‘Bawa Batanang Dahulu’

0

(Membaca Pesan Milad ke-516 Kesultanan Banjar)

Oleh :  Nasrullah

SAYA menemukan banyak postingan di media sosial berupa foto-foto para peraih anugerah kesultanan Banjar kepada akademisi, seniman, dan lain sebagainya. Sehingga, disadari atau tidak, kegiatan milad kesultanan yang dilakukan pasca Pemilihan Suara Ulang (PSU) ini telah memberikan tiupan segar di ubun-ubun publik dari ketegangan sejak rangkaian Pilkada hingga PSU Walikota dan Gubernur Kalsel serta pasca PSU.

MAKA momentum Milad akan terasa bermakna jika dikaitkan dengan situasi tertentu seperti ketika masyarakat terbagi dalam kelompok pendukung masing-masing pasangan calon (paslon). Artinya, keberadaan institusi kepemimpinan yang berorientasi kultural atau non goverment, bisa menjadi penghalat (penjaga jarak) untuk mencegah terjadinya gesekan sosial baik laten atau nyata di kalangan masyarakat hingga elit. Tanpa hal tersebut, milad Kesultanan hanya menjadi acara tahunan belaka

PSU, Lalu Milad

Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin Milad Kesultanan Banjar yang berusia 516 tahun memiliki koneksitas dengan situasi pasca PSU terutama even pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan.

Pertama, dilihat pada pelaksanaan milad hanya berselang beberapa hari dengan PSU itu sendiri. Saya meyakini agenda PSU tidak ada hubungannya dengan momentum milad. Artinya mereka memiliki agenda masing-masing yang kebetulan saja berdekatan. Namun justru kedekatan itulah sehingga milad ini menjadi terasa memberikan nuansa kesejukan.

Kedua, terdapat kesetaraan struktural atau dapat dikatakan apple to apple meski pada wilayah berbeda. PSU untuk memilih gubernur Kalimantan Selatan merupakan puncak jabatan tertinggi secara politis dan pemerintahan pada tingkat provinsi, sedangkan kesultanan Banjar secara kultural merupakan puncak jabatan atau institusi tertinggi menaungi berbagai wilayah kesultanan yang dulu pernah ada. Andai saja wilayah kesultanan Banjar hari ini dibaca sebagai romantisme teritorial kekuasaan masa lalu, maka akan melebihi luas wilayah Kalimantan Selatan.

BACA : Di Era Modern, Sultan Banjar Khairul Saleh Pastikan Tak Hidupkan Feodalisme

Oleh karena wajar saja, jika selama ini energi publik terfokus memperhatikan dan terlibat dalam pilkada hingga PSU Gubernur Kalimantan  Selatan, maka dengan adanya milad tersebut ada momentum penyeimbang yang dapat mengalihkan perhatian publik. Selama ini rangkaian panjang event pilkada Gubernur bahkan bupati dan walikota di Kalimantan Selatan yang cukup melelahkan, kampanye paslon, pencoblosan, persidangan di MK, PSU dan pasca PSU hingga yang belum diketahui apakah berlanjut di MK kembali. Momen tersebut tentu selama ini menjadi pembicaraan publik baik secara langsung atau melalui berbagai media, bahkan tentu saja adanya keberpihakan pendukung pada paslon masing-masing.

Momentum Sesaat

Lalu pertanyaannya, bagaimana mungkin milad ini bisa jadi penyeimbang apalagi berlangsung hanya sehari. Kata penyeimbang di sini tentu saja tidak bisa menyeimbangkan rangkaian waktu yang begitu panjang dari Pilkada dan PSU yang membuat masyarakat terbelah pada dukungan masing-masing. Milad adalah semacam momentum kejutan sesaat yang memberikan kesempatan pada publik untuk mendapatkan udara segar, bahwa kekuasaan tidak hanya soal kepala daerah tetapi juga ada peristiwa ceremony kekuasaan yang lebih didominasi oleh suasana kultural.

Letaknya adalah pertemuan para peserta yang berbagai latar belakang dan terutama selama ini terfokus pada paslon dukungan masing-masing yang disatukan dalam suka cita perayaan Milad Kesultanan Banjar. Kemudian bagi orang yang mendapatkan pemberian gelar oleh pihak kesultanan mereka memposting momen pemberian gelar itu memberikan efek ledakan informasi terutama melalui media sosial. Terlebih lagi, ucapan selamat, tahniah dari followers (pengikut) dari pemilik akun medsos semakin menaikkan atmosfer kebahagiaan. Maka entah disadari atau tidak, pesan dari perayaan milad bukan hanya memberikan penghargaan kepada banyak orang melalui berbagai gelar kesultanan, tetapi terkait paska PSU ini, miladnya ini dimaknai sebagai bentuk ucapan yang bergema di media sosial bahkan jauh sebelum PSU yakni “bawa batanang dahulu”.

BACA JUGA : Antara AM Hendropriyono dan Raden Tumenggung Suria Kesuma, Ronggo Pribumi Banjar

PSU dan Milad, tentu hanya sebagai momentum kebetulan, yakni kebetulan jeda waktunya berdekatan, dan kebetulan pula suasana milad mempertemukan berbagai pihak yang boleh jadi berbeda pandangan dalam suasana bahagia. Dari momentum kebetulan ini publik perlu menyadari masih ada kekuatan kultural yang dapat menjaga jarak dan menyatukan pihak yang saling berseberangan dalam hal dukungan politik. Maka catatan penting adalah, kita membutuhkan lebih banyak sosok personal atau institusional kultural dan religius, yang memberikan kesejukan di masyarakat serta menguatkan nuansa kebatinan ketika atmosfer politik sudah menyesakkan dada.

Selain itu, kesultanan Banjar yang dalam miladnya menunjukkan angka 516 tahun yang dilaksanakan pada hari Ahad 3 Juni 2021, bertepatan hari keenam bulan Dzulkaidah 1442 H tidak hanya menyatakan usia ratusan tahun. Selama kurun waktu itu peristiwa penting apa yang menjadi pelajaran bagi kita dari peristiwa silih bergantinya kekuasaan, yang hendaknya paralel dengan kematangan berpolitik dari para elit hingga para pendukung.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Prodi Pendidikan Sosiologi

FKIP Universitas Lambung Mangkurat

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.