Skor Indeks Kemerdekaan Pers di Kalsel Membaik, AJI Beri Sederet Catatan Kritis

0

DEWAN Pers bersama Sucofindo merilis hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2021 di Indonesia. Dari catatan, Provinsi Kalimantan Selatan mendapat skor 81,64 atau lebih tinggi dari IKP Nasional sebesar 76,02.

NILAI IKP yang diterima Kalsel naik 1,75 poin dari 78,89 pada tahun ini menjadi 81,64. Capaian itu membawa provinsi ini masuk lima besar daerah dengan IKP tertinggi di Indonesia, di atas Kalimantan Tengah (81,53), dan dua tingkat di bawah Kaltim (82,27).

Adapun Kepulauan Riau dan Jawa Barat menjadi dua daerah dengan IKP tertinggi di Indonesia, masing-masing 88,30, dan 82,66. 

Dalam catatan Dewan Pers, IKP Kalsel terus membaik dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, angka tahun ini naik dari IKP Kalsel 2020 sebesar 78,89 atau peringkat 8 nasional.

IKP diukur dari kondisi lingkungan fisik dan politik, termasuk lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum.

BACA: IKP Kalsel Alami Penurunan, Kemerdekaan Pers Belum Sentuh Level Bebas

Survei IKP tahun ini dilakukan Sucofindo sejak 25 Februari 2021 lalu. Sejak itu, para surveyor lembaga survei tersebut mewawancarai satu per satu informan ahli.

Komposisi informan ahli, 74 persen pengurus aktif organisasi wartawan, 76 persen pimpinan perusahaan pers, 82 persen unsur pemerintah, dan 76 persen unsur masyarakat.

Hasil wawancara dan pengisian kuisioner oleh surveyor terhadap informan ahli di Kalsel kemudian dibawa ke meja Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Aston Banua, Selasa 27 April 2021.

Hadir para informan ahli dari perwakilan AJI, PWI, IJTI, Humas Pemprov Kalsel, Humas Pemkot Banjarbaru, Humas Polda Kalsel, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, 3 perwakilan pimpinan media massa, dan dua pemerhati media dari Fakultas Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik, Universitas Lambung Mangkurat, dan Institut Agama Islam Darussalam.

Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun, mengatakan survei IKP untuk memetakan dan memantau perkembangan pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia.

“Sehingga bisa diidentifikasi persoalan-persoalan yang menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers untuk dilakukan perbaikan-perbaikan,” jelas Hendry.

Penyusunan IKP juga dimaksudkan untuk memberi kontribusi bagi peningkatan kesadaran publik akan kemerdekaan pers. Serta menyediakan bahan-bahan kajian empiris bagi upaya advokasi kemerdekaan pers di Indonesia.

Catatan AJI

Koordinator Divisi Advokasi AJI Balikpapan, Fariz Fadhillah, memberikan sejumlah catatan terhadap hasil IKP yang dirilis Dewan Pers dan Sucofindo.

Pertama, ia mempertanyakan skor IKP Kalsel yang justru meningkat di tengah suburnya kasus kekerasan hingga kriminalisasi terhadap jurnalis.

“Terus membaiknya IKP Kalsel patut diapresiasi. Namun yang menjadi pertanyaan, IKP Kalsel justru naik di tengah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang masih terjadi,” ujarnya.

BACA JUGA: Bagir: Wartawan Jangan Terlena Kemerdekaan Pers

Sejak tahun 2019, AJI mencatat tren kasus kekerasan terhadap jurnalis di Kalimantan Selatan terus terjadi.

November 2019, misalnya, seorang jurnalis media lokal bernama Diananta Putera Sumedi dipolisikan Sukirman yang tak lain adalah narasumbernya sendiri.

Akhir Februari 2020, Dewan Pers menyatakan berita Diananta “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” adalah produk jurnalistik. Artinya, kasus pers tersebut selesai lewat mekanisme hak jawab.

Kendati demikian, polisi tetap menyidik kasus Diananta karena tuduhan ujaran kebencian. Ia kemudian ditahan pihak kepolisian, pada 4 Mei 2020 atau sehari setelah Hari Kebebasan Pers Internasional.

Diananta pun divonis 3 bulan 15 hari kurungan penjara karena dianggap melanggar Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus Diananta bak lonceng kematian terhadap kemerdekaan pers di Kalsel. Ini karena perkaranya tak cuma menjadi perhatian nasional melainkan dunia pers internasional.

“Naiknya IKP pada 2020 membuktikan kekuatiran Dewan Pers terhadap vonis Diananta berdampak pada merosotnya indeks kebebasan pers dan demokrasi tidak terbukti,” ujar informan ahli dari Kalimantan Selatan saat National Assesment Council (NAC) Penyusunan IKP 2021 itu.

Untuk kasus Diananta, AJI mendesak penyidik kepolisian di daerah patuh terhadap MoU antara Dewan Pers-dan Kapolri.

“Perlu dorongan kepada kapolri untuk membuat peraturan khusus agar kasus pers diselesaikan lewat mekanisme pemberitaan,” ujarnya.

Beranjak dari kasus Diananta, kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi pada akhir 2020.

