Gambar Idoep; Kisah Urang Banjar Mengenal Film (1)

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

PADA era Hindia Belanda sejak tahun 1900-an, Banjarmasin muncul sebagai kota besar. Merupakan kota yang terbuka bagi kontak budaya asing.

PENGARUH budaya asing terlihat dengan adanya Societeit de Kapel tempat dansa orang Eropa, perayaan tahun baru dan Bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pesta dan keseharian bagi kaum terpelajar dan golongan atas.

Demikian juga nampak dari adanya gereja katolik, gereja protestan, bank-bank, perusahaan dagang orang-orang Barat. Selain itu fenomena menarik adalah Urang Banjar pada tahun 1926 an ternyata sudah mengenal film yang dilabeli dengan nama “gambar idoep”.

Dalam baboon Sejarah Banjar (2003) tertulis bahwa sejak tahun 1926, film bisu atau “gambar idoep” dan alat gramofon (pemutar lagu dengan piringan hitam) telah menjadi sarana budaya masyarakat Kota Banjarmasin. Dalam perkembangannya, barulah tahun 1935 gambar idoep itu memasuki wilayah perdesaan. Itupun baru dapat dinikmati orang berada di desa.

BACA : Cerita Bioskop Ratna dan Pasar Blauran, Kenangan Tersisa Warga Banjarmasin

Senada dikemukakan Haris Jauhari (1992) dalam Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Menurut Haris, perkembangan film pada periode 1900 hingga 1942 dikenal juga dengan nama fase layar membentang. Periode ini dimulai dari tahun 1903, saat itu bioskop lebih dikenal dengan istilah “gambar idoep” yang menayangkan berbagai film bisu (karena minimnya teknologi yang tersedia saat itu). Harga tiket pun hanya dapat dijangkau kalangan menengah ke atas.

Hiburan filem bisu (gambar idoep) tidak terlepas dari keberadaan beberapa bioskop di Kota (Gemeente) Banjarmasin maupun di wilayah lainnya di Borneo bagian selatan. Dari sisi industri, industri bioskop saat itu sangat fluktuatif karena dua alasan besar. Teknologi yang masih minim dan berbagai gonjang-ganjing politik yang terjadi.

Suasana Bioskop Mawar yang berada di pusat kota Banjarmasin.

Bioskop saat itu dianggap sebagai bisnis yang mahal dan ekslusif dan masih kurang populer ketimbang pertunjukan tradisional lain. Baru pada pertengahan dekade 1910-an bioskop lebih leluasa dalam bergerak setelah mendapatkan ijin formal dari pemerintahan Hindia-Belanda.

BACA JUGA : Menepi Digilas Zaman, Kilau Pasar Kong yang Terus Memudar

Perkembangan pesat bioskop -pasca mendapat izin formal- membawa bioskop terpola ke dalam dua kelas. Terdapat kelas atas yang berisikan kaum Eropa dan golongan pamongpraja lokal yang borjuis. Kemudian kelas bawah yang berisikan rakyat jelata yang tentu sangat bohemian dan kumuh. Perkembangan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pesat teknologi perbioskopan dengan ditemukannya teknologi suara yang menjadikan bioskop hiburan yang sangat menarik.

Film-film yang diputar di dalam bioskop di Banjarmasin era itu (tahun 1926), adalah film gagu alias bisu atau tanpa suara. Setahun sebelum gambar idoep dikenal warga Banjarmasin, pada tahun 1925, sebenarnya film produksi terbaru Hollywood pun sudah diputar di bioskop Hindia Belanda, bahkan lebih dahulu dari Negeri Belanda.

Sepanjang tahun 1920-1930an, memang sudah terdapat film-film yang masuk ke Hindia Belanda berasal dari Amerika (Hollywood), Eropa (Belanda, Perancis dan Jerman), dan China (Legenda Tiongkok Klasik). Biasanya pemutaran film diiringi musik orkes, yang ternyata jarang “nyambung” dengan film.

BACA JUGA : Sepenggal Cerita Gang Penatu yang Masih Tersisa

Beberapa film luar negeri yang kala itu yang menjadi favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, Max Linder, Arsene Lupin, dan lainnya

Berdasar perbandingan referensi, terdapat film yang menjadi primadona di Banjarmasin tahun 1926 an berupa film lokal. Kebetulan pada era itu terdapat film lokal (Indonesia) pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang.

Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi. Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi NV Java Film Company.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Pencarian populer:do a urang banjar

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.