PASCA Ramadhan dan Idul Fitri 1442 Hijriyah, saatnya meningkat kepedulian sosial. Salah satu makna kepedulian sosial adalah berbagi sebagian rezeki. Lalu saling tegur sapa, memperat tali silaturrahim, dan mengucapkan salam.
TAK hanya kuat hubungan vertikal dengan Allah SWT, melainkan hubungan horisontal antar sesama insan pun menjadi bagian utama dari ketakwaan kepada Allah SWT, khususnya Pasca Ramadhan dan Idul Fitri 1442 Hijriyah yang baru saja dilewati.
Demikian petikan Khutbah Jumat (14/5/2021) Ustadz H Alwi Sahlan di Masjid Muhammadiyah Al Muhajirin Jalan HKSN Raya Banjarmasin Utara. “Masih banyak mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Memberi sebagian rezeki yang kita peroleh, bagian kepedulian sosial yang harus kita wujudkan pasca Ramadhan dan Idul Fitri,” ujar mantan Wakil Walikota Banjarmasin ini singkat.
Apalagi saat pandemi Covid-19 yang melanda di Kalsel, Indonesia, dan dunia, tentu sangat penting meningkatkan kepedulian sosial diantara sesama. Sebab buah Ramadhan dan Idul Fitri adalah salah satunya meningkatnya kepedulian sosial.
Allah SWT memberi kesempatan kepada kaum Muslimin untuk meningkatkan solidaritas sosial, memberikan bantuan kepada mereka yang lebih membutuhkan secara sukarela, yang dilandasi oleh ketakwaan dan diwujudkan dengan nilai kemanusiaan tanpa pamrih. Tak heran, Umat Islam yang ditempa melalui Ramadhan bisa menciptakan kultur gotong royong dan keceriaan dalam berbagi. Ramadhan adalah tarbiyah untuk bersedekah, sekolah yang efektif untuk menyapa mereka yang kurang beruntung.
Sementara itu, Buya Yahya lebih menekankan Islam mengajarkan beribadah khusu dengan Allah SWT. “Islam mengajarkan agar kita baik kepada sesama manusia, sehingga bisa ditemukan keindahan yang sesungguhnya,” tutur Pengasuh LPD Al Bahjah ini, dalam khutbah Idul Fitri 1442 Hijriyah.
BACA: Dari Warga Hingga Muallaf Turut Berbagi
Ia menegaskan, Idul Futri adalah hari kegembiraan yang sesungguhnya bagi Umat Islam. “Saling memaafkan dan setiap orang bertemu, sehingga selalu mengucapkan Mohon Maaf Lahir Batin,” kata ulama kondang ini.
Sedang Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, KH Miftahul Huda dalam khutbahnya menerangkan ujian yang diselenggarakan oleh manusia tentu sangat berbeda dengan ujian yang diselenggarakan Allah SWT.
Ujian di sekolah maupun di dunia kerja sangat bersifat rahasia, jangankan jawabannya, soal-soalnya pun bersifat rahasia. Sangat berbeda dengan ujian masuk surga, jangankan soal-soalnya, kunci jawaban pun sudah diberitahukan oleh Allah dan sudah menjadi rahasia umum.
“Maka sungguh menyesal kita jika tidak lulus masuk surga. Dan kunci masuk surga itu adalah kalimah la ilaha illa Allah. Itu adalah kalimat Tauhid, yaitu kalimat pembeda antara muslim dan non-muslim, kalimat penentu kebahagiaan di surga atau kesengsaraan di neraka,” tulisnya
Nabi SAW bersabda “Sesungguhnya Allah mengharamkan seseorang yang mengucapkan la ilaha illa Allah dengan ikhlas karena Allah”.
Kalimat Tauhid di atas tentu bukan hanya sekedar diucapkan, tapi perlu diyakini dengan sepenuh hati bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT dan keyakinan tersebut dibuktikan dengan pengabdian dan penghambaan diri kepada Allah dengan berbagai macam ibadah. (jejakrekam)