Dhuafa Tak Boleh Bersuara

0
Oleh: Erlina Effendi Ilas

KALANGAN dhuafa dan yatim adalah pihak yang sering disebut Allah di Alquran. Misalnya dalam Q.S Al-Isra: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”

ATAU pada QS Al Maa’un: “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? Yaitu mereka yang membiarkan anak-anak yakim (terlantar), dan tidak peduli atas makanan orang miskin.”

Kenapa Allah berpihak kepada kalangan tersebut? Tiada bukan karena dhuafa dan yatim adalah pihak yang tak berdaya. Mereka tak punya kekuatan untuk bersuara dan berpendapat di tengah modernitas dan masuknya investasi raksasa di suatu daerah.

Maka jika di sebuah daerah terdapat kalangan dua golongan tersebut, maka itu mestinya juga dapat dijadikan indikator kebijakan keberpihakan para konglomerasi dan pemerintah untuk memberdayakan mereka.

Sebagai kaum marginal dhuafa dan yatim tidak memiliki bargaining power untuk bersuara kepada siapapun. Jangankan kepada pemerintah atau perusahaan – perusahaan besar, kepada tetangganya pun mereka segan mengatakan kesulitannya.

Hanya karena Allah menjamin rezeki setiap makhluk mereka dapat bertahan hidup. Itulah sebabnya Allah sering menyindir kita agar menyisihkan sebagian sedikit yang kita miliki untuk dhuafa dan yatim. Allah sangat memihak dhuafa tapi sayang kita tak pernah membuka hati.

Lihat saja, program CSR perusahaan tambang terbesar di daerah kita, sama sekali tak menyentuh apapun kepada kedua golongan ini. Sasaran CSR perusahan tambang adalah kelompok penekan, seperti para pihak pemilik kekuasaan informal, kekuasaan formal serta aktor pemilik kebijakan di dua sektor formal dan informal. Umumnya tujuannya bukan menciptakantakan empowerman, tapi pembungkaman.

Dhuafa di sepanjang bentang garis operasional perusahaan tambang tidak menjadi keberpihakan oleh kekuatan manapun. Kekuasaan politik dan korporasi bisnis sangat jarang memihak kepada kalangan dhuafa.

Dhuafa dan yatim dianggap tidak memiliki kekuatan yang dapat dijadikan sasaran kepedulian perusahaan di dalam program CSR perusahaan dibanding kelompok penekan lainnya. Alasan itulah dhuafa tak dilirik, sekalipun berada di lingkar terdekat dengan tambang.

Tengoklah kisah Ati, warga pulau Ku’u, Kecamatan Tanta Tabalong. Menderita tumor pada perutnya hingga membesar dan retak perutnya tak pernah tersentuh oleh kemegahan jalan hauling road tambang yang tak jauh dari rumahnya. Ati dilarikan ke rumah sakit dan dirawat karena kepedulian warga sekitar dan komunitas. Para pemudanya menggalang dana di jalan di mana hilir mudik mobil perusahaan, tak juga ada perusahaan tambang yang tergerak.

Beralih kepada seorang nenek bernama Tina di Banyu Tajun. Seorang janda renta yang tetap membanting tulang di usia senja di kebun yang jauh dari rumahnya. Jika dia berangkat pagi, habis Isya dia baru tiba di rumah kembali. Dia menghuni rumah reot hampir roboh, sebelum akhinya masyarakat dan komunitas bahu membahu membuatkannya rumah.

Ada banyak dhuafa dengan tempat tinggal memprihatinkan, seperti mama Rina di hutan Kambitin yang hidup dengan seorang anaknya yang masih kecil tanpa penerang listrik.

Tidak hanya Ati, di Tabalong banyak warga dhuafa yang dihinggapi kanker. Ada yang sudah meninggal dalam perawatan hingga masih bertahan hidup hingga sekarang dengan segala kekurangannya. Ratina warga Desa Suput, misalnya, penderita tumor di bagian wajahnya yang sudah menyelesaikan ujian Allah di dunia, Reski dan Jimi juga harus kembali ke haribaan Allah. Siti masam di Desa Kambitin hingga kini terbaring lemah dan banyak lagi lainnya yang tak tersentuh.

Dhuafa tak memiliki pengaruh yang dapat ditukar dengan kepentingan perusahaan. Tetapi sejatinya di sinilah kekuatan tersembunyi yang belum mampu dilirik perusahaan-perusahaan besar dan pemerintah.

Padahal pemerintah dan investor yang ada di daerahnya dapat saja mencontoh apa yang ada di daerah lain untuk memberdayakan para yatim dan dhuafa. Tak usah jauh, kita sebenarnya dapat belajar ke Tanah Bumbu, bagaimana Istana Anak Yatim dengan hunian seribuan orang di sana dapat diberdayakan. Banyak dari jebolan istana ayak yatim itu yang menjadi orang, menjadi manfaat buat daerah itu sendiri.

Jika pemerintah dan perusahaan mampu menerawang ini, maka memberdayakan yatim sekaligus dhuafa ini menjadi sebuah potensi kekuatan keberadaan pihak perusahaan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Tetapi jika tidak, maka para pihak yang di tangannya terdapat kekuasaan dalam mengambil kebijakan namun tidak melakukan apa-apa, maka cukuplah QS Almaa’un menjadi sebuah renungan bersama. Betapa ada golongan yang dicap sebagai penipu agama.(jejakrekam)

Penulis Ketua KS2 Tabalong.

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.