penulis, MS memberikan jawaban bahwa bahan tertulis berbentuk naskah juga dapat menjadi sumber. Walaupun pada sisi lain muncul hambatan ketika keterbatasan kemampuan memahami isinya. Naskah yang ditulis dalam bahasa daerah atau huruf non-latin yang belum diakrabi sejarawan penulis sejarah lokal.

Tersirat bahwa penulisan sejarah lokal Kutai masih dibayang-bayangi sejarah nasional. Sejarah lokal yang hanya dilihat dari singgasana kekuasaan pusat kurang berhasil merepresentasikan dinamika lokal yang sesungguhnya. Maka ketika ia dianggap tidak bermakna secara nasional, atau bahkan bertentangan dengan visi penguasa.

Narasi-narasi lokal dengan mudah disingkirkan. Sejarah lokal sesungguhnya dapat menjadi penyeimbang historiografi nasional yang kadang-kadang sangat elitis dan bias kepentingan rezim berkuasa. Sejarah lokal sesungguhnya dapat menjadi sarana mengoreksi hubungan nasional-lokal yang hegemonik dan subordinatif.

Paling tidak gambaran sejarah lokal yang selama ini hanya dapat diungkap secara terbatas, samar-samar dan terpenggal-penggal, menemukan titik terang. Semoga buku Kerajaan Martapura Dalam Literasi Sejarah Kutai 400-1635 karya MS menjadi karya yang tidak elitis. Tetapi coretan pena ini menjadi cermin bahwa penulisan sejarah lokal tidak akan terjebak dua kali ke dalam kungkungan mitos dan ingatan.

Semoga penulisan sejarah lokal ala MS “Ladurie dari Timur Borneo”, yang dihadapkan pada realita unsur kewajaran sejarah (fairness) non-akademik, bisa menawarkan kearifan dan harmoni masa lalu yang bisa dipentaskan di era kekinian. (jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.