Pada 22 November 2020, seorang jurnalis lokal di salah satu kabupaten di Kalsel dijemput oleh empat orang dari kediamannya lantaran merekam pernyataan salah seorang calon bupati.

Belakangan, diketahui sejumlah orang yang menjemput jurnalis tersebut berasal dari tim calon bupati lainnya.

Dalam interogasi, jurnalis tersebut diminta untuk menjadi saksi kunci untuk menjatuhkan pihak lawan lewat pernyataan yang direkamnya kemudian diunggah ke akun media sosial itu.

“IKP 2021 naik saat kasus initimidasi terhadap jurnalis masih terjadi,” ujarnya lagi.

Adapun praktik penghalangan terhadap kerja-kerja jurnalis belum selesai sampai di situ.

Baru-baru ini, Fariz menyatakan bahwa pekerja media di apahabar.com juga mengalami doxing oleh akun anonim di Instagram.

Doxing merupakan tindakan penyebarluasan identitas pribadi di medsos. Tujuannya, untuk mengirim teror hingga menjatuhkan karakter target yang dituju.

Aksi doxing terjadi setelah apahabar.com merilis berita terkait simpatisan paslon kepala daerah Kalsel yang diduga mengalami tindakan penghalangan saat memasang spanduk.

Sementara itu, pada aspek ekonomi, Fariz juga mengingatkan bahwa jurnalis Kalsel masih banyak menerima upah murah dari media tempat mereka bekerja.

Sebagai gambaran, AJI Balikpapan bersama pengurus biro di Kota Banjarmasin menemukan sejumlah jurnalis yang gajinya jauh di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Provinsi Kalsel yang nilainya Rp 2,8 juta.

“Alih-alih mencapai UMP, AJI masih menemukan ada jurnalis yang digaji Rp 1,5 juta, Rp 1 juta, Rp 750 ribu, sampai Rp 500 ribu,” ujar Fariz.

Fakta demikian tentu saja membuat jurnalis tidak memiliki kepastian hidup layak. Yang berpotensi menggerus profesionalitas dan independensi mereka melayani kepentingan publik.

Praktik perbudakan terselubung di tengah menjamurnya media daring tersebut harus segera dihentikan.

“Kalsel memiliki lebih dari 100 perusahaan media massa. Namun bisa dihitung jari perusahaan yang menggaji jurnalis mereka secara layak,” tegasnya.

Setali tiga uang, AJI menemukan perusahaan media yang belum memberikan jaminan ketenagakerjaan, maupun kesehatan. 

Ketidaklayakan upah berpotensi melahirkan pelanggaran etik hingga rendahnya kualitas pemberitaan.

Untuk diketahui, hasil FGD juga dibahas dalam National Assesment Council (NAC) Penyusunan IKP 2021 di Hotel Santika Premiere, Selasa 8 Juni kemarin.

NAC dibuka langsug Ketua Dewan Pers M Nuh serta dihadiri Wakil Ketua Dewan Pers Hendri Ch Bangun, anggota Dewan Pers M Jauhar serta beberapa tokoh pers seperti mantan Ketua Dewan Pers Joseph Adi Prasetyo, dan tokoh pers Bambang Harymurti serta kalangan akademisi hingga tenaga ahli PT Sucofindo.

Sementara informan ahli yang dihadirkan Dewan Pers sebanyak 15 orang dari 15 provinsi, di antaranya Kalsel dan Kaltim.

“Untuk Kaltim, 8 Oktober 2020 lalu, lima jurnalis di Samarinda menjadi korban kekerasan aparat saat meliput 15 pedemo penolakan omnibus law, UU Cipta Kerja, diamankan di Polresta Samarinda. Sampai kini tak jelas tindak lanjut kasusnya,” ujar Fariz dalam NAC Penyusunan IKP 2021.

Indeks kebebasan pers Kaltim 2021 sendiri mencapai 82,27 atau naik ke peringkat tiga nasional dari tahun sebelumnya yakni 81,84. 

Sementara, Novi Abdi selaku ahli pers memandang wajar jika IKP Kalsel dan Kaltim mengalami tren peningkatan. 

“Bahwa mungkin saja survei kali ini melihat dari sisi kuantitas bukan kualitas. Sementara, AJI melihat dari fatalistik kasusnya,” ujar jurnalis senior Kalimantan itu.

IKP dihitung dengan melihat bermacam kriteria. Tak hanya kasus kekerasan terhadap jurnalis semata.

“Dari sekian jurnalis di Kalsel, berapa yang diintimidasi, misalnya. Atau berapa jumlah kasusnya. Kalau menurut kriteria yang dibuat Dewan Pers dan Sucofindo, ya keluar itu angkanya,” jelasnya. 

Menurutnya, berapapun angka kebebasan pers yang terpenting jurnalis tetap berupaya semaksimal mungkin menegakkan etika jurnalistik.

“Kalau faktanya memang tahun 2020 kasusnya lebih sedikit, maka boleh jadi tingkat kebebasan persnya naik. Sekali lagi ini, semata perbedaan cara pandang saja,” ujarnya. (jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Donny

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.