Paman Perusak atau Penguat Demokrasi?

0

Oleh : Dr Martadani Noor, MA

DIKSI Paman dalam masyarakat Banjar khususnya dan masyarakat pada umumnya merupakan  sebutan kata ganti orang kekerabatan seperti Acil, Tante, Julak, Om, Kakek atau Nenek.

DIKSI-diksi tersebut menandai ungkapan norma penghormatan, kewibaaan, penghargaan bahkan memuliakan. Dalam perkembangan sosial kultural, diksi-diksi tersebut tidak lagi semata-mata merujuk hubungan keturunan tetapi pemakaiannya melampaui garis keturunan. Sehingga objek diksi Paman misalnya,  bisa ditujukan kepada  siapapun untuk melekatkan penghormatan, penghargaan bahkan memuliakan kepada siapapun.

Dalam ruang publik Pilgub Kalsel diksi Paman sangat dominan,  baik pada persepsi maupun  perilaku sosial politik. Bahkan diksi Paman tak dinyata terseret  dalam proses sengketa Pilgub peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan berujung pada kesimpulan pelanggaran hukum. Ikutan diksi Paman tidak bisa dihindari dalam wacana proses keputusan pelanggaran hukum dalam Pilgub Kalsel tersebut.

Dalam berbagai pembuktian masa persidangan di MK, diksi Paman menjadi ikutan negatif yang signifikan, sebagaimana berujung putusan hakim MK yang membatalkan lebih dari 266.000 suara pemilih. 

Dalam konteks uraian di atas, pertanyaannya, Bagaimana kebaikan bahkan keburukan diksi Paman yang menjadi norma baru khususnya pada masyarakat Kalsel? Apakah norma baru tersebut memiliki kontribusi  terhadap  demokrasi lokal di Kalsel?  

BACA : Dukung Paman Birin, Mulai Ketum KKB Bakumpai, CEO Barito Putera, Guru Wildan hingga Munsyib Bahasyim

Berger dan luckmann (1966;1991) menyebutkan formula tifipikasi  (tipyfication) untuk menjelaskan adanya keunikan perilaku sosial melalui pemaknaan individu-individu terhadap segala sesuatu di luar dirinya sehingga menjadi kumpulan pengetahuan yang mendasari perilaku sosialnya sebagai suatu tifipikasi bagi individu lainnya.

Oleh karena itu kehidupan sehari-hari merupakan keragaman tifipikasi, baik dalam bentuk perilaku sosial positif maupun negatif hingga pada gilirannya membentuk struktur sosial ( kelompok sosial ) yang memiliki pembekuan norma sosial yaitu standar nilai kebaikan, dan keburukan perilaku sosial.   

Dalam pandangan teoritik sosiologi tersebut, diksi Paman diletakan sebagai tifipikasi yang menunjukan keunikan, memasuki ruang perilaku politik dari yang sebelumnya hanya ruang sosial kekerabatan. Keunikan karena diksi Paman tidak semata penyebutan hubungan sosial kekerabatan tetapi,  mengalami keajegkan perilaku politik yang mengeras menjadi norma sebagai pedoman masyarakat berpikit dan berperilaku dalam ruang politik lokal.

Dalam ruang publik pada masa Pilgub, secara akademik bahwa diksi Paman menjadi  norma politik yang transaksional, baik dalam persepsi maupun perilaku sosial. Sebagai norma politik bak arena yang pada satu sisi menyeret sebagian masyarakat ke dalam pembenaran perilaku sosial yang berbentuk kerja sama, solidaritas, bermanfaat, saling menguntungkan bahkan menjadi identitas politik superior.

BACA JUGA : Izin Tambang Era SBY Terbesar, Paman Birin Justru Cabut 619 Izin Usaha Pertambangan

Namun, pada sisi lain mengecualikan sebagian masyarakat yang menolak atau berseberangan dengan arena itu yang beridentitas politik imperior. Sehingga norma politik tersebut bagai sekat yang menghadapkan dua kelompok masyarakat.

Oleh karenanya diksi Paman menjadi ruang konflik politik baru pada masyarakat yang berujung kekerasan verbal, intimidasi bahkan kekerasan fisik. Apabila diksi Paman demikian menjadi norma maka tentu, memuat nilai-nilai dan logika menyesatkan dalam demokrasi sebagai jebakan pembenaran dalam demokrasi. 

Argumentasi akademik tersebut menjelaskan bahwa pada satu sisi diksi Paman dalam Pilgub Kalsel merupakan penyimpangan norma kehormatan, kewibaaan dan kemuliaan hubungan sosial dan menunjukan norma pembenaran atas pelanggaran etik, kesetaraan dan akal sehat dalam demokrasi.

Pada sisi lain, diksi Paman merupakan penguatan partisipasi hubungan sosial dalam Pilgub Kalsel atas dasar pertukaran material, rasional ekonomi dengan etik materialistik yang dibawa oleh aktor demokrasi transaksional.

Pada gilirannya, apakah diksi Paman sebagai perusak atau penguatan demokrasi tergantung kepada sejauhmana norma politik transaksional materialistik tersebut ditolak atau diterima oleh masyarakat Kalsel yang tercermin dari hasil akhir Pilgub Kalsel.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi Kelahiran Kalsel & Berdomilisi di Yogyakarta.

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.