Dari Naskah Kampung Melayu dan Marabahan, Kitab Sabilal Muhtadin Dicetak di Makkah dan Istanbul

0

JIKA menyebut karya terbesar tulisan ulama besar asal Tanah Banjar, Syekh Muhammad Al Banjary atau Datu Kalampayan, maka mayoritas menjawab Kitab Sabilal Muhtadin.

KITAB berisi fikih bermazhab Imam Syafi’i, lengkapnya berjudul Sabilal Muhtadin littafaqquh fi Amriddin. Nah, peneliti sejarah Islam yang juga dosen UIN Antasari Banjarmasin, Humaidy Ibnu Sami menyebut kitab berbahaya Melayu dengan akrab Arab Melayu itu merupakan magnum opus  (karya terbaik atau terbesar).

“Waktu itu, kitab ini ditulis tangan menggunakan semacam pena, atau dawat (tinta Arab) di atas kertas sederhana (daluang). Model penulisan begitu tren di kawasan Nusantara sejak abad ke-15 hingga ke-18 Masehi,” tutur Humaidy kepada jejakrekam.com, Jumat (21/5/2021).

Peneliti senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin mengatakan saat kitab itu ditulis, juga belum mengenal teknologi percetakan. Menurut Humaidy,  Kitab Sabilal Muhtadin ditulis pada tahun 1193 Hijriyah atau 1779 Masehi.  Kemudian, selesai pada tanggal 27 Rabiul Akhir 1195 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 22 April 1781 Masehi.

“Kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah II yang memerintah Kesultanan Banjar waktu itu, untuk semacam kitab undang-undang atau hukum yang menjadi pedoman dalam memutuskan berbagai masalah keagamaan,” ungkap magister pendidikan Islam jebolan IAIN (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini.

BACA : Kitab Perukunan dan Sabilal Muhtadin, Bukti Ulama Banjar Berpengaruh di Dunia Islam Melayu

Humaidy menceritakan selama lebih dari satu abad kitab naskah tulisan tangan ini beredar di kalangan ulama dan kaum muslimin, khususnya di Kalimantan Selatan.

“Sekali lagi, dalam bentuk tulisan tangan atau salinan baik asli dari Syekh Arsyad sendiri maupun salinan orang lain. Entah kapan raibnya naskah awal dari kitab Sabilal Muhtadin ini? Sulit dilacak dan susah bisa diketahui,” ujar Humaidy.

Untungnya, papar dia, ada dua putra Syekh Arsyad dari ibu yang berbeda yakni Syekh Syihabuddin dan Syekh Jamaluddin sempat menyalin dengan tulisan yang sama dengan aslinya. Salinan itu tanpa ada reduksi dan manipulasi yang kelak disebut sebagai Naskah Sabilal versi Kampung Melayu (2 jilid) dan Naskah Sabilal versi Marabahan (3 jilid).

“Sekarang kedua naskahnya berada di tangan Tuan Guru H Irsyad Zen (almarhum) atau sudah beralih tangan pada putranya Tuan Guru H Ahmad Daudi di Kampung Dalam Pagar,” papar Humaidy.

Menurut dia, kedua putra ulama besar itu, baik Syekh Syihabuddin dan Syekh Jamaluddin berkepentingan menyalin itu karena terkait pada jabatan keduanya di kerajaan yang masing-masing dalam waktu yang berbeda sebagai Qadi dan Mufti. “Kitab Sabilal waktu itu sudah menjadi rujukan bagi pejabat agama, ulama dan masyarakat secara umum,” ucapnya.

BACA JUGA : Di Amuntai, UAS Singgung Kitab-Kitab Karangan Ulama Besar Banjar

Syekh Syihabuddin sehabis jabatannya sebagai Qadi, ia pergi ke Haramain (Makkah dan Madinah) untuk menuntut dan memperdalam ilmu, sambil membawa naskah salinan Sabilal.

“Dari naskah salinan dari Syekh Syihabuddin pada tahun 1300 Hijriyah atau 1882 Masehi, dicetak pertama kali di Makkah. Kemudian pada tahun 1302 Hijriyah atau 1884 Masehi dicetak di Istanbul (Turki) dan pada tahun 1307 Hijriyah atau 1889 Masehi dicetak di Mesir,” bebernya.

Humaidy mengakui tak diketahui atau belum dapat informasi yang valid kapan dicetak di Beirut juga di Singapura, Malaysia dan Indonesia? “Semua hasil cetakan tersebut ditashih oleh Syekh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Pattani, salah seorang ulama yang berasal dari daerah Pattani, Thailand Selatan, yang pernah mengajar lama di Makkah,” katanya lagi.

Humaidy mengatakan Kitab Sabilal Muhtadin dalam bentuk cetakan terdiri dari dua jilid. Jilid I terdiri dari 252 halaman dan Jilid II terdiri dari 272 halaman. Kitab ini, banyak berbicara masalah fikih ibadah dan sedikit fikih mu’amalah dari Mazhab Syafi’i.

“Pada Jilid I berisi uraian tentang Taharah, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji, ditambah beberapa masalah lokal Kalimantan seperti perkara memakan anak wanyi (lebah), jamban terapung, membaca Alquran dengan nyaring ketika orang banyak guring (tidur) dan penentuan arah kiblat,” katanya.

BACA JUGA : Mengukur Eksistensi Bahasa Banjar Dari Karya Sastra Hingga Karya Akademik

“Pada Jilid II berisi uraian tentang Akikah, Korban, Makanan Halal, Makanan Haram, Hewan Perburuan, Hewan Sembelihan, Binatang Halal, Binatang Haram, ditambah dengan Hukum Shalat Berjamaah, Hukum Salat Berjamaah diimami Penganut Aliran Wahdah Wujud, Hukum Membikin Kubah di Kuburan yang tanahnya merupakan tanah wakaf, Hukum Menyajikan makan-minum kepada para pelayat baik sebelum maupun sesudah penguburan, Hukum Mengubur Pakai Tabela (peti-mati), Nisab Emas bercampur Perak, Zakat Investasi, Hukum Haji dan Umrah, Halal dan Haram Hewan Kalimantan, seperti Haliling (halal), Gondang atau Kalimbuai (haram),” imbuh Humaidy, panjang lebar.

Selanjutnya, pada tahun 1985, Prof H Asywadie Syukur yang merupakan Ketua MUI Kalsel dan Rektor IAIN Antasari  menerjemahkan Sabilal Muhtadin ke dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan aksara Latin.

“Walau masih kemelayu-melayuan, tapi sudah lumayan untuk memperkenalkan pada khalayak banyak yang tidak mengerti dan tahu membaca aksara Arab Melayu. Kemudian diterbitkan oleh penerbit yang cukup terkenal, PT Bina Ilmu, Surabaya tahun 1985, menjadi 2 Jilid yang cukup tebal dan edisi luks,” pungkas Humaidy.(jejakrekam)

Pencarian populer:kitab sabilal muhtadin
Penulis Rahm Arza/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.