Sepatu dan Mimpi ke Kota Banjarmasin

0

Oleh : Nasrullah

TINGGAL di kampung yang berjarak ratusan kilometer dari kota Banjarmasin dan sulitnya akses transportasi sungai, membuat perjalanan ke kota Banjarmasin sebagai suatu dambaan. Begitu juga saya, mesti sejak kecil pernah ke Banjarmasin, tetap saja mengunjungi ibukota Propinsi Kalimantan Selatan ini selalu jadi impian.

KONDISI ini, meminjam istilah Prof Rizali Hadi melai si puting dunia (tinggal di ujung dunia). Saya sering bermimpi ke kota Banjarmasin, anehnya mimpi itu hanya tentang Jembatan Antasari itu. Dalam mimpi, saya sering berjalan di tepi jembatan di antaranya para pejalan kaki yang berdesakan.

Saya baru menyadari mimpi itu adalah produksi dari pengalaman ke kota Banjarmasin. Kalau ke Banjarmasin, almarhum Bapa sering mengajak kami menginap gratis di salah satu kapal Barito yang bersandar di dermaga Pasar Lima.

Kami menginap di tingkat dua kapal Barito. Jika malam hari, Bapa selalu menyalakan obat nyamuk agar kami bisa tidur nyenyak. Saya sering menengok jembatan Antasari melalui jendela kapal untuk menyaksikan lalu lalang mobil, bajaj, becak sepeda motor dan pejalan kaki yang melintasi jembatan itu.

BACA : Apa Saja Hal yang Baru di Rancangan RTRW Banjarmasin 2020-2040? Ini Rinciannya

Gemuruh kendaraan darat itu, bagi saya tak ubahnya orkestrasi luar biasa. Beda di kampung, lalu lalang perahu sebelum ada tog boat tongkang batu bara, sangat langka sekali. Begitupula jika terbangun dari tidur, saya seperti mendapatkan kejutan berupa pemandangan yang luar biasa. Ya itu tadi, lalu lalang moda transportasi darat yang melintas jembatan Pangeran Antasari.

Maka saya yakin, itulah sebabnya, jika mimpi tentang kota Banjarmasin saya selalu bermimpi tentang jembatan Pangeran Antasari. Apalagi waktu itu, Mitra Plaza belum berdiri sebagai perbelanjaan modern kota Banjarmasin.

Bagaimana dengan Arjuna Plaza tempat permainan anak-anak, konon katanya menarik sekali waktu itu. Pun, Lima Cahaya dambaan orang dari berbagai pelosok untuk membeli pakaian branded. Saya tak peduli semua itu, sebab bisa ke Banjarmasin saja sudah luar biasa dan konon kabarnya, ada orang tua di kampung belum pernah sekalipun ke Banjarmain.

BACA JUGA : Lebih Detail, RTRW Kota Banjarmasin ke Depan Sudah Adopsi Peta Skala 1:5.000

Saya makin terkesan, ketika bisa membeli sepatu di ujung Jembatan Pangeran Antasari. Sepatu hal yang sangat mendesak waktu itu, menandai berakhirnya sekolah dasar menggunakan sandal atau tanpa alas kaki apalagi waktu itu mendekati Ebtanas SD. Maka saya takjub bukan kepalang, melihat bekas sepatu menempel di tanah yang telah saya injak.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Pendidikan Sosiologi FKIP ULM

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/05/08/sepatu-dan-mimpi-ke-kota-banjarmasin/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.