Ulama sebagai Guru Bangsa dan Penjaga Pancasila

0

Oleh : Humaidy Ibnu Sami

AKU sebagai orang yang memilih sebagai muslim moderat sudah barang tentu akan memilih pemimpin atau ulama yang moderat pula. Tentu tidak satu atau dua pemimpin dan ulama yang moderat itu, mungkin ada beberapa dan banyak.

DI SINI aku ingin memosting hanya 7 orang pemimpin dan ulama saja sebagai yang kupilih sesuai dengan seleraku yang berdasarkan sepanjang pengetahuan yang kupunya.

Pertama, Habib Luthfi Bin Yahya adalah ulama Tasawuf yang memimpin organisasi Tarekat sedunia, Habib yang sangat mencintai Indonesia dan keindonesiaan.

Kedua, Prof. Dr. KH. Quraisy Shihab MA, Ulama sekaligus Intelektual, pakar Ilmu Tafsir Al-Qur’an tingkat Asia Tenggara yang menganggap rasa kebangsaan itu sebagai fithrah manusia dan tidak bertentangan dengan Islam.

Ketiga, Gus Mus Ulama yang sekaligus sastrawan, pandai sekali menulis puisi dan melukis yang penuh pesan-pesan moral menyejukkan hati, membeningkan perasaan dan menjernihkan pikiran sekaligus penuh cinta dengan keindonesian.

Keempat, Prof. Dr. KH. Aqil Siraj MA, Ketua PBNU yang menjaga NKRI sebagai harga mati, karena baginya NU adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari keindonesian. Ia ulama organisatoris yang handal dan mumpuni untuk membesarkan NU.

BACA : Kemoderatan dalam Perbedaan

Kelima, Prof. Dr. Buya Syafi’i Ma’arif PhD, seorang Ulama sekaligus Intelektual yang pernah menjadi ketua PP. Muhammadiyah, pakar politik Islam. Baginya Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia adalah sudah bernilai islami, mirip sebagaimana Piagam Madinah ketika Nabi Muhammad membangun sebuah negara.

Keenam, Emha Ainun Najib yang dikenal sebagai Kyai Mbeling adalah ulama sekaligus budayawan yang sangat pintar, cerdas dan kritis ketika melihat ketimpalan sosial di masyarakat, ketidak adilan dalam berbagai aspek, kemiskinan, kebodohan dan kesengsaraan. Ia mengkritik siapa saja yang menjadi sumber masalah. Entah itu negara, parpol, ormas, birokrasi, kepolisian, militer, LSM atau ulama sendiri dan habib sekalipun. Sudah barang tentu, sebagai ulama budayawan ia mengeritik tidak sembarangan dan serampangan, tapi melalui kajian mendalam dan disampaikan dengan cara halus, santun dan kadang sangat humoris. Terkadang ia menjadi jembatan antara oposisi dan pemerintah atau antara dua dan beberapa kubu yang berbeda dan berlawanan. Ia menginginkan Indonesia menjelma menjadi negara besar dan berperadaban tinggi.

BACA JUGA : Prahara Pembubaran FPI: Bernegara adalah Kesepakatan

Ketujuh, Embah Maimoen, ulama sepuh yang sudah meninggal dunia, Ulama pesantren yang sekaligus pernah ketua Dewan Syuro PPP dan salah satu anggota Musytasyar NU. Ia mengetahui dan mewarisi semangat nasionalisme tokoh besar NU seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syansuri, KH. Bisri Mustafa, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Hasyim Muzadi dan lain-lain. Ia sangat fasih mencarikan dalil di kitab-kitab kuning tentang hubungan Islam dan negara. Baginya Islam dan Negara mempunyai hubungan mutual simbiotik, untuk saling mengisi dan menghidupi satu sama lain.

Demikianlah, pemimpin atau ulama yang menjadi pilihan hatiku yang moderat ini. Kukira mereka bertujuh (7) merupakan uluma yang layak disebut sebagai Guru Bangsa pada bidangnya masing-masing. Kita sebagai anak bangsa seyogyanya mengambil ‘ibrah (pelajaran), uswah (keteladanan) dan hikmah (kebijaksanaan) dari mereka dengan cara seksama dan dalam tempo mungkin tidak singkat alias lama.(jejakrekam)

Penulis adalah Akademisi UIN Antasari Banjarmasin

Peneliti Senior LK3 Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.