Pesawat Pertama di Langit Borneo; Caudron dan Ambisi Poulet Terbangi Dua Benua (2-Habis)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

PESAWAT udara Caudron G-3 dengan pilot dari Prancis, Etienne Poulet mendarat pertama kalinya di Bumi Antasari. Bak cerita epik yang membuat semua orang Banjar takjub. Inilah saksi bisu penerbangan pertama sebuah pesawat udara yang derunya membelah angkasa yang di bawahnya terhampar belantara Borneo (Kalimantan). Bagaimana cerita pesawat Pesawat Caudron G-3 ini dan ambisi poulet seberangi benua?

THE Caudron G-3 adalah satu dari pesawat bermesin Prancis biplane diproduksi Pabrikan Caudron. Banyak digunakan dalam Perang Dunia I sebagai pesawat pengintai dan latihan. Caudron G-3 dirancang oleh René dan Gaston Caudron sebagai pengembangan dari Caudron G-2 yang sebelumnya untuk penggunaan militer.

Pesawat ini pertama kali melakukan penerbangan pada Mei 1914 di Aerodrome Le Crotoy, Perancis. Pesawat ini lalu dipesan dalam jumlah besar setelah pecahnya Perang Dunia Pertama. Pabrikan pesawat Caudron pada era itu memproduksi sekitar 1.423 unit dari keseluruhan yakni 2.450 unit pesawat yang dibuat di Prancis.

Sementara itu, penerbang Etienne Douard Poulet adalah pelopor penerbangan Prancis. Poulet lahir pada 10 Juni 1890 di Château d’Isenghien Lomme, Perancis. Tienne Poulet menerima sertifikat pilotnya pada 12 Januari 1912 di Aéro-club de France. Dari tahun 1913, dia mengejutkan pers nasional, ketika beratraksi dengan terbang “terbalik”, yang hanya bisa dilakukan oleh dua pilot di eranya, menurut koran Le Figaro, 4 Oktober 1913. 

BACA : Pesawat Pertama Di Langit Borneo ; Poulet, Penerbang Prancis Di Sungai Tabuk (1)

Setelah beberapa kali mencoba, pada 8 April 1914, ia terbang dengan pesawat selama 12 jam berturut-turut. Antara wilayah Étampes dan Gidy. Berikutnya memecahkan rekor dunia untuk waktu penerbangan non-stop, dengan waktu 16 jam 28 menit dan 56 detik (atau 936,8 km) pada 26 April 1914. Rekor sebelumnya dipegang Alsatian Karl Ingold dari Jerman. 

Sebelumnya Ingold pada 7 Februari 1914 menarbangkan pesawat selama 16 jam 20 menit. Tienne Poulet juga memegang rekor menerbangkan pesawat dengan ketinggian, mengangkut dua dan tiga penumpang.

Tepatnya, pada Mei 1915, penerbang Prancis Etienne Poulet memecahkan rekor ketinggian dengan 3 penumpang, mencapai ketinggian 5.850 m (19.226 kaki). Caudron adalah salah satu dari sedikit pesawat bermesin ganda yang dapat terbang walaupun satu mesin berhenti/mati. Dengan dua mesin dan area sayap yang besar, memiliki tenaga yang cukup untuk memecahkan rekor ketinggian. Hal ini membuatnya menjadi penerima penghargaan Legion of Honor.

Poullet juga berambisi mengadakan penerbangan antar benua Eropa ke Benua Australis, yakni dari Paris-Melbourne. Setelah Perang Dunia Pertama berakhir, ia mencoba menghubungkan penerbangan Paris ke Melbourne, Australia, dengan pesawat Caudron. Ia lepas landas dari Villacoublay pada 14 Oktober 1919, bersama dengan mekanik dan temannya Jean Benoist. Penerbangan di mana ia bersaing memperebutkan eksistensi dengan penerbang lain, dipublikasikan di banyak media.

BACA JUGA : Tragedi Ulin dan Haga Case; Jejak Genosida di Selatan Borneo

Tiga hari kemudian pada 17 Desember, Surat Kabar La Croix melaporkan bahwa pesawat yang dipilotinya mendarat darurat di Rangoon karena mengalami kerusakan teknis. Tienne Poulet dianggap gagal karena masalah mekanis. Saat terbang di atas Burma (Siam), kawanan burung hering menabrak baling-baling pesawat dan karena kendala angin. Demikian dilaporkan media Le Figaro, pada 19 Desember.

Karena itulah Poulet berencana pulang ke Prancis. Kepulangannya diumumkan melalui telegram di 28 Januari 1920, dengan menumpang Kapal Laut Gloucestershire, menuju Pelabuhan Marseille. Ini sebenarnya kesalahan, karena adanya kebingungan (kemiripan) nama pada telegram. Padahal sebenarnya sang penerbang masih di Rangoon. Hingga bulan Juni 1920, Poulet masih di sana, dalam rangka serah terima pesawat baru untuk melanjutkan perjalanannya ke Australia.

BACA JUGA : Jejak Kampung Amerong, Perkampungan Elit Eropa di Banjarmasin

Pada 8 September 1920, Surat Kabar Le Gaulois dalam artikel ringkas menuliskan “kami diberitahu dari Djojakarta (Jawa) bahwa penerbang Poulet, setelah memperbaiki pesawatnya, baru saja berangkat untuk menyelesaikan penerbangan Paris-Melbourne (Australia). Sebelumnya, pada bulan Desember tahun yang sama ia terbang di atas Pulau Kalimantan/Borneo. Dari artikel inilah yang memberikan informasi tambahan bahwa penerbang Perancis ini menyinggahi wilayah Banjarmasin, sebelum akhirnya melanjutkan penerbangan ke Sumatera, Jawa dan Australia.

Poulet sempat tinggal beberapa tahun di Asia. Pada tahun 1924, selama konflik di Cina, dia tinggal di Moukden (Shenyang). Rencananya ia akan menjadi instruktur angkatan udara di bawah arahan Panglima Zhang Zuolin. Kemudian Tienne Poulet tinggal selama bertahun-tahun di Indochina yang berada dalam hegemoni Prancis (Saigon, Hanoi, Phnom-Penh), di mana ia sering melakukan demonstrasi udara.

Poulet kembali ke Perancis setelah perang Indochina berakhir. Dia meninggal pada 9 September 1960 di Paris. Pada Oktober 2018, Pemerintah Perancis memutuskan untuk memberi penghormatan kepadanya dengan membuat jalan atas nama Poulet dalam rangkaian proyek pembangunan perkotaan di area Rue de Lompret. (jejakrekam/disarikan dari berbagai sumber)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